Sebuah pengadilan kejahatan perang yang didukung oleh PBB di Kamboja menolak dakwaan terhadap mantan kader rezim Khmer Merah di tahun 1970-an hari Rabu, dengan menyatakan bahwa peran biksuni Buddha ini tidak cukup senior selam periode ketika sekitar 1,8 juta orang menemui ajalnya.
Keputusan dalam kasus Im Chaem, yang ditengarai menjalankan kamp kerja paksa, menjadi berkah bagi PM Hun Sen, seorang mantan serdadu Khmer Merah yang menentang adanya pengadilan lebih lanjut.
Kamar Luar Biasa di Pengadilan Kamboja mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Chaem, yang berusia 60-an tahun, tidak termasuk dalam jurisdiksi mereka karena ia bukanlah seorang pemimpin senior Khmer Merah atau satu dari para pejabat yang paling bertanggungjawab.
Kebanyakan dari korban Khmer Merah tewas karena kelaparan, siksaan, kelelahan atau penyakit yang diderita di kamp kerja paksa atau dipukuli hingga mati selama eksekusi massal. Pol Pot, “Saudara Nomor Satu,” meninggal pada tahun 1998.
Chaem, seorang mantan komandan distrik Khmer Merah, didakwa dengan pembunuhan dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ia tidak hadir di pengadilan karena polisi Kamboja menolak untuk menangkap Chaem atau kader-kader senior Khmer Merah yang lainnya yang juga didakwa. Hun Sen, yang berkuasa selama 30 tahun, telah memperingatkan apabila pengadilan semacam itu terus berlangsung dikhawatirkan akan menjerumuskan Kamboja ke dalam perang saudara.
“Selama hakim mengikuti aturan dan bukti, kita harus menerima keputusannya, namun kadang-kadang sulit untuk menerimanya,” ujar Youk Chang, yang menyatakan bahwa ia mengalami penderitaan ketika ia masih berusia 15 tahun, selama ia berada di kamp yang dijalankan oleh Im Chaem.
Timnya menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun mendokumentasikan horor dari rezim tersebut dan menyerahkan setengah juta dokumen ke pengadilan.
Pengadilan tersebut menghadapi ujian akan kredibilitasnya dan harus menjelaskan keputusannya kepada mereka yang berhasil bertahan hidup dari kejahatan rezim Khmer Merah, ujar Panhavuth Long dari Inisiatif Keadilan Kamboja, yang memantau pengadilan-pengadilan yang diselenggarakan. “Kami telah menyaksikan keprihatinan masyarakat terkait campur tangan yang ada,” ujarnya kepada Reuters.
Pengadilan telah dinodai oleh pertikaian, campur tangan politik, pengunduran diri dan keterbatasan pendanaan sejak pengadilan itu dibentuk untuk membawa “mereka yang paling bertanggungjawab” ke muka hukum atas kematian seperlima dari populasi Kamboja antara tahun 1975-1979. [ww]