Sejumlah organisasi Muslim dan Arab-Amerika besar serta kelompok-kelompok aktivis pro-Palestina mengaku tidak dilibatkan dalam acara pertemuan antara kantor Wakil Presiden AS Kamala Harris dengan para tokoh masyarakat mengenai upaya pemerintah untuk meredam konflik yang meluas di Timur Tengah.
Pada Rabu, Gedung Putih mengumumkan bahwa Phil Gordon, penasihat keamanan nasional Harris, bertemu secara virtual dengan “para tokoh masyarakat Muslim, Arab dan Palestina-Amerika dari seluruh penjuru Amerika Serikat,” untuk membahas upaya pemerintahan Biden untuk mengakhiri perang di Gaza. Dalam pernyataannya, Gedung Putih mengatakan bahwa Gordon “menyampaikan keprihatinannya terhadap warga sipil di Lebanon,” dan “tindakan Israel yang merusak perdamaian, keamanan dan stabilitas di Tepi Barat.”
Pertemuan itu tampak seperti upaya untuk memperbaiki hubungan pemerintah dengan komunitas Arab, Palestina dan Muslim, yang marah akan dukungan berkelanjutan pemerintah AS kepada Israel dalam perang melawan Hamas, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu warga sipil Palestina dan menyisakan krisis kemanusiaan di Gaza hingga sekarang.
Akan tetapi, tak satu pun organisasi masyarakat besar, termasuk Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) dan Dewan Hubungan Masyarakat Muslim, yang diundang ke pertemuan itu.
Demikian juga Gerakan Nasional Tak Berkomitmen dan Tinggalkan Harris, dua kelompok aktivis pro-Palestina yang telah mendorong perubahan dalam kebijakan pemerintah AS mengenai isu Gaza.
BACA JUGA: Akankah Gerakan Pro-Palestina Pengaruhi Kans Capres Harris Menang di Michigan?Tokoh masyarakat dari kelompok-kelompok terkemuka di area Washington, termasuk MakeSpace, Pusat Islam Dar Al Hijrah, dan Mustafa Center juga tidak diundang.
James Zogby, presiden Institut Arab Amerika, ikut serta dalam pertemuan delapan orang bersama Gordon. Ia mengatakan, pertemuan itu “menjengkelkan,” karena tidak melibatkan para perwakilan kelompok masyarakat.
“Kami diberi tahu (bahwa ini) pertemuan Arab-Amerika. Kami diberi tahu ini pertemuan Muslim. Satu pun tidak ada yang benar,” kata Zogby kepada VOA. “Tidak ada tokoh masyarakat Palestina. Memang ada orang Amerika keturunan Palestina (yang hadir), tapi tidak ada organisasi yang mewakili masyarakat Palestina-Amerika.”
Gedung Putih, kantor wakil presiden, maupun tim kampanye Harris tidak menanggapi pertanyaan VOA.
Zogby mengatakan, ia merasa “terjebak” oleh acara yang ia sebut sebagai “formalitas saja” itu. ia mengatakan, pemerintahan Biden melewatkan kesempatan karena tidak mengundang orang-orang yang diusulkan oleh masyarakat.
“Hanya ada dua dari delapan orang di antara kami yang merupakan pemimpin organisasi,” ungkapnya.
Edward Gabriel, presiden Gugus Tugas Amerika untuk Lebanon, mengatakan bahwa kantor wakil presiden AS telah melibatkannya dalam “hampir selusin” pertemuan, termasuk yang turut dihadiri Gordon pekan ini.
“Pertemuan kami terus berlanjut secara positif,” tulisnya kepada VOA. “Kami telah menyampaikan kepada Wakil Presiden dan timnya tentang pentingnya menyampaikan pesan yang jelas kepada komunitas kami mengenai perlunya mengakhiri perang ini dan membantu warga Lebanon yang paling terdampak oleh konflik tersebut.”
Selama dua minggu terakhir, kampanye militer Israel yang menarget militan Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon telah menewaskan ratusan orang, melukai ribuan lainnya dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi. Salah satu korbannya adalah Kamel Ahmad Jawad, warga negara AS asal Kota Dearborn, Michigan.
Gabriel mengatakan, sikap Biden terhadap kampanye militer Israel ke Lebanon yang semakin meluas hingga saat ini “tidak diterima dengan baik oleh komunitas warga Amerika-Lebanon, karena tidak adanya rasa belas kasihan yang diungkapkan atas hilangnya nyawa warga sipil yang tidak bersalah, terutama perempuan dan anak-anak.”
BACA JUGA: Eskalasi Israel-Iran Tingkatkan Kekhawatiran akan Meluasnya Perang dan Keterlibatan Langsung Amerika SerikatDukungan sama rata
Upaya pendekatan Harris dilakukan ketika hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa dukungan warga Arab-Amerika terhadap calon presiden AS dari Partai Demokrat itu pada hakikatnya setara dengan dukungan bagi capres Partai Republik, mantan Presiden Donald Trump.
Institut Arab Amerika pada Rabu (2/10) menerbitkan hasil survei nasionalnya terhadap 500 warga Amerika keturunan Arab yang sudah terdaftar sebagai pemilih, yang menunjukkan bahwa dukungan bagi Trump berada pada angka 42 persen, sedangkan bagi Harris sebesar 41 persen.
Di antara responden yang mengaku kemungkinan besar akan menggunakan hak pilih dalam pemilu, sebanyak 46 persen akan memilih Trump, lebih banyak dari yang berniat memilih Harris yang jumlahnya mencapai 42 persen.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa upaya pemerintahan Biden dalam menangani krisis di Gaza telah menggerogoti dukungan masyarakat terhadap Partai Demokrat, yang merupakan partai pemerintah. Padahal, komunitas itu biasanya mendukung Demokrat. Warga Arab-Amerika kini terbelah sama rata ke dalam dua partai besar di Amerika – Demokrat dan Republik – dengan dukungan sama-sama pada angka 38 persen.
Amerika Serikat merupakan rumah bagi 3,5 juta warga keturunan Arab menurut sensus terbaru. Biro Sensus AS tidak mendata penduduk berdasarkan agama mereka, tapi berbagai sumber menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4-6 juta warga Muslim di Amerika.
Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan total populasi AS yang sebanyak 337 juta jiwa. Meski demikian, karena warga Arab-Amerika terpusat di segelintir negara bagian, seperti California dan Michigan, mereka mungkin akan memainkan peran yang lebih besar dalam pemilu November mendatang.
Your browser doesn’t support HTML5
Hal ini mungkin terutama akan terasa di Michigan, salah satu negara bagian penentu dengan persentase penduduk keturunan Arab yang dimenangkan Biden pada pemilu 2020, dengan selisih suara hanya sebesar 154 ribu suara di atas Trump. Pada tahun 2016, Trump lah yang memenangkan pemilu di negara bagian itu, dengan keunggulan suara sebanyak 11.000 atas Hillary Clinton.
Lebih dari 100.000 warga Michigan memberikan suara “tidak berkomitmen” dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat awal tahun ini, untuk memprotes dukungan pemerintahan Biden pada kampanye militer Israel – suara yang dapat direbut oleh Trump.
Trump dekati komunitas Arab dan Muslim Amerika
Trump telah berusaha mendekati pemilih keturunan Arab dan Muslim, dan telah mendapatkan dukungan dari Amer Ghalib, wali kota Hamtramck, Michigan, keturunan Yaman. Kota yang dipimpinnya merupakan rumah bagi 30.000 penduduk, yang hampir separuhnya memeluk Islam, sekaligus menjadi satu-satunya kota di AS dengan anggota dewan kota yang seluruhnya Muslim.
“Mendukung Presiden Trump adalah kombinasi dari kekecewaan sekaligus harapan,” kata Ghalib kepada VOA. “Kecewa pada kebijakan pemerintahan saat ini, baik di dalam maupun luar negeri, dan dengan harapan bahwa Presiden Trump akan memperbaiki segalanya, mengakhiri kekacauan di Timur Tengah dan memulihkan perdamaian di mana-mana, sekaligus mencegah agar ekonomi kita tidak semakin turun.”
Dukungan Ghalib diberikan akhir bulan September, setelah ia bertemu dengan Trump, yang menggelar kampanye di Kota Flint, Michigan.
Dalam isu budaya seperti hak-hak LGBTQ+ dan hak aborsi, Ghalib dan banyak konstituennya lebih sejalan dengan Partai Republik. Ia sendiri telah mendukung sejumlah kebijakan konservatif yang dibuat oleh dewan kotanya, termasuk larangan mengibarkan bendera Pride di bangunan pemerintah kota – sebuah langkah yang membuat marah anggota sekaligus sekutu komunitas LGBTQ+.
“Isu budaya itu penting bagi beberapa orang,” kata Zogby. Ia menambahkan, motivasi lainnya adalah keinginan untuk “menghukum Partai Demokrat” akibat apa yang terjadi di Gaza.
“Saya rasa tidak ada yang benar-benar secara serius menganggap Donald Trump lebih baik dari Kamala Harris dalam isu Timur Tengah,” ungkapnya. “Ini lebih kepada bahwa keduanya mungkin sama-sama buruk. Itu, saya rasa, adalah pandangan umumnya.” [rd/rs]
Koresponden PBB VOA Margaret Besheer dan reporter VOA Sayed Aziz Rahman berkontribusi pada laporan ini.