Sejumlah pemerintah daerah di Jawa terus melakukan kajian terkait aturan, praktik dan risiko penerapan pembelajaran tatap muka, meski pemerintah pusat telah memberikan lampu hijau. Kajian tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya anak-anak yang belum divaksin sehingga dapat berisiko penularan.
Pemerintah mengizinkan wilayah yang berstatus Level III atau di bawahnya dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat ini untuk menyelenggarakan sekolah tatap muka dengan aturan yang ketat. Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, secara umum telah memasuki pekan kedua uji coba, kecuali di sejumlah kabupaten yang baru saja keluar atau masih berada di zona merah. Sedangkan Yogyakarta, yang baru turun status awal pekan ini, masih menerapkan sekolah daring.
“Belum. Kalau sekolah nanti kalau sudah memenuhi standar WHO yang lima persen. Prinsipnya, saya enggak berani memberikan izin keputusan untuk anak-anak tatap muka, apalagi bersekolah kalau belum divaksin, biarpun baru dosis pertama,” Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rabu (8/9) di Yogyakarta.
Angka 5 persen yang disebut Sultan adalah positivity rate atau persentasi kasus positif dari sampel yang diperiksa setiap harinya. Yogyakarta masih mencatatkan angka yang fluktuatif, meski cenderung menurun. Pada 1 September, angka positivity rate adalah 9,27 persen, lalu menjadi 8,66 persen pada 2 September, dan 8,53 persen sehari kemudian. Pada 4 dan 5 September, angkanya masih di atas 5 persen. Baru pada 6 September turun menjadi 4,69 persen dan turun lagi pada 8 September menjadi 4,42 persen.
Sikap hati-hati itu, kata Sultan, karena tetap ada kemungkinan terjadi risiko penularan di lingkungan sekolah. Dia bahkan berseloroh, pemerintah daerah bisa digugat orang tua di Pengadilan Tata Usaha Negara, jika kebijakan yang diterapkan menimbulkan kerugian, dalam hal ini penularan COVID-19.
Kepulangan Siswa Jadi Perhatian
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yang telah memasuki pekan kedua uji coba, menilai simulasi pembelajaran tatap muka berlangsung baik. Meski begitu, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Suyanta, menegaskan evaluasi tetap akan dilakukan.
“Pelaksanaan simulasi PTM jenjang SMA, SMK dan SLB Jawa Tengah dilakukan di 144 satuan pendidikan, dengan total 19.362 siswa peserta. Dari total 144 satuan pendidikan itu, ada 113 SMA, 24 SMK dan 7 SLB,” kata Suyanta dalam pernyataan tertulis.
Di luar itu, ada juga pelaksanaan PTM Terbatas jenjang SMA, SMK, dan SLB dengan total satuan pendidikan 159 sekolah dan 36.405 siswa. Sejauh ini, dinas belum menerima laporan adanya hambatan pelaksanaan simulasi PTM maupun PTM Terbatas.
Sedangkan di jenjang lebih rendah, di Jawa Tengah, ada 2.401 sekolah yang melaksanakan PTM, mulai dari PAUD, SD dan SMP yang tersebut di berbagai kabupaten atau kota.
"Yang masih menjadi evaluasi memang soal monitoring proses pulang dan perginya naik transportasi apa,” tambah Suyanta.
Jawa Timur Terapkan Evaluasi
Dalam diskusi Forum Merdeka Barat (FMB), Kamis (9/9), Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Wahid Wahyudi juga menyinggung soal perlunya pemantauan kepulangan siswa itu.
“Karena saat pulang sekolah, karena lama tidak ketemu teman, mereka cenderung berkumpul," katanya.
Hal-hal semacam itu, ujarnya, menjadi bahan evaluasi bersama pemerintah kabupaten/kota dan pihak sekolah hingga pekan kedua ini.
Wahid mengakui, dalam pemantauan langsung ke sekolah, yang melaksanakan PTM Terbatas, rata-rata siswa SMA/SMK menyatakan keinginan kuat skema itu tetap dilaksanakan ke depan. Desakan tidak hanya muncul dari siswa, tetapi juga guru dan orang tua.
Your browser doesn’t support HTML5
“Apalagi. misalnya di SMK, kan memberikan pembelajaran kompetensi keahlian. Memberikan pembelajaran ketrampilan. Tentu sulit apabila dilaksanakan dengan pembelajaran jarak jauh. Wajib dilaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas,” tambah Wahid.
Jawa Timur, lanjut Wahid, akan mengevaluasi seluruh skema pembelajaran, baik itu jarak jauh maupun tatap muka. Ke depan tetap dimungkikan skema sekolah daring, tetapi ada juga yang harus dilaksanakan secara tatap muka.
Data yang ada sampai pekan ini, dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, ada 4.073 lembaga pendidikan tingkat SMA/SMK/SLB yang sudah melaksanakan PTM. Jumlah itu merupakan 96,83 persen dari seluruh satuan pendidikan. Dari sisi jumlah siswa di jenjang yang sama, ada sebanyak 1.226.536 siswa sudah mengikuti PTM, atau 96,68 persen.
“Ini tentunya dilakukan dengan pembagian waktu, sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 39 tahun 2021,” kata Wahid.
Jumlah guru dan tenaga kependidikan di Jawa Timur adalah 101.846, dari angka itu 88,48 persen telah menerima vaksin dosis pertama 77,74 persen lengkap menerima dua dosis. Sementara jumlah siswa mencapai 1,2 juta, dengan 22,02 persen menerima vaksin pertama dan baru 4,08 persen lengkap dua dodis.
“Sesuai kebijakan pemerintah pusat, guru dan tenaga kependidikan yang boleh mengikuti PTM adalah yang sudah vaksin 2 kali,” tambah Hamid.
Peserta PTM Masih Kecil
Menurut Direktur Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sri Wahyuningsih, secara nasional sekolah yang sudah menerapkan PTM sampai 9 September mencapai 39 persen. Angka itu untuk seluruh jenjang pendidikan, mulai PAUD, SD, SMP, SMA, SMK dan SLB.
“Jumlah 39 persen itu dari 270 ribu satuan pendidikan yang telah meng-update datanya. Kalau satuan pendidikan itu sendiri jumlahnya 540 ribu. Jadi masih baru 50 persen satuan pendidikan yang meng-update melalui laman Kemdikbud, terkait kesiapan belajar di masa pandemi,” kata Wahyuningsih.
Meihat angkanya, sebenarnya mayoritas siswa di Indonesia saat ini masih mengikuti pelajaran secara daring dari rumah. Terkait kondisi ini, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, meminta orang tua terus menyesuaikan diri.
“Selama anak masih belajar di rumah, mohon suasana di rumah juga diciptakan suasana yang ramah anak. Suasana yang penuh keceriaan, kegembiraan, istilah Mas Menteri Nadiem sekarang adalah merdeka belajar. Belajar yang tidak ada tekanan-tekanan,” kata pria yang akrab dipanggil Kak Seto ini.
Seto menekankan, suasana rumah dan sekolah berbeda. Kondisi ini harus disiasati. Caranya dengan memastikan cara pembelajaran di rumah, tidak seperti di sekolah. Di rumah, anak tidak bisa bertemu kawan sekolahnya dan tidak diajar oleh guru profesional. Edukasi bagi orang tua juga penting, termasuk memahami berbagai kendala yang ada. [ns/ah]