Cara Perempuan Gaza Meratapi dan Mensyukuri Kehidupan yang Dikoyak Perang

Anak-anak menyaksikan para perempuan duduk membuat roti pipih tradisional di sepanjang gang di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 1 November 2023 di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas Palestina. (Foto: AFP)

Operasi militer Israel yang tiada henti, sebagai respons terhadap serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober, meruyak kehidupan bagi sebagian besar orang, setidaknya penduduk Jalur Gaza.

Pasukan Israel terus membordir Gaza dengan bom dan invasi darat sejak Hamas melancarkan serangan mendadak – yang paling mematikan dalam 75 tahun sejarah Israel.

Serangan tersebut menewaskan sekitar 1.140 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel.

Serangan balasan Israel menewaskan sedikitnya 20.258 orang di wilayah Palestina yang terkepung, menurut kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan pertempuran tersebut menyebabkan 1,9 juta dari 2,4 juta penduduk Gaza mengungsi.

Para perempuan duduk membuat roti pipih tradisional di sepanjang gang di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 1 November 2023 di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas. (Foto: AFP)

AFP berbicara dengan tiga perempuan Palestina yang menceritakan bagaimana konflik Israel-Hamas tersebut telah mengubah kehidupan mereka.

Nour al-Wahidi, 24 Tahun, Dokter Magang

Mengenakan stetoskop di lehernya, Wahidi teringat bagaimana ia harus menghabiskan 38 hari berturut-turut merawat pasien dalam kondisi yang mengerikan di Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza. Rumah sakit itu pada akhirnya digerebek oleh pasukan Israel.

“Saya melewati momen-momen eskalasi selama dua tahun terakhir, tetapi segala sesuatu tentang perang ini berbeda: durasinya, jumlah korban tewas, tingkat keparahan cedera, pengungsian,” katanya.

Sudah sebulan Wahidi berbagi apartemen dengan 20 anggota keluarga besarnya, dan telah dua kali mengungsi sejak perang berkecamuk.

Dokter magang tersebut bekerja di bangsal darurat rumah sakit Kuwait di Rafah, di selatan wilayah yang terkepung.

BACA JUGA: Israel Gempur Gaza, Puluhan Orang Palestina Tewas Akibat Serangan Udara

“Setiap hari, saya menemukan penderitaan yang tidak pernah terpikir akan saya saksikan,” katanya.

Beberapa kerabatnya berlindung di sekolah yang dikelola oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pengungsi Palestina, UNRWA, sementara yang lain tetap tinggal di Gaza.

Wahidi telah kehilangan semua kontak dengan mereka yang tinggal di Kota Gaza karena jaringan listrik dan saluran komunikasi yang sering terputus.

“Sebelumnya, saya berada di rumah dengan semua yang saya butuhkan. Sekarang saya berada di tempat asing ini, tanpa air atau makanan,” katanya.

“Situasinya sangat buruk.”

Dia juga memperingatkan bahwa “telah terjadi penyebaran penyakit dengan cepat.”

Kendaraan tentara dan tentara Israel terlihat di dekat perbatasan Jalur Gaza, di Israel selatan, Sabtu, 23 Desember 2023. (Foto: AP)

Namun, dia mencoba memberikan afirmasi positif pada dirinya dengan mengatakan bahwa orang lain mengalami keadaan yang lebih buruk.

“Sepulang kerja, saya bisa pulang, saya bisa memasak dan menyalakan api. Saya mencuci tangan jika ada air,” ujarnya sambil menghitung berkah yang ia dapatkan.

“Kami harus mempertimbangkan persediaan air dan makanan, serta cara mengisi daya ponsel kami – hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya,” tambahnya.

“Tidak ada seorang pun yang pantas hidup seperti ini.”

Sondos al-Bayed, 32 tahun, Ibu Rumah Tangga

Bayed berasal dari Kota Gaza, tetapi sekarang tinggal di tenda di luar Rumah Sakit Kuwait di Rafah.

Dia menempati tenda itu bersama suaminya yang berprofesi sebagai jurnalis dan ketiga anaknya.

“Hidup kami jungkir balik. Totalnya 180 (derajat),” ujarnya.

Seorang gadis kecil duduk ketika warga Palestina yang mengungsi akibat pengeboman Israel menunggu giliran untuk memanggang roti di tenda kamp darurat di daerah Muwasi di Rafah, Jalur Gaza, 23 Desember 2023. (Foto: AP)

Keluarganya terpaksa pindah beberapa kali sejak meninggalkan Kota Gaza.

Mereka pertama-tama melarikan diri ke selatan menuju pusat kota Deir al-Balah. Namun, pemilik rumah yang menampung mereka segera meminta mereka pergi.

Hal ini dilakukan “karena takut jurnalis akan menjadi sasaran” serangan Israel, kata Bayed kepada AFP.

"Saya menangis tersedu-sedu... Saya tidak tahu harus berbuat apa," katanya.

Mereka berangkat lagi ke Khan Yunis, di selatan. Namun, rencana mereka sekali lagi gagal. Tentara Israel mengeluarkan perintah evakuasi bagi mereka yang berada di daerah tersebut, mengirim mereka lebih jauh ke selatan dekat perbatasan dengan Mesir.

BACA JUGA: Kelaparan Merajalela di Gaza, Pertempuran Israel-Hamas Meningkat

Dengan sedikit makanan yang bisa dia temukan, Bayed menyiapkan makanan untuk anak-anaknya tetapi mereka menolak untuk makan karena "Makanannya tidak enak dan kedaluwarsa."

Hidup menjadi "sulit, seperti terpisah dari keluarga, begitu pula kenangannya,” kata Bayed.

"Sebelumnya kami bahagia dan memiliki kehidupan yang stabil. Kami bermimpi membangun rumah yang lebih besar. Saya ingin (kehidupan itu) kembali."

Lynn Ruk, 17 Tahun, Pelajar

Ruk tinggal di kamp darurat di Rafah bersama orang tuanya, saudara laki-lakinya, empat saudara perempuan dan keponakannya.

“Dulu hidup saya sangat membosankan, saya mengeluh. Perang mengubah segalanya,” katanya.

Keluarganya meninggalkan rumah mereka di Khan Yunis sehari setelah perang berkecamuk.

Seorang pria Palestina mengendarai mobilnya yang rusak akibat serangan Israel terhadap rumah tetangga di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 23 Desember 2023. (Foto: AFP)

“Kami mengabadikan foto rumah (kami) sambil menangis,” kata Ruk.

Mereka tinggal sebentar bersama salah satu saudara perempuannya. Ketika keadaan di sana menjadi terlalu berbahaya, mereka berangkat ke rumah sakit Nasser di kota itu, sebelum berakhir di Rafah.

“Saya pikir kami akan pulang setelah seminggu. Sudah lebih dari 70 hari sekarang dan kami masih belum kembali,” katanya.

Remaja tersebut mengatakan berat badannya susut tujuh kilogram sejak perang dimulai. Dia beberapa kali jatuh sakit, dan bahkan sempat dilarikan ke ruang gawat darurat setelah pingsan.

Saat ini, makanannya sebagian besar terdiri dari makanan kaleng, dan sesekali hanya sepotong roti.

BACA JUGA: PBB Desak Pengerahan Bantuan ke Gaza, Sekjen PBB Sebut Israel Ciptakan 'Hambatan' Distribusi

“Saya tidak pernah mengira hidup saya akan seperti ini… Sebelum perang, saya mandi setiap hari,” katanya.

“Sekarang, jika saya beruntung, saya akan mandi di masjid seminggu sekali, di wastafel yang disediakan untuk berwudhu – jika ada air,” tambahnya.

Ruk takut akan nyawa teman-temannya dan nyawanya sendiri.

Ia bercita-cita menjadi jurnalis dan berharap bisa bepergian ke luar negeri untuk mewujudkan mimpinya.

“Saya berharap saya bisa kembali ke kehidupan saya sebelumnya, kehidupan yang sebetulnya tidak saya sukai,” katanya. [ah/ft]