Dwi Wulandari, buruh migran Indonesia yang sempat mendekam di penjara Manila karena kedapatan membawa narkoba tahun 2012 lalu, hari Minggu (19/5) tiba di kampung halamannya. Migrant Care menyambut baik upaya pembebasannya dan sekaligus mendorong warga Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri untuk waspada terhadap risiko diincar sindikat narkoba.
Dwi Wulandari tak dapat menahan tangis dan harunya ketika akhirnya dapat kembali melihat kampung halaman dan rumahnya. Ia peluk erat Pujiastuti, sang ibunda, dan kedua anaknya – Riska dan Fafa – seakan tak ingin kehilangan mereka lagi.
Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah yang mengawal kasus ini sejak awal, lewat akun Facebooknya memasang beberapa foto dan keterangan pembebasan Dwi sejak dijemput pejabat KBRI Manila dari penjara Mandaluyong setelah permohoanan bandingnya dikabulkan dan ia dinyatakan bebas, hingga saat-saat mendebarkan menunggu izin pulang dari pihak imigrasi Filipina.
“Selamat datang Dwi Wulandari ke tanah air. Alhamdulillah lebaran ini bisa berkumpul dengan keluarga setelah tujuh lebaran kamu lalui di medan juang yang penuh air mata. Mrebes mili membayangkan kebahagian mereka,” tulis Anis.
Kisah Dwi Wulandari ini mirip dengan Mary Jane. Keduanya ditangkap otorita berwenang karena membawa narkoba dan diseret ke muka hukum. Bedanya Dwi kini sudah dapat menghirup udara bebas, sementara Mary Jane masih dihantui vonis mati.
Bawa Kokain 6 Kilogram, Dwi Ditangkap Tahun 2012
Dwi Wulandari ditangkap di bandara Manila pada 29 September 2012 karena kedapatan membawa enam kilogram kokain di bagasinya. Dwi berkeras ia tidak tahu menahu tentang kokain itu. Ia mengaku direkrut tetangganya, Erma, untuk bekerja di Malaysia dan dibelikan tiket pesawat terbang ke Malaysia lewat Surabaya.
Namun baru dua hari di Malaysia, ia dibelikan tiket ke India untuk membantu majikannya berbisnis sari. Dwi tak juga curiga ketika ia diminta bepergian ke beberapa negara lain, hingga ke Peru. Dari Peru ia diminta terbang ke Manila. Dalam perjalanan ke bandara Peru, Dwi mengatakan dititipi barang oleh seseorang, yang harus diantarnya ke Manila.
Semua penjelasan ini dipaparkan Anis Hidayah dari Migrant Care yang mengikuti kasus hukumnya di Regional Trial Court Pasay City. Dwi sempat divonis penjara seumur hidup, tetapi tim pengacara yang membantunya tidak kenal lelah mengupayakan banding karena menilai putusan itu tidak adil dan posisi Dwi sebagai korban. Proses banding ini yang memakan waktu bertahun-tahun.
Anis Hidayah bersama ibunda Dwi dan kedua anaknya sempat menemuinya langsung di penjara Mandaluyong pada Maret 2018 lalu. Ketika itu pun Dwi tak berhenti memeluk dan menciumi wajah kedua anaknya, terlebih si bungsu Fafa yang ketika ditinggalkannya tahun 2012 baru berusia beberapa bulan. “Kamu sudah besar sekali Nak, sekolah yang pintar yaa,” bisiknya sebagaimana diceritakan Anis di Facebooknya.
Kerja Keras Banyak Pihak, Dwi Bebas Setelah Tujuh Tahun Dipenjara
Tangis yang sama mengalir lagi ketika Dwi melihat Fafa Minggu siang (20/5), tetapi kini tentu jauh lebih lega karena terjadi di pintu rumah mereka di Blitar, Jawa Timur, setelah menempuh perjalanan panjang dari Manila ke Jakarta, dilanjutkan penerbangan ke Malang dan perjalanan darat ke Wlingi, Blitar.
Dihubungi VOA melalui telepon, Migrant Care menyatakan “menyambut baik kepulangan Dwi Wulandari di kampung halamannya di Blitar,” dan juga “mengapresiasi kerja keras tim pengacara yang membela Dwi, KBRI Manila yang mengawal kasus ini hingga selesai paripurna.” Namun Migrant Care juga menegaskan agar kasus ini menjadi pembelajaran berharga bagi semua warga, terutama mereka yang hendak bekerja di luar negeri, “bahwa buruh migran memiliki risiko diincar sindikat narkoba.” “Hal ini harus terintegrasi dalam kurikulum pra-pemberangkatan,” tegas Anis Hidayah.
Mary Jane Masih Dihantui Vonis Mati
Pandangan itu bisa jadi benar mengingat kasus serupa kerap dialami buruh migran dari berbagai negara lain. Seperti Mary Jane yang ditangkap, diadili dan divonsi mati pada tahun 2010 karena terbukti menyelundupkan 2,6 kilogram heroin ke Indonesia. Perempuan Filipina ini sempat bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Dubai, namun kemudian kembali ke Filipina karena nyaris diperkosa. Ia kemudian ditawari bekerja di Malaysia, tetapi ketika tiba di ibukota Kuala Lumpur diberitahu bahwa pekerjaan itu tidak lagi tersendiri. Orang yang memintanya datang ke Malaysia memintanya pergi ke Yogyakarta dengan membawa satu koper baru dan uang sebesar 500 dolar. Dalam dokumen pengadilan Mary Janes diketahui mengatakan koper tampak berat tapi kosong. Setibanya di bandara Adisucipto Yogyakarta ia ditangkap karena petugas menemukan heroin yang dibungkus alumunium foil. Heroin ini diperkirakan bernilai 500 ribu dolar Amerika. Aturan hukum Indonesia yang sangat berat dan upaya serius pemerintah memberantas pelanggaran narkoba membuat Mary Janes divonis lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu vonis hukuman mati. (em)