Cegah Ekstrimisme Lewat Tinjauan Kritis Al Quran

  • Indonesia
    Wella Sherlita | Jakarta
Alumnus Pondok Pesantren Ngruki, Noor Huda Ismail menilai ekstrimisme dapat dicegah lewat tinjauan kritis ayat-ayat Al Quran, terutama dalam memaknai “Jihad”.

Istilah ekstrimisme sering dipakai oleh media massa untuk mempertegas aksi kejahatan yang dilakukan sekelompok atau individu Muslim, yang memakan korban jiwa.

Kepada VOA, Noor Huda Ismail, seorang alumnus Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, berpendapat pandangan semacam itu dapat dihindari jika umat Islam melakukan tinjauan yang kritis atas makna “jihad” dalam ayat-ayat Al Quran.

“Misalnya ayat tentang konsep “mujahid” (orang yang melakukan perbuatan jihad) dan “jihad”. Apakah dia seorang pejuang Islam, ataukah dia seorang teroris? Itu kan berbeda. Kalau Mujahid kan mendapatkan kemuliaan, sementara kalau bapaknya mati karena kena bom itu nanti menjadi perdebatan, ” jelas Noor Huda. Menurutnya,“Ini harus diselesaikan, harus ada proses rekonsiliasi kalau tidak mata rantai dendam itu akan muncul terus-terusan.”

Ia menyampaikan hal ini di sela-sela diskusi bertajuk “Mencegah Ekstrimisme: Pengalaman Indonesia dan Inggris”, yang berlangsung di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Jumat siang tanggal 23 Juli.

Tinjauan kritis atas ayat-ayat Al Quran, menurut Noor Huda, terutama harus dilakukan didalam pesantren itu sendiri. Ia berharap, “Suatu saat mereka (para santri dan kyai di pondok pesantren) itu bisa melakukan pemikiran yang kritis, jangan hanya mendengar dan menaati, tetapi tidak ada proses kritis.”

Noor Huda Ismail yang pernah bekerja sebagai koresponden harian The Washington Post di Jakarta, pada tahun 2001-2003 ini, menilai pendekatan yang dilakukan Kepolisian selama ini salah. Jika dibiarkan, maka upaya deradikalisasi mustahil bisa tercapai.

Ia mencontohkan pendekatan yang dilakukan untuk terpidana kasus Poso, Abdullah Sonata. Menurut pendapatnya, “Pendekatan di Indonesia banyak yang tidak nyambung, Misalnya Abdullah Sonata, yang memberikan konseling (bimbingan) itu Fransiscus Xaverius. Itu kan enggak cocok. Saya bukan anti Kristen, tapi itu kan tidak pas. Orang yang terlibat di Ambon berbeda dengan yang terlibat di Jakarta.”

Jeremy Browne menilai Indonesia telah berusaha keras menangani masalah kekerasan.

Dalam kesempatan yang sama Menteri Negara Inggris Bidang Luar Negeri dan Persemakmuran, Jeremy Browne, mengungkapkan ia menyambut baik peluncuran novel Noor Huda berjudul “Temanku, Teroris?”, yang diangkat dari kisah nyata pengalaman Noor Huda semasa di Pondok Pesantren Ngruki, bersama sejumlah tokoh incaran polisi, seperti Mubarok, Imam Samudera, dan Amrozi.

Meskipun demikian, Browne mempunyai pendapat yang berbeda dengan Noor Huda. Ia menilai pemerintah Indonesia telah benar-benar berkomitmen mengatasi kekerasan. Inggris menyambut baik usaha keras yang telah dilakukan Indonesia, dimana hal ini sangat penting demi keamanan rakyat Indonesia dan juga bagi reputasi Indonesia di dunia.

Browne menambahkan, saat ini terdapat sekitar dua juta penduduk Muslim di Inggris. Beberapa diantaranya terlibat dalam kelompok radikal yang diwaspadai. Akan tetapi, menurut Browne, yang radikal ini jumlahnya sedikit. Mayoritas Muslim di Inggris melakukan kegiatan yang normal seperti warga Inggris lainnya.