Diaspora Indonesia: HUT RI adalah Momen untuk Syukuri Kemajuan di Tanah Air

  • Leonard Triyono

Para pemuda membawa bendera merah-putih saat memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-76 di Banda Aceh, 16 Agustus 2021.

Bertepatan dengan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, pada tanggal 17 Agustus, VOA berbicara dengan dua diaspora Indonesia yang berprofesi sebagai guru besar di AS dan Kanada mengenai makna hari bersejarah ini bagi mereka.

Meski telah puluhan tahun menetap di luar negeri, kedua cendekiawan ini mengatakan bahwa rasa kebangsaan, identitas sebagai orang Indonesia, dan kecintaan mereka pada tanah air tidak pernah luntur, tetapi justru semakin kuat dan tebal.

Perasaan cinta tanah air yang semakin kuat, kebanggaan akan identitas kebangsaan yang semakin menebal, harapan akan negara yang semakin maju, serta kerinduan akan seluruh rakyat yang semakin sejahtera, itulah sebagian intisari yang tercermin dari pembicaraan tentang Indonesia dengan kedua guru besar yang telah puluhan tahun berkarya di luar negeri itu.

Siti Kusujiarti, Ph.D. telah bekerja di Warren Wilson College di Asheville, North Carolina, Amerika selama 21 tahun. Kini ia menjabat sebagai guru besar sosiologi dan ketua Jurusan Sosiologi dan Antropologi di perguruan tinggi itu. Wanita Yogyakarta lulusan S1 Universitas Gajah Mada ini melanjutkan kuliah S2 dan S3 di University of Kentucky di Lexington, Kentucky. Dengan memperhitungkan masa kuliah di negara bagian Kentucky itu, ia telah tinggal di Amerika selama 30 tahun.

Siti Kusujiarti, Ph.D, Professor and Chair of Sociology and Anthropology Department, Warren Wison College, Asheville, North Carolina.

Namun, ketika berbicara dengan VOA “Mbak Atik” – demikian ia biasa disapa – mengatakan, “saya tetap orang Indonesia.” Menurutnya, definisi orang Indonesia mungkin bisa diperluas, bukan hanya meliputi orang yang berada di Indonesia akan tetapi juga mencakup mereka yang berada di luar negeri, tetapi memiliki perasaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Wanita yang masih fasih menggunakan bahasa Jawa, termasuk kromo inggil (ragam hormat tertinggi) ini mengatakan “perayaan 17 Agustus semakin memperkuat rasa kebangsaan, rasa attachment (keterikatan) terhadap tanah air, kebudayaan, dan juga sense of identity (rasa identitas).”

“Rasa sebagai orang Indonesia ya tetap saja ada dan masih kuat. Tujuh belas Agustus itu mengingatkan saya bahwa saya masih sebagai orang Indonesia dan memperkuat rasa itu dan terlebih lagi kalau mendengar Indonesia Raya, melihat bendera Merah Putih seperti waktu melihat Olimpiade dan Indonesia Raya bergaung, itu sangat menggetarkan jiwa, karena masih ada keterikatan yang kuat," ungkapnya.

Merlyna Lim, Ph.D. adalah ketua Canada Research dan guru besar di Carleton University di Ottawa, Ontario, Kanada. Wanita asli Dayeuhkolot di luar kota Bandung ini telah tinggal di luar negeri selama 21 tahun sejak menamatkan studi S1 jurusan arsitektur di ITB, dan melanjutkan studi doktoral (Ph.D.) di Twente Universiteit, di Enschede, Belanda, serta menjadi guru besar dan periset tamu di berbagai universitas di Amerika, termasuk Arizona State University, Princeton University, University of Southern California, dan East West Center.

Merlyna Lim, Ph.D., Research Chair and Professor, Carleton University, Ottawa, Ontario, Kanada.

Mengenai rasa kebangsaan dan keterikatannya dengan Indonesia, kepada VOA, Merlyna menyatakan, orang bisa saja keluar dari Indonesia dan secara fisik bisa tercerabut mungkin karena alasan studi, pekerjaan, atau pernikahan dengan orang yang bukan bangsa Indonesia, tetapi keindonesiaan itu sendiri tidak bisa tercerabut dari jiwa.

“Kalau raganya ya saya di luar Indonesia, tapi Indonesia selalu ada di dalam saya, dan juga yang saya rasakan justru sejak saya jauh dari Indonesia dan semakin lama, semakin menjadi lebih tua, saya semakin merasa Indonesia. Rasa kebangsaan, rasa keindonesiaan saya sebagai manusia Indonesia itu malah menebal,” tutur Merlyna.

Merlyna mengatakan, 17 Agustus biasanya menjadi semacam “momen jeda,” yang bermakna untuk merefleksi, terlebih sekarang ini karena pandemi, untuk lebih terkoneksi dengan teman-teman dan keluarga di Indonesia, serta untuk semakin peduli dengan mengikuti perkembangan yang terjadi di Indonesia.

“Biasanya kalau hari kemerdekaan, saya bersyukur terutama jika melihat Indonesia sekarang yang lebih baik dalam banyak hal. Indonesia sudah menjadi lebih baik ketimbang ketika saya masih di sana dan ada progress. Ini momen yang penting karena kita lahir di Indonesia dan bukan pilihan, tapi semacam kebetulan, menghabiskan banyak sekali tahun-tahun besar besar di Indonesia, punya teman-teman dan keluarga di Indonesia, berbahasa Indonesia. Semua itu tentunya warisan yang tak pernah hilang ketika jauh dari tanah air,” tambahnya.

Ganda putri Greysia Polii dari dan Apriyani Rahayu berhasil meraih medali emas bulutangkis nomor ganda putri di Olimpiade Tokyo 2020 (Foto: REUTERS) Momen berkumandangnya lagu Indonesia Raya di Olimpiade menggetarkan mereka yang masih mempunyai ikatan dengan Indonesia, termasuk diaspora Indonesia di mana saja.

Baik Siti maupun Merlyna sependapat bahwa orang Indonesia di luar negeri seperti mereka pada umumnya merasa lebih sadar mengenai identitas sebagai orang Indonesia dengan lebih intentional (berdasarkan niat dan keinginan), terutama karena mereka sering diminta berbicara tentang Indonesia, yang di antaranya mengharuskan pembelajaran lebih banyak dan lebih dalam tentang Indonesia, bagaimana melihat Indonesia dari luar, dan membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain.

Dengan tinggal di luar negeri, kata mereka, “seperti gambar, jika dilihat dari jauh akan lebih utuh, kalau dilihat dari dekat kita tidak bisa melihat keseluruhannya tapi hanya yang ada di depan mata. Tapi dari jauh kita bisa melihat Indonesia lebih utuh, bisa lebih menghargainya.”

Menurut kedua diaspora Indonesia ini, dalam usianya yang 76 tahun, Indonesia berhasil dengan capaian-capaian yang patut mendapat pujian, walaupun perlu diakui bahwa masih ada berbagai kekurangan yang perlu mendapat penanganan lebih lanjut.

Merlyna mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara lain, usia 76 tahun termasuk masih muda, dan walaupun ada beberapa negara baru yang jauh lebih maju dari Indonesia, dia beranggapan Indonesia tidak ketinggalan dalam banyak hal. “Saya kira banyak sekali yang patut dibanggakan. Sebagai Indonesia sendiri sebetulnya warisannya memang sudah kaya, budayanya, manusianya. Manusia-manusia Indonesia juga berkarya di mana-mana dan yang patut diberi pujian mungkin bahwa kita memiliki kebebasan berpendapat sejak reformasi, walaupun kadang-kadang mungkin jadi kisruh, terjadi polarisasi, tapi itu adalah sebetulnya bentuk pelatihan. Itu hal yang susah dicapai.”

Tapi, “Indonesia sudah mencapai itu,” kata Merlyna. Selain itu, dia menghargai adanya upaya-upaya dalam beberapa tahun ini untuk fokus pada pemerataan, walaupun masih jomplang, tapi misalnya ada BPJS, ada program-program yang mulai memperhatikan kesejahteraan masyarakat secara massif dan sistematis. Dia menambahkan bahwa banyak kemajuan yang muncul di tempat-tempat tertentu, dan kaum muda Indonesia banyak yang berprestasi pada tataran global dalam banyak hal terutama teknologi. “Sebenarya banyak sekali, banyak klaster-klaster yang membanggakan, misalnya (level) pendidikan lebih tinggi, (tingkat) literasi lebih tinggi, dari segi ekonomi kaum menengah Indonesia (jumlahnya) lebih besar sekarang,” ungkapnya.

Merlyana mengakui adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Namun, dia memaklumi kondisi demikian karena memang “tidak ada jawaban untuk Indonesia sebagai Indonesia yang dari Sabang sampai Merauke dengan 17.000 pulau itu. Populasi kaum menengah menjadi lebih besar, tapi pada saat yang bersamaan ketimpangan sosial juga naik. Jadi hampir semua hal positif juga ada sisi negatifnya, terutama dari segi ketidakmerataannya itu, walaupun secara keseluruhan banyak kemajuan,” imbuhnya. Semua itu katanya memang masih menjadi PR yang harus dikerjakan dengan kesungguhan.

Sementara itu, Siti berpendapat bahwa salah satu pencapaian yang luar biasa bagi Indonesia sebagai bangsa dan sebagai negara adalah pemeliharaan keberagaman.

“Keberagaman budaya, keberagaman politik, dan keberagaman sosial itu sangat kaya. Kita adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia, dan kita sudah 76 tahun berhasil mempertahankan sebagai suatu negara dan bangsa itu merupakan capaian yang luar biasa karena keberagaman ini harus dikelola dengan baik. Jadi keberagaman memang sesuatu yang positif dalam arti kita kaya, kaya akan berbagai macam sumber daya manusia, sumber daya sosial, sumber daya alam, akan tetapi di lain pihak juga menimbulkan banyak tantangan,” ujarnya.

Siti beranggapan bahwa walaupun merupakan kekayaan, keberagaman yang tidak dikelola dengan baik bisa menjadi bumerang yang akan menimbulkan banyak masalah. Dia juga mengamati capaian-capaian menggembirakan, misalnya dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial. BPJS, katanya, merupakan suatu kebijakan sosial yang sangat penting, terutama sekarang dalam masa pandemi, “kalau kita melihat mereka yang tidak memiliki sarana yang cukup untuk mengakses sarana kesehatan, BPJS ini sangat, sangat membantu,” ungkapnya.

Siti mengamati bahwa akses ke pendidikan juga sudah berkembang kendati masih ada ketimpangan-ketimpangan. Dia menyoroti perihal masalah gender perempuan karena itu merupakan salah isu penelitiannya. Menurutnya, posisi perempuan dalam banyak hal memang sudah meraih cukup banyak kemajuan akan tetapi juga masih banyak hal yang perlu ditingkatkan lagi. “Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa meratanya pencapaian itu, dan itu adalah pertanyaan yang sangat penting ketika kita membicarakan masalah gender, masalah ekonomi, masalah akses terhadap sumber daya yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan dan sebagainya yang memang sangat perlu diperhatikan,” paparnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Diaspora Indonesia: HUT RI adalah Momen Bersyukur atas Kemajuan di Tanah Air


Siti mengakui bahwa dari segi PDB (produk domestik bruto) atau secara income mungkin kelas menengah Indonesia sudah sangat berkembang, tetapi dia menambahkan, “kalau kita berbicara kelas menengah yang bisa menciptakan transformasi sosial itu adalah kelas menengah yang kreatif, inovatif, produktif. Ini yang masih perlu didorong. Walaupun sekarang memang sudah ada banyak encouragement (dorongan) ke arah sana, tetapi perlu dikembangkan lagi dan mungkin peran sistem pendidikan sangat penting di sini.”

“Jadi pendidikan bukan hanya pendidikan formal, tapi juga pendidikan dari keluarga, bagaimana kelas menengah bisa memiliki pandangan-pandangan yang kritis sehingga misalnya kita sudah memiliki akses terhadap teknologi seperti sosial media, tetapi akses saja tidak cukup karena harus diikuti oleh values (nilai-nilai) sosial yang menyertainya. Kalau tidak, kemudian justru akan merusak keberagaman itu. Misalnya, posting-posting di WhatsApp grup yang tidak dibaca dengan baik, kemudian hanya di forward saja. Kemudian itu membentuk suatu opini yang sebenarnya misleading (menyesatkan) karena tidak dicek, tidak memiliki critical thinking (pemikiran yang kritis). Jadi, bagaimana membentuk critical thinking, empati, rasa solidaritas, dan sebagainya itu justru harus dikembangkan.”

Dalam hal akses ke teknologi, kata Merlyna, hasil riset yang dilakukannya menunjukkan Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat pengguna media sosial tertinggi, atau tepatnya nomor dua di dunia. Dia memuji kebebasan berpendapat yang dinikmati oleh orang Indonesia, tetapi kebebasan beropini yang didapat sejak tahun 1998 itu seharusnya sekarang lebih maju, dengan ekologi media yang bertambah baik, dan literasi media yang berkembang. Salah satu fenomena yang memprihatinkan adalah terjadinya polarisasi. “Sejak Pilpres 2014, Indonesia semakin terpolarisasi. Jadi seperti pilihannya menjadi biner, seolah-olah tidak ada posisi sosiopolitik yang baru, seperti ditelan oleh suara-suara keras yang cuma si ini atau antinya, seolah-olah hanya ada dua kubu terus, semua terbelah.”

Merlyna mengatakan, “kita harus melewati ini dan ini tugas kita bersama, termasuk diaspora. Saya kira kita bersama-sama bisa melakukan dari luar, menambah pengetahuan, ikut memerangi disinformasi dan memerangi polarisasi, dan menempatkan diri kita untuk charting (memetakan), membuat jalan alternatif baru yang lebih baik, yang lebih mengakomodasi keragaman opini, keberagaman pemikiran, dan kekritisan pemikiran manusia-manusia Indonesia.”

Senada dengan pendapat di atas, dalam rangka 17 Agustus, dalam memperingati kemerdekaan, Siti menegaskan bahwa kita perlu memperkuat dan memperteguh lagi identitas kita sebagai bangsa, mengingatkan diri kita sendiri, siapa kita dan terutama menyadari bahwa Pancasila adalah sesuatu yang sangat berharga dan merupakan suatu komitmen sebagai bangsa Indonesia. “Dalam era globalisasi ini sangat banyak berbagai macam informasi, ideologi yang berseliweran. Apabila kita tidak memiliki identitas dan prinsip yang kuat, maka kita akan terombang-ambing,” pungkasnya. [lt/ab]