Detasemen Khusus 88 dikritik karena tidak berupaya menangkap tersangka militan hidup-hidup sehingga mendorong ekstremisme lebih jauh.
JAKARTA —
Pasukan polisi anti teror Indonesia, Detasemen Khusus (Densus) 88, telah menewaskan tujuh tersangka militan baru-baru ini, memunculkan kembali tuduhan bahwa pasukan tersebut tidak berupaya menangkap tersangka hidup-hidup – sebuah tren yang tampaknya mendorong ekstremisme tinggi.
Juru bicara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan Minggu (6/1) bahwa tidak ada tembakan yang dilepaskan ke arah polisi selama tiga penggerebekan pada Jumat dan Sabtu lalu di wilayah Indonesia bagian timur, namun para tersangka tersebut di sedikitnya salah satu lokasi memiliki bahan eksplosif yang “siap” diledakkan.
Ia mengatakan bahwa para anggota Densus 88 telah mengikuti prosedur karena para tersangka tersebut membahayakan nyawa mereka.
Haris Azhar, ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan bahwa sepertinya para tersangka militan tersebut merupakan korban dari “pembunuhan ekstrajudisial” dan ia mendesak penyelidikan yang independen. Haris mengatakan taktik Densus 88 mendorong aksi militan dengan membuat kelompok militan merasa dikepung.
“Saya khawatir simpati publik terhadap polisi yang terus menggunakan kekerasan akan menurun,” ujarnya. Ia menduga beberapa tersangka pada waktu yang lalu telah ditembak di depan anak-anak mereka.
“Tidak pernah ada evaluasi atas tindakan-tindakan Densus. Sepertinya kebrutalan polisi telah berkontribusi pada pertumbuhan terorisme.”
Densus 88 dibentuk setelah pemboman di Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang, dengan bantuan keuangan dan teknis dari Amerika Serikat dan Australia, dan masih menerimanya hingga kini.
Pasukan ini berperan penting dalam penahanan ratusan militan selama lebih dari 10 tahun terakhir dan berjasa mengurangi ancaman serangan-serangan terhadap kepentingan Barat di Indonesia. Namun kelompok-kelompok kecil militan terus menyerang polisi dan warga.
Sejak pembentukannya, Densus telah membunuh lebih dari 70 tersangka. Seperti di negara-negara lain, beberapa militan Indonesia telah meledakkan dirinya sendiri saat polisi mendekati mereka dan menunjukkan keinginan bertempur. Data polisi menunjukkan bahwa para militan membunuh 10 polisi pada 2012 di seluruh Indonesia.
“Mereka berbeda dari penjahat biasa,” ujar Boy. “Kita tidak dapat mengambil risiko karena mereka tidak akan ragu membunuh penegak hukum.”
Taufik Andrie, direktur riset Institute for International Peace Building, mengatakan sepertinya polisi yang memburu para militan yang diduga terlibat dalam pembunuhan para koleganya tidak tertarik memenjarakan mereka.
“Ini siklus kekerasan, dengan masing-masing pihak ingin membalas dendam,” ujar Taufik.
“Ada kecurigaan bahwa beberapa polisi berpikir jenis deradikalisasi terbaik adalah dengan membunuh orang.”
Bagaimana pembunuhan oleh Densus 88 digunakan untuk menggalang dukungan bagi kelompok ekstremis terlihat pada Minggu pada sebuah pertemuan publik para radikal di Jakarta. Meski mereka yang hadir tidak memerlukan alasan tambahan untuk membenci atau tidak mempercayai negara, para pembicara membahas pembunuhan tujuh tersangka sebagai contoh terbaru kebrutalan polisi.
"Oh, Allah, mereka telah membunuh hamba-hamba-Mu, jadi hancurkanlah mereka,” ujar Son Hadi dari Jama'ah Ansharut Tauhid, sebuah kelompok radikal yang para anggotanya telah dituduh mendukung terorisme.
“Waspadalah atas perang terhadap Islam,” ujarnya. (AP/Chris Brummitt dan Niniek Karmini)
Juru bicara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan Minggu (6/1) bahwa tidak ada tembakan yang dilepaskan ke arah polisi selama tiga penggerebekan pada Jumat dan Sabtu lalu di wilayah Indonesia bagian timur, namun para tersangka tersebut di sedikitnya salah satu lokasi memiliki bahan eksplosif yang “siap” diledakkan.
Ia mengatakan bahwa para anggota Densus 88 telah mengikuti prosedur karena para tersangka tersebut membahayakan nyawa mereka.
Haris Azhar, ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan bahwa sepertinya para tersangka militan tersebut merupakan korban dari “pembunuhan ekstrajudisial” dan ia mendesak penyelidikan yang independen. Haris mengatakan taktik Densus 88 mendorong aksi militan dengan membuat kelompok militan merasa dikepung.
“Saya khawatir simpati publik terhadap polisi yang terus menggunakan kekerasan akan menurun,” ujarnya. Ia menduga beberapa tersangka pada waktu yang lalu telah ditembak di depan anak-anak mereka.
“Tidak pernah ada evaluasi atas tindakan-tindakan Densus. Sepertinya kebrutalan polisi telah berkontribusi pada pertumbuhan terorisme.”
Densus 88 dibentuk setelah pemboman di Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang, dengan bantuan keuangan dan teknis dari Amerika Serikat dan Australia, dan masih menerimanya hingga kini.
Pasukan ini berperan penting dalam penahanan ratusan militan selama lebih dari 10 tahun terakhir dan berjasa mengurangi ancaman serangan-serangan terhadap kepentingan Barat di Indonesia. Namun kelompok-kelompok kecil militan terus menyerang polisi dan warga.
Sejak pembentukannya, Densus telah membunuh lebih dari 70 tersangka. Seperti di negara-negara lain, beberapa militan Indonesia telah meledakkan dirinya sendiri saat polisi mendekati mereka dan menunjukkan keinginan bertempur. Data polisi menunjukkan bahwa para militan membunuh 10 polisi pada 2012 di seluruh Indonesia.
“Mereka berbeda dari penjahat biasa,” ujar Boy. “Kita tidak dapat mengambil risiko karena mereka tidak akan ragu membunuh penegak hukum.”
Taufik Andrie, direktur riset Institute for International Peace Building, mengatakan sepertinya polisi yang memburu para militan yang diduga terlibat dalam pembunuhan para koleganya tidak tertarik memenjarakan mereka.
“Ini siklus kekerasan, dengan masing-masing pihak ingin membalas dendam,” ujar Taufik.
“Ada kecurigaan bahwa beberapa polisi berpikir jenis deradikalisasi terbaik adalah dengan membunuh orang.”
Bagaimana pembunuhan oleh Densus 88 digunakan untuk menggalang dukungan bagi kelompok ekstremis terlihat pada Minggu pada sebuah pertemuan publik para radikal di Jakarta. Meski mereka yang hadir tidak memerlukan alasan tambahan untuk membenci atau tidak mempercayai negara, para pembicara membahas pembunuhan tujuh tersangka sebagai contoh terbaru kebrutalan polisi.
"Oh, Allah, mereka telah membunuh hamba-hamba-Mu, jadi hancurkanlah mereka,” ujar Son Hadi dari Jama'ah Ansharut Tauhid, sebuah kelompok radikal yang para anggotanya telah dituduh mendukung terorisme.
“Waspadalah atas perang terhadap Islam,” ujarnya. (AP/Chris Brummitt dan Niniek Karmini)