Perdana Menteri (PM) Thailand Chan-ocha lolos dari mosi tidak percaya dan demonstran langsung turun ke jalan-jalan.
Thailand sedang dicekam oleh sebuah krisis politik.
Mantan pemimpin militer yang tidak populer itu menolak untuk tunduk pada gerakan pro-demokrasi yang sangat tidak puas dengan kepemimpinannya selama tujuh tahun.
BACA JUGA: Generasi Z dan Kaos Merah Thailand Tingkatkan Tekanan pada PemerintahKemarahan ini semakin diperburuk dengan kehancuran ekonomi yang belum pernah terjadi sejak krisis keuangan pada 1997.
Para pengunjuk rasa mengatakan cara pemerintah mengatasi gelombang pandemi virus corona yang terbaru telah meyakinkan mereka bahwa PM Prayuth Chan-ocha harus mundur.
Lebih dari 12 ribu warga Thailand telah meninggal sejak April, dan baru 13 persen dari penduduk Thailand menerima vaksinasi penuh untuk melawan COVID-19.
Prayuth membela kinerjanya, serta mengalahkan mosi yang hendak mencopotnya dari jabatan perdana menteri. Hal ini terselenggara karena banyak kursi di parlemen diduduki oleh sekutunya yang berasal dari militer kerajaan.
“Thailand adalah salah satu negara pertama yang didera badai COVID ini. Saya tegaskan kepada Anda meskipun Thailand mungkin bukan negara terbaik dalam menangani pandemi, jelas kita bukan yang terburuk," ujar Prayuth.
Namun, untuk para demonstran yang terdiri dari anak-anak muda ini, satu-satunya jalan keluar adalah pengunduran diri Prayuth.
BACA JUGA: Parlemen Thailand Mulai Perdebatkan Mosi Tidak Percaya PM PrayuthMereka mengatakan, Thailand membutuhkan perombakan besar-besaran pada seluruh lembaga politiknya agar lebih setara dan masyarakatnya tidak terlampau tertindas.
Ini termasuk pembatasan atas kekuasaan kerajaan, termasuk lembaga kerajaan, sebuah institusi yang sebelumnya tidak pernah dipertanyakan, namun kini dipimpin oleh Raja Maha Vajiralongkorn, yang merupakan salah satu raja yang paling kaya di dunia. Keberhasilan Prayuth selamat dari kejatuhan politik ini semakin membuat marah pengecamnya.
“Apakah itu di dalam atau di luar parlemen tidak ada bedanya kalau mereka yang berkuasa. Kalau mereka mencoba berkuasa seperti ini, maka parlemen bukan jawabannya, satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah turun ke jalan," ujar Baifern Benjama, seorang perempuan aktivis anti-pemerintah berusia 19 tahun.
Ribuan penduduk, Sabtu (4/9), berusaha berdemonstrasi di depan kedutaan-kedutaan, yang terletak di pusat komersial Bangkok. Hal ini dimaksudkan untuk mempermalukan pemerintah Thailand di hadapan masyarakat global.
Sebagian pedemo yakin, perjuangan mereka kini memasuki sebuah tahap baru, dan berpotensi bahaya.
Semakin berbahaya ketika bentrokan dengan polisi terjadi hampir setiap malam.
Your browser doesn’t support HTML5
“Ini sudah tidak efektif lagi … Anda bisa berusaha mereformasi setiap sistem, setiap lembaga, itu tidak akan berhasil. Satu-satunya cara adalah turun ke jalan. Bahkan langkah non-kekerasanpun tidak akan berhasil terhadap rejim diktator ini. Saya tidak bisa hanya duduk dan menonton… Saya harus turun dan berdemo, dan setiap orang juga harus melakukannya," kata Billie adalah pengunjuk rasa pro-demokrasi, perempuan, usia 22 tahun.
Situasi sudah mendidih di Thailand.
Pertanyaannya sekarang adalah, berapa lama kebuntuan politik antara Prayuth dan rakyat Thailand akan berlangsung. [jm/my]