China Hadapi Tekanan untuk Bayar Kompensasi Pencemaran Lingkungan

Asap mengepul dari pabrik pengolahan batu bara di Hejin, Provinsi Shanxi, China (foto: dok). China adalah salah satu negara pencemar emisi karbon terbesar di dunia.

China sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia kini menghadapi tekanan dari negara-negara berkembang untuk membayar dampak destruktif atas kerusakan iklim yang ditimbulkan.

Negara-negara berkembang untuk pertama kalinya meminta China untuk membayar dampak destruktif akibat perubahan iklim yang tidak dapat dihindari dengan mitigasi maupun adaptasi. Namun, China menolak melakukannya.

Dalam konferensi pers KTT Perubahan Iklim COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir, negara-negara pulau kecil mengatakan China dan India adalah pencemar besar dan harus mengimbangi konsekuensi perubahan iklim bagi negara-negara miskin. Negara-negara berkembang selama bertahun-tahun telah mendesak agar negara-negara dengan tingkat perekonomian yang lebih kaya memenuhi janji mereka memberikan kompensasi kepada negara-negara miskin atas kerugian karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Komitmen itu menyediakan 100 miliar dolar per tahun kepada negara-negara berkembang untuk melakukan mitigasi dan adaptasi iklim. Sebuah laporan PBB menyatakan jumlah itu sedianya naik menjadi 2,4 triliun dolar per tahun untuk negara-negara berkembang, tidak termasuk China.

BACA JUGA: China Tegaskan Komitmen Lawan Perubahan Iklim di COP27

China telah sejak lama dikategorikan sebagai negara berkembang, meskipun ia adalah negara dengan tingkat perekonomian terbesar kedua di dunia.

Sikap China dalam pendanaan iklim tidak berubah. Delegasi China masih menyatakan solidaritas dengan negara-negara berkembang untuk menekan negara kaya untuk memenuhi janji mereka.

Dalam hal tanggungjawab, Amerika dan negara-negara Uni Eropa secara kumulatif telah mengeluarkan hampir setengah emisi karbon sejak awal revolusi industri. Tetapi kini China menjadi sorotan.

Utusan khusus China untuk perubahan iklim, Xie Zhenhua

Direktur Program dan Inisiatif Strategis China di University of Pennsylvania Scott Moore, yang memusatkan perhatian dalam keberlanjutan lingkungan dan hubungan internasional, membahas perubahan perspektif tentang China dalam COP27.

“Pertumbuhan emisi China dalam 20-25 tahun terakhir benar-benar sangat besar sehingga membuat kita dapat berargumen bahwa China lah yang sebenarnya bertanggungjawab atas bagian signifikan emisi kumulatif,” ujar Moore.

Untuk menanggapi seruan negara-negara kepulauan itu, China mengatakan mendukung mekanisme pemberian kompensasi, tetapi tidak akan ikut campur.

Moore mengatakan jika China berkomitmen membayar ganti rugi maka ia akan menghadapi tekanan untuk juga mengambil tindakan mengurangi emisi yang dihasilkannya.

Melihat upaya China untuk menggambarkan dirinya sebagai pemimpin global dalam perubahan iklim, akan sangat sulit bagi China untuk kembali pada komitmen apapun yang dibuat tanpa merugikan citra yang ingin ditumbuhkannya.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, China telah menjadi negara donor. Pada tahun 2015 China membentuk dana kerjasama Selatan-Selatan lebih dari tiga miliar dolar untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Awal tahun ini China menambahkan satu miliar dolar lagi untuk dana itu.

BACA JUGA: Perundingan untuk Atasi Perubahan Iklim Macet, China Salahkan AS

Gørild Merethe Heggelund, peneliti di Fridtjof Nansen Institute di Oslo yang memusatkan perhatian pada kebijakan perubahan iklim China, mengatakan China menyadari tanggungjawabnya.

Heggelund mengatakan, “China ingin menjadi negara yang bertanggungjawab dan menilai bahwa negara itu juga bertanggungjawab membantu negara-negara miskin lain. China sedang mengembangkan peran ke arah itu.”

Namun demikian ia mengingatkan bahwa China kemungkinan akan lebih fokus pada mitigasi dan adaptasi domestik setelah menghadapi gelombang panas dan kekeringan pada musim panas lalu.

“Tahun ini kita melihat banjir dan kekeringan dengan dampak ekonomi yang besar. Misalnya di China, terjadi penurunan bersejarah di sepanjang Sungai Yangtze berdampak parah pada ketinggian air di propinsi Sichuan, yang sangat mempengaruhi produksi tenaga air yang terpotong 50%,” tambahnya.

Para pakar mengatakan China masih akan menghadapi tekanan lebih besar dari negara-negara maju dan berkembang dalam negosiasi iklim di masa depan. [em/lt]