Sikap aparat hukum dalam menangani kasus terorisme ternyata merupakan salah satu kunci dalam mengubah pemahaman napi terorisme (napiter) terkait konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengalaman itu paling tidak dimiliki Gamal Abdillah Maulidi. Dua tahun berada dalam tahanan, sikap dan pemahaman Gamal berubah drastis. Dia mengaku, Densus 88 memperlakukannya dengan baik selama dalam tahanan.
“Itu memberikan kesan yang baik, sehingga malu sebagai umat Islam, sebagai seorang mukmin. Ini orang yang dulu kita musuhi, bahkan kita perangi, kok kita diperlakukan seperti ini. Karena kalau terjadi sebaliknya, belum tentu kita bisa berbuat yang sama,” kata Gamal.
Gamal bergabung dengan jaringan JAD/ISIS tahun 2016 dan merupakan bagian dari jaringan Bekasi di bawah pimpinan Mubarok Santoso. Dia ditangkap pada 9 Juli 2018 dan baru bebas 22 Juli 2020 lalu. Setelah itu, Gamal aktif di Yayasan Dekat Bintang dan Langit (De Bintal) hingga saat ini. Yayasan ini aktif melakukan pendekatan, baik kepada napiter yang masih ditahan maupun yang sudah bebas.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Program Studi Kajian Terorisme SKSG Universitas Indonesia, Sabtu (12/6), Gamal juga menyebut buku atau kitab sebagai faktor penting.
“Kita ketika di dalam itu karena tidak ada hiburan, jadi buku itu sangat digemari, sangat mahal sekali. Bahkan berebutan buku bacaan. Saya baca kitab-kitab klasik, di situlah setelah saya amati, ketika sering berdiskusi masalah agama, kami terguncang,” kata Gamal.
Pengurus Yayasan De Bintal yang lain, Aznop Priyandi, mengakui peran besar para mantan eks napiter bagi kawan-kawan mereka yang masih ada di dalam tahanan. Aktivis yayasan ini rutin melakukan kunjungan ke penjara, dan melakukan pendekatan serta kajian. Hubungan baik terjaga, kata Aznop, karena pelaku terorisme hanya bisa percaya kepada kawan yang sepaham.
“Semoga dengan kajian rutin, kami bisa membantu mereka untuk berpikir, merenung, bahwa mereka di jalan yang salah, yang tidak sesuai dengan sunnah dan akhlak Rasulullah,” kata Aznop.
Aznop sendiri bergabung dengan JAD pada 2014, tertangkap pada 2017 dan dipenjara di Nusakambangan dan baru bebas pada 1 Januari 2021.
Selain melakukan pendekatan ke napiter, Yayasan De Bintal juga memiliki sejumlah program bagi mereka yang sudah selesai menjalani hukuman. Bantuan sosial rutin diberikan, begitu juga dengan lapangan pekerjaan. Misalnya, yang sudah mereka lakukan saat ini adalah membuka rumah potong hewan di Bekasi. Seluruh tenaga kerja mereka berasal dari eks napiter. Menurut catatan yayasan ini, sudah ada 13 eks napiter yang dapat disadarkan pemahamannya, sehingga setidaknya 304 orang masih ada di tahanan dan terus dalam dampingan.
Peran Masyarakat Dominan
Kriminolog yang juga dosen Kajian Terorisme SKSG UI, Dr Sapto Priyanto, mencatat ada dua penyebab yang membuat seorang eks napiter kembali mengulangi perbuatannya. Dua sebab itu dia temukan ketika menyusun disertasi terkait model pencegahan residivisme terorisme.
Menurut Sapto, penyebab pertama sebagian napiter menjadi residivis adalah karena adanya penolakan masyarakat.
“Sehingga mantan napiter yang sudah keluar, sudah bebas, pengen hidup kembali normal, di masyarakat itu menjadi terkendala. Bahkan sampai di Malang itu, ada yang ketika dia kontrak diusir-usir, sampai akhirnya dia meminta untuk tinggal saja di kantor polisi,” ujar Sapto.
Sedangkan penyebab kedua, menurut Sapto, adalah masih adanya ketergantungan eks napiter terhadap kelompoknya. Kasus ini terutama terjadi pada mereka yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi. Ketergantungan itu salah satunya adalah dalam sektor ekonomi, karena ketika keluar tidak memiliki pekerjaan.
Proses semacam ini, yang biasa disebut sebagai resosialisasi oleh pemerintah, sangat penting diperhatikan.
“Jika tidak berjalan dengan baik, akan sangat mungkin mantan narapidana terorisme kembali menjadi residivis,” tambah Sapto.
Sementara psikolog UI, Dr Zora A. Sukabdi, juga menekankan pentingnya pengembangan kapasitas eks napiter, bahkan juga bagi isteri mereka.
“Ada program ekonomi, domestik, bagaimana pola asuh, cara menjadi orang tua. Bagaimana mengasuh keluarga, kemudian ada literasi, ada birokrasi. Jadi semua pendampingan-pendampingan yang menyasar kebutuhan para mantan napiter ini,” ujar Zora.
Dia meyakinkan bahwa apa yang sudah diyakini para teroris ini, yang mendorong mereka melakukan aksi kekerasan, adalah sesuatu yang bisa diubah. Menurut teori sistem keyakinan, kondisi itu bisa dimodifikasi. Zora memberi contoh, fenomena orang berganti agama sebagai bukti bahwa keyakinan dapat diubah.
Belum Ada Metode Pasti
Dr MD Shodiq, Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri juga menyebut penerimaan masyarakat sebagai faktor penting kembalinya eks napiter ke kehidupan normal. Pendampingan yayasan, seperti yang dilakukan De Bintal sangat penting, karena eks napiter berasal dari latar belakang yang beragam.
“Dibutuhkan keterbukaan masyarakat. Mereka ini adalah saudara kita, saudara sebangsa dan setanah air, yang perlu diakomodir. Saya kita masyarakat Indonesia pada umumnya paham tentang itu,” kata Shodiq.
Pria yang sudah lebih 20 tahun berkutat dengan isu terorisme ini mengatakan hingga saat ini belum ada teori yang tepat, yang dapat diimplementasikan untuk mengubah sikap radikal menuju pemahaman modern. Dia sudah belajar dari banyak sumber, baik buku-buku karya penulis Islam ternama maupun pertemuan dengan tokoh terorisme sendiri.
Shodiq menceritakan, di era tahun 2000 sampai 2009, mereka melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh jihadis di jazirah Arab. Mereka menemui tokoh-tokoh al-Qaeda yang sudah tidak berjihad kembali untuk dimintai masukan terkait upaya ini. Upaya itu melahirkan sejumlah metode yang diterapkan baik oleh Densus 88 maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tetapi menurut Shodiq hasilnya juga tidak signifikan.
“Artinya, hanya trial and error. Artinya hanya mencoba-coba mana konsep yang bagus untuk menurunan tingkat radikalisme. Sampai hari inipun, saya mencari solusi yang terbaik,” tandas Shodiq. [ns/ah]