Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menilai tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya oleh aparat dan organisasi massa sebagai pemantik.
Ekspresi ketidakadilan, merasa didiskriminasi, itulah yang kemudian menyatukan identitas Papua dan membuat mereka melakukan unjuk rasa di sejumlah kota di Papua, kata Adriana.
Sejumlah pihak berwenang sudah membuat kesepakatan untuk tidak memperpanjang masalah tersebut dan itu bisa meredam. Tetapi, kata Adriana, jika akar masalahnya tidak diselesaikan, ke depannya akan membuat masalah yang sedikit saja menjadi mudah dipicu menjadi kerusuhan lagi.
Menurut Adriana, akar masalah yang harus diselesaikan di antaranya adalah persoalan identitas yang juga terkait dengan eksistensi. Masalah akan muncul jika eksistensi mereka dimarjinalkan, didiskriminasi, baik secara verbal maupun cara yang lain.
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Agar Kekerasan Rasis Tak TerulangAdriana mempertanyakan bagaimana orang Papua dapat dimanusiakan, jika masih ada ungkapan-ungkapan diskriminasi dan rasial seperti yang terjadi di Malang dan Surabaya. Ini, lanjutnya, merupakan akar permasalahan yang luar biasa.
Permasalahan lain yang juga harus diselesaikan pemerintah adalah soal kecemburuan sosial mengenai pembangunan ekonomi, pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan yang tidak mudah diakses oleh orang-orang Papua.
Yang selama ini dicoba diperbaiki oleh pemerintah di Papua, tambahnya, adalah bangunan fisik, konektivitas dan beberapa hal lainnya. Adriana mengatakan hal tersebut baik tetapi ia mempertanyakan pembangunan manusianya.
“Kemudian persoalan kekerasan sendiri. Ada memang kekerasan yang dilakukan aparat, oleh kelompok sipil bersenjata. Tetapi mengata-ngatai Papua secara verbal, itu juga bentuk kekerasan” kata Adriana.
BACA JUGA: Pemerintah Imbau Selesaikan Masalah Papua, KontraS Desak Penegakan HukumLebih lanjut Adriana mengungkapkan sudah saatnya dialog Jakarta-Papua segera dilakukan, karena hal ini sangat penting untuk membuka kebuntuan komunikasi.
Dialog itu, lanjut Adriana, bukan untuk menyelesaikan masalah tetapi untuk membuka kebuntuan-kebuntuan komunikasi yang membuat pemahaman para pihak ini tidak sama. Jakarta memandang Papua dengan versi Jakarta begitu juga sebaliknya, sehingga pandangan keduanya tidak pernah bertemu.
LIPI sudah beberapa kali mengajukan beberapa model dialog antara Jakarta-Papua, namun hingga kini belum juga direalisasikan oleh pemerintah.
“Kan agendanya banyak. Misalnya perbaikan pendidikan dan kesehatan, memberikan layanan kesehatan yang lebih baik dengan mencapai kesepakatan bersama yang perlu dilakukan itu apa, itu kan bisa didialogkan. Kemudian dialog dengan konteks yang lain, otonomi khusus misalnya. Ini kan tahun 2021, 20 tahun implementasi Otsus. Itu seberapa sudah memberikan manfaat yang optimal kepada Papua. Itu bisa dibicarakan," imbuhnya.
Tapi yang jelas, lanjut Adriana, dialog itu untuk perbaikan Papua dalam konteks Indonesia. Ketakutan, kecurigaan, ketidakpercayaan bahwa dialog nantinya menuntut kemerdekaan, semua itu membuat dialog tidak jadi dilaksanakan. Di Papua juga jangan berpikiran dialog untuk merdeka, ujar Adriana.
BACA JUGA: Pengamanan Ditingkatkan di Tengah Protes Kekerasan di Papua BaratSementara itu, Kepala Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisa Khalid menilai negara selama ini bertindak tidak adil terhadap masyarakat Papua. Dia menekankan apa yang diambil oleh negara dari wilayah Papua tidak sebanding dengan yang diterima masyarakat Papua dari negara.
"Apa yang tidak negara minta dari Papua? Tanahnya, airnya, sumber daya alamnya, hutannya, semua diminta dari Papua. Tapi apa yang negara berikan kepada Papua? Negara memberikan senjata, militer yang masif, negara masuk lewat buldoser, perusahaan-perusahaan, praktek kekerasan, perampasan tanah, penghilangan sumber-sumber kehidupan orang asli Papua," tutur Khalisa.
Khalisa menyoroti elite politik kalau membahas Freeport hanya tentang berapa saham yang bisa dimiliki oleh pemerintah. Tapi tidak pernah ada diskusi mengenai nasib masyarakat adat yang tanahnya sudah dirampas, tanahnya sudah dicemari, rusaknya lingkungan hidup.
BACA JUGA: Luapan Protes Mahasiswa Papua atas Tindakan Diskriminasi dan RasismeStaf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya, mengatakan sesuai tuntutan para pedemo, mereka yang melakukan tindakan rasis kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, harus diproses secara hukum.
“Ini kan memang masalah besar, memang kita harus tegakkan hukum bagi warga Indonesia, siapa saja,” kata Lenis Kogoya .
Ketika ditanya soal dialog Jakarta-Papua, Lenis tidak mau menjawab karena menurutnya itu bukan ranahnya. [fw/uh]