Plt Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemkumham) Nugroho mengatakan pada hari Rabu (1/4) telah melepaskan 13.430 narapidana dan anak dari rutan dan lapas di seluruh Indonesia. Pelepasan ini merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Nugroho mengatakan total ada 30 ribuan narapidana yang akan dikeluarkan pada pekan pertama April 2020 ini.
"Yang keluar dengan asimilasi 9.091 orang dan yang keluar dengan program integrasi sejumlah 4.339 orang. Harapan kami kurang lebih 30 ribu orang bisa tercapai dalam tujuh hari bisa dilaksanakan," jelas Nugroho dalam teleconferensi, Rabu (1/4).
Nugroho menegaskan kebijakan pelepasan narapidana ini tidak dipungut biaya. Karena itu, ia meminta jajarannya tidak mempersulit proses pelepasan napi. Nugroho meminta masyarakat melaporkan jika menemukan pungli dan bagi jajarannya yang terbukti akan diberikan sanksi.
BACA JUGA: Cegah Perebakan Virus Corona di Penjara, Napi Perlu Dibebaskan Lebih Dini?Di samping itu, napi yang dikeluarkan juga disyaratkan memberikan alamat rumah dan nomor telpon supaya memudahkan pengawasan, termasuk untuk memudahkan pembinaan secara online.
"Sebelum membebaskan harus dipastikan mereka bukan ODP atau PDP. Satgas gugus tugas dalam lapas harus memastikan itu. Dan kita dilarang membebaskan ketika mereka PDP. Tapi memang tidak ada yang PDP," tambahnya.
Kemenkumham juga sedang mempertimbangkan pelepasan napi di luar pidana umum seperti napi khusus narkotika yang sebagian besar mengisi tahanan di Indonesia. Terutama napi yang masa tahanannya di antara 5-10 tahun, kelompok rentan dan lansia di atas 60 tahun.
ICJR Apresiasi Program Asimilasi & Integrasi, Tapi Menilainya Belum Cukup
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengapresiasi program asimilasi dan integrasi sebagai upaya untuk mengeluarkan napi dan anak dari tahanan. Kendati demikian, ia menilai program tersebut belum cukup untuk mengurangi jumlah penghuni tahanan.
"Presiden harus turun tangan responsif memberikan grasi dan amnesti masal pada pengguna narkotika dalam Lapas dan menyuarakan penghentian penahanan pada penyidik dan penuntut umum untuk mencegah penyebaran Covid-19 Rutan dan Lapas," jelas Erasmus melalui keterangan tertulis.
Your browser doesn’t support HTML5
Erasmus memperkirakan pengurangan jumlah penghuni tahanan sebanyak 30 ribu napi akan mengurangi sekitar 11 persen penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, dan masih akan tersisa 240 ribu penghuni. Sedangkan kapasitas tahanan hanya bisa menampung 130 ribu penghuni.
"Artinya pengurangan ini masih akan menimbulkan kondisi overcrowding. Kondisi ini pasti akan berdampak pada penyebaran virus yang masif," tambahnya.
Atas dasar tersebut, ICJR mendorong presiden Joko Widodo untuk memberikan grasi dan amnesti massal bagi kelompok tertentu seperti napi lansia di atas 65 tahun, napi yang menderita penyakit komplikasi bawaan, dan napi hamil atau membawa anak.
Sementara untuk penahanan yang jumlahnya mencapai 65.000 orang, ICJR meminta presiden untuk menyerukan penyidik dan penuntut umum untuk mengalihkan penahanan selain di rumah tahanan. Semisal menjadi tahanan rumah dan kota. [sm/em]