Darurat Kekerasan Seksual di Balik Dunia PRT Migran dan Domestik

Seorang tenaga kerja perempuan Indonesia duduk di atas troli ketika menunggu berkas miliknya diperiksa saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta dari Arab Saudi, pada 28 Oktober 2009. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Sejumlah aktivis perempuan mengungkapkan situasi genting terkait maraknya kekerasan seksual yang menimpa para pekerja rumah tangga baik di dalam maupun luar negeri. Hal itu diperburuk dengan tidak adanya payung hukum yang melindungi PRT dari jeratan kekerasan seksual.

Kemalangan yang menimpa para pekerja rumah tangga Indonesia kian menjadi. Setelah mengalami ketidakjelasan nasib akan statusnya sebagai pekerja di sektor informal karena mangkraknya pembahasan Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), kini mereka harus bergulat dengan ancaman kekerasan seksual yang menghantui.

Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, dalam satu kesempatan pada 2018. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Direktur Eksekutif Migrant CARE, Anis Hidayah, mengungkapkan kekerasan seksual menghantui para kelompok pekerja migran termasuk PRT yang bekerja di dalam maupun luar negeri sudah memasuki kondisi darurat.

Data Migrant CARE menunjukkan setidaknya lima dari 10 orang pekerja rumah tangga (PRT) mengalami kekerasan seksual selama bekerja. Kondisi itu diperparah dengan proses hukum yang tak berpihak kepada PRT.

"Kenapa itu bisa terjadi? Karena sesungguhnya fenomena migrasi di Indonesia yang menempatkan perempuan pada posisi rentan. Bahkan sebelum berangkat sebagian besar dari mereka adalah korban kekerasan," kata Anis dalam diskusi Publik Migrant CARE dan Jalastoria Indonesia, pada Selasa (21/12) malam.

BACA JUGA: PRT akan Gelar Aksi Gembok Gerbang DPR Tuntut Pengesahan RUU Perlindungan PRT

Ia kemudian menjelaskan bahwa perempuan pekerja migran rentan mengalami kekerasan berbasis gender terutama kekerasan seksual. Hal itu dialami para perempuan pekerja migran bukan hanya saat tiba di negara tujuan. Namun, sebelum berangkat mereka juga telah mengalami beberapa tindakan kekerasan mulai dari pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, yang terjadi di tempat penampungan maupun rumah transit ilegal.

"Itu juga terjadi ketika pekerja migran pulang ke Tanah Air masih mengalami pelecehan seksual, perkosaan, dan poligami. Luar biasa apa yang dialami," ungkap Anis.

Menurut Anis, pelaku tindak kekerasan seksual terhadap para PRT di dalam maupun luar negeri beragam mulai dari agensi dalam dan luar negeri, majikan dan keluarganya, hingga orang yang tak dikenal.

"Tidak ada ruang aman untuk PRT migran kita. Bagaimana mencegah kasus-kasus kekerasan seksual karena dikepung oleh pelaku-pelaku yang selama ini menjadikan PRT migran sebagai salah satu target," ujarnya.

Petugas imigrasi Malaysia menahan dua perempuan yang diduga pekerja migran ilegal asal Indonesia dalam sebuah operasi di Nilai, di luar Kuala Lumpur, pada 1 September 2013. (Foto: Reuters/ Bazuki Muhammad)

Adanya Undang-Undang No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juga dinilai belum sepenuhnya mampu mencegah masifnya kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami PRT migran di luar negeri.

Sementara itu, aktivis perempuan, Ninik Rahayu, mengatakan terdapat problem mendasar terkait kekerasan seksual yang dialami PRT migran dan domestik. Salah satunya adalah perlindungan yang diberikan negara belum cukup komprehensif melindungi para PRT migran dan domestik.

"Kami sampai mengistilahkan kedaruratan karena kasusnya secara faktual banyak, tapi perlindungan yang diberikan negara belum cukup komprehensif," katanya.

Lanjut Ninik, problem mendasar lainnya terkait kasus kekerasan seksual yang menyasar PRT migran dan domestik saat ini bentuknya telah beragam. Bukan hanya kekerasan seksual secara konvensional tapi juga terjadi di ruang-ruang dunia maya. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap PRT juga bervariasi mulai dari menyerang psikis seperti intimidasi, pelecehan, isolasi, dan caci maki.

BACA JUGA: Komnas Perempuan: Tidak Ada Alasan Menunda Pengesahan RUU Perlindungan PRT

Selanjutnya, kekerasan terhadap PRT yang menyasar fisik berupa pemukulan, penganiayaan dengan alat maupun tangan hingga pelecehan seksual.

"Jumlahnya bukan semakin mengecil tapi terus bertambah," ucap Ninik.

Kekosongan payung hukum dalam menangani situasi darurat seperti itu mendorong para aktivis semakin menyerukan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan RUU PPRT yang dinilai mampu mengatasi situasi yang terjadi saat ini. Namun, sayangnya RUU TPKS batal dibahas di sidang paripurna DPR 2021.

Your browser doesn’t support HTML5

Darurat Kekerasan Seksual di Balik Dunia PRT Migran dan Domestik

"Harapan kita semua ada dua yang harus masuk rapat Badan Musyawarah pada Januari 2022. Kita semua berdoa dan berharap DPR RI menggelar rapat Badan Musyawarah untuk RUU TPKS serta RUU PPRT dan membawa dua draf RUU itu pada rapat paripurna."

"Kalau RUU PPRT sudah (masuk) Badan Musyawarah, tapi RUU TPKS belum. Jadi keduanya harus masuk rapat Badan Musyawarah dan memparipurnakan karena bagi PRT, dua RUU menjadi sangat penting. Sulit kalau hanya tanpa pengakuan di sini. Ini yang tidak bisa dipisahkan," pungkas Ninik. [aa/rs]