Buku ini mengulas bagaimana Indonesia merupakan korban politik global dan Perang Dingin selama pergolakan yang diwarnai kekerasan pada 1965 dan 1966.
WASHINGTON —
Banyak skenario telah berkembang mengenai apa yang selama ini disebut pemberontakan komunis 30 September 1965 di Indonesia dan peristiwa-peristiwa setelahnya yang tragis, dan isu tersebut masih hangat diperdebatkan di antara sejarawan dan ahli.
Sebuah buku baru, Indonesia and the World, 1965-66, berupaya melihat tragedi ini dari konteks internasional. Buku ini memberikan ulasan menarik mengenai bagaimana Indonesia merupakan korban politik global dan Perang Dingin selama pergolakan yang diwarnai kekerasan pada 1965 dan 1966.
Buku ini merupakan kompilasi dari beragam makalah yang dipresentasikan pada sebuah konferensi di Goethe Institute di Jakarta pada 2011. Meski apa yang terjadi setelah 30 September 1965 telah dicatat sebagai peristiwa yang sangat tragis, ketika diperkirakan jutaan komunis dan terduga komunis tewas di tangan militer Indonesia, komunitas internasional saat itu berdiam diri.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tragedi ini, menurut Bernd Schaefer, salah satu penyunting utama buku ini, adalah karena antagonisme yang diciptakan oleh President Soekarno terhadap Barat dan Uni Soviet.
"Mulai 1963, Soekarno berpihak pada China dan sekutu-sekutu komunis di Asia untuk membangun gerakan global dari kekuatan baru, Conefo, untuk dunia ketiga, yang diarahkan oleh Jakarta dan Beijing," jelas Schaefer.
Gerakan ini secara simultan menantang kekuatan kapitalis Barat, blok Soviet, gerakan non-blok yang dipimpin Yugoslavia, India dan Mesir, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kebijakan luar negeri yang ambisius ini, dilakukan lewat kemitraan dengan China, merupakan tantangan terbesar bagi AS dan Uni Soviet, dan membuat Indonesia merupakan fokus dunia pada puncak Perang Dingin.
Gerakan komunis internasional juga memainkan peran, menurut Schaefer. Pada 1965, dunia komunis terbagi antara Uni Soviet dan China. Sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia, Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat terbuka dengan keberpihakannya pada Beijing, bahkan sampai pada titik mencemoohkan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya. Situasi ini menjelaskan mengapa kecaman mengenai pembantaian PKI setelah 30 September hanya datang dari China, sementara Uni Soviet berdiam diri.
"Dimensi internasional ini menjelaskan mengapa lebih penting bagi Uni Soviet dan sekutu-sekutunya saat itu untuk membendung strategi-strategi China daripada ikut serta dalam gerakan kemanusiaan tulus yang mengutuk pembantaian massal tersebut," ujar Schaefer.
Schaefer menyimpulkan bahwa perpecahan China-Soviet itu membuat PKI tak berdaya menghadapi kampanye militer pada 1965 dan 1966. Pertanyaan yang muncul mengenai dampak yang mungkin terjadi bila PKI lebih bersahabat dengan Uni Soviet dan para sekutunya adalah, apakah intervensi Uni Soviet yang lebih agresif mampu mencegah militer Indonesia menumpas PKI?
Di lain pihak, negara-negara Barat khawatir dengan kebijakan-kebijakan anti-Barat Sukarno dan ingin Indonesia lebih bersahabat dengan Barat. Oleh karenanya, menurut Schaefer, Barat tidak hanya berdiam diri terhadap pembantaian komunis di Indonesia namun juga secara aktif mendukung upaya militer Indonesia menemukan para anggota dan simpatisan PKI.
"Betapa mengejutkan dan penuh semangatnya negara-negara Barat mendorong dan membantu penghilangan angota-anggota komunis secara fisik.. Mereka sangat memuakkan sampai pada satu titik bahwa mereka khawatir tidak cukup banyak komunis dibunuh dan dihilangkan, dan mereka senang ketika itu terjadi dan kesempatan yang kini dimiliki Barat," ujar Schaefer.
Terkait dengan pemberantasan komunis di Indonesia dan kekuasaan absolut yang dipegang militer selama lebih dari 32 tahun, sejarawan Baskara Wardaya mengatakan saat itu merupakan periode sejarah Indonesia yang suram.
"Ada perubahan dari pemerintah yang berorientasi rakyat di bawah Soekarno menjadi pemerintahan berorientasi elit di bawah Soeharto. Semua terpusat di Jakarta; hampir 80 persen uang yang beredar di Indonesia ada di Jakarta," ujarnya.
"Yang terlihat jelas saat itu juga, ada perubahan dari pemerintahan yang anti investasi asing menjadi pemerintahan yang medorong investasi asing di Indonesia dengan semua konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan pembangunannya."
Sebuah buku baru, Indonesia and the World, 1965-66, berupaya melihat tragedi ini dari konteks internasional. Buku ini memberikan ulasan menarik mengenai bagaimana Indonesia merupakan korban politik global dan Perang Dingin selama pergolakan yang diwarnai kekerasan pada 1965 dan 1966.
Buku ini merupakan kompilasi dari beragam makalah yang dipresentasikan pada sebuah konferensi di Goethe Institute di Jakarta pada 2011. Meski apa yang terjadi setelah 30 September 1965 telah dicatat sebagai peristiwa yang sangat tragis, ketika diperkirakan jutaan komunis dan terduga komunis tewas di tangan militer Indonesia, komunitas internasional saat itu berdiam diri.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tragedi ini, menurut Bernd Schaefer, salah satu penyunting utama buku ini, adalah karena antagonisme yang diciptakan oleh President Soekarno terhadap Barat dan Uni Soviet.
"Mulai 1963, Soekarno berpihak pada China dan sekutu-sekutu komunis di Asia untuk membangun gerakan global dari kekuatan baru, Conefo, untuk dunia ketiga, yang diarahkan oleh Jakarta dan Beijing," jelas Schaefer.
Gerakan ini secara simultan menantang kekuatan kapitalis Barat, blok Soviet, gerakan non-blok yang dipimpin Yugoslavia, India dan Mesir, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kebijakan luar negeri yang ambisius ini, dilakukan lewat kemitraan dengan China, merupakan tantangan terbesar bagi AS dan Uni Soviet, dan membuat Indonesia merupakan fokus dunia pada puncak Perang Dingin.
Gerakan komunis internasional juga memainkan peran, menurut Schaefer. Pada 1965, dunia komunis terbagi antara Uni Soviet dan China. Sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia, Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat terbuka dengan keberpihakannya pada Beijing, bahkan sampai pada titik mencemoohkan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya. Situasi ini menjelaskan mengapa kecaman mengenai pembantaian PKI setelah 30 September hanya datang dari China, sementara Uni Soviet berdiam diri.
"Dimensi internasional ini menjelaskan mengapa lebih penting bagi Uni Soviet dan sekutu-sekutunya saat itu untuk membendung strategi-strategi China daripada ikut serta dalam gerakan kemanusiaan tulus yang mengutuk pembantaian massal tersebut," ujar Schaefer.
Schaefer menyimpulkan bahwa perpecahan China-Soviet itu membuat PKI tak berdaya menghadapi kampanye militer pada 1965 dan 1966. Pertanyaan yang muncul mengenai dampak yang mungkin terjadi bila PKI lebih bersahabat dengan Uni Soviet dan para sekutunya adalah, apakah intervensi Uni Soviet yang lebih agresif mampu mencegah militer Indonesia menumpas PKI?
Di lain pihak, negara-negara Barat khawatir dengan kebijakan-kebijakan anti-Barat Sukarno dan ingin Indonesia lebih bersahabat dengan Barat. Oleh karenanya, menurut Schaefer, Barat tidak hanya berdiam diri terhadap pembantaian komunis di Indonesia namun juga secara aktif mendukung upaya militer Indonesia menemukan para anggota dan simpatisan PKI.
"Betapa mengejutkan dan penuh semangatnya negara-negara Barat mendorong dan membantu penghilangan angota-anggota komunis secara fisik.. Mereka sangat memuakkan sampai pada satu titik bahwa mereka khawatir tidak cukup banyak komunis dibunuh dan dihilangkan, dan mereka senang ketika itu terjadi dan kesempatan yang kini dimiliki Barat," ujar Schaefer.
Terkait dengan pemberantasan komunis di Indonesia dan kekuasaan absolut yang dipegang militer selama lebih dari 32 tahun, sejarawan Baskara Wardaya mengatakan saat itu merupakan periode sejarah Indonesia yang suram.
"Ada perubahan dari pemerintah yang berorientasi rakyat di bawah Soekarno menjadi pemerintahan berorientasi elit di bawah Soeharto. Semua terpusat di Jakarta; hampir 80 persen uang yang beredar di Indonesia ada di Jakarta," ujarnya.
"Yang terlihat jelas saat itu juga, ada perubahan dari pemerintahan yang anti investasi asing menjadi pemerintahan yang medorong investasi asing di Indonesia dengan semua konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan pembangunannya."