Seluruh pihak di sektor pertembakauan berjuang hingga titik akhir untuk menolak rencana kenaikan cukai rokok. Pemerintah nampaknya akan memutuskannya bulan ini, dengan janji mempertimbangkan seluruh aspirasi.
Penolakan besar terhadap rencana kenaikan cukai rokok, datang dari kalangan petani. Sejak awal, Soeseno, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengingatkan pemerintah bahwa kenaikan cukai akan menurunkan produksi. Pada gilirannya, pabrik rokok akan mengurangi pembelian tembakau petani.
Tantangannya menjadi semakin kompleks, kata Soeseno, karena musim ini cuaca tidak mendukung mereka. Kemarau basah membuat kualitas tembakau tidak memenuhi standar pasar.
“Secara keseluruhan, musim tembakau tahun ini, petani mengalami nasib tidak untung,” ujarnya dalam diskusi rutin Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Senin (1/11) sore.
Penolakan juga datang dari Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo). Anang Zunaedi, Wakil Ketua Umum DPP Akrindo dalam diskusi ini mengatakan, selama pandemi pedagang mikro mengalami penurunan omzet hingga 60 persen. Padahal, rokok berperan penting dalam omzet mereka.
“Rokok, bagi pedagang atau peritel, merupakan penyumbang omzet, terutama bagi peritel mikro. Rokok merupakan produk paling laku yang bisa menyumbang kontribusi hingga 80 persen omzet,” ujar Anang.
Jika cukai rokok dinaikkan pada angka signifikan, kata Anang, pedagang kecil akan mengalami penurunan daya jual. Sistem kulakan rokok harus dibayar tunai di depan, dan penambahan cukai bermakna kenaikan harga, yang diikuti kenaikan kebutuhan modal. Padahal sampai saat ini, pedagang kecil diklaim belum tersentuh program bantuan dana dari pemerintah.
Kekhawatiran juga datang dari Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) – SPSI. Ketua organisasi ini, Sudarto, mengatakan setidaknya 6 ribu pekerja kehilangan pekerjaan pertahun, akibat kenaikan cukai terus menerus. Kondisi ini, ujarnya, menambah kekhawatiran dan keresahan pekerja atas kelangsungan pekerjaannya.
“Ini bukti kebijakan pemerintah tidak memperhatikan dampaknya terhadap buruh,” kata Sudarto.
Kelompok konsumen juga turut bersuara. Mohammad Nur Azami, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), menilai pemerintah terlalu lama merilis angka kenaikan cukai. Padahal wacananya sudah cukup lama bergulir.
“Ini akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap harga jual eceran produk hasil tembakau itu sendiri,”kata Nur Azami.
Pemerintah Pahami Kompleksitas Masalah
Kemungkinan besar, kenaikan cukai rokok akan ditetapkan bulan ini. Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis menegaskan, pemerintah menyadari kompleksitas pengaturan kebijakan di sektor pertembakauan. Ada begitu banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan.
Karena itulah, pemerintah menempatkan isu ini secar holistik. Prinsipnya, kata Yustinus, semua memahami dan sepakat, sektor ini harus dikendalikan konsumsinya, sesuai kesepakatan nasional dan global.
“Diskusi mengenai tembakau, termasuk cukai hasil termbakau, tidak boleh dipotong hanya menjadi satu isu saja. Seolah-olah ini hanya isu kesehatan atau hanya isu penerimaan. Atau ini isunya kementerian teknis tertentu, terkait pertanian, industri, perdagangan atau kesehtan. Ini harus dijadikan isu bersama,” kata Yustinus.
Satu hal yang harus disepakati bersama, kata Yustinus, adalah bahwa pengendalian konsumsi rokok adalah aspek utama. Mengenai bagaimana pengendalian akan dilakukan, pemerintah akan membuka diskusi bersama seluruh pihak.
“Mengambil kebijakan ekstrim, jangan-jangan hanya akan menambah persoalan baru, ketika kita belum duduk bersama memikirkan satu peta jalan yang baik,” tambah Yustinus.
Meski tidak tergesa, pemerintah disisi lain memandang penting adanya satu desain kebijakan yang memberi sinyal kuat, kepada pelakus usaha, pasar dan masyarakat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kami sepenuhnya bisa memahami, tetapi memang kita harus mengambil jalan tengah. Bagaimana di satu sisi pengendalian bisa optimal dilakukan, di sisi lain tidak mengorbankan kepentingan terutama merek yang paling rentan, seperti petani dan buruh,” katanya lagi.
Keputusan terkait cukai rokok saat ini sedang diproses. Karena itulah, pemerintah memandang penting masukan terakhir dari berbagai pihak, seperti petani, buruh dan peritel. Dengan demikian, kebijakan yang diambil memperhitungkan seluruh aspek. Tidak hanya terkait penerimaan negara, tetapi juga aspek pengendalian. Bukan hanya soal kesehatan, namun juga ketenagakerjaan.
Produksi Bergerak Naik
Cukai rokok selalu menjadi bahasan besar, karena menjadi salah satu tumpuan pendanaan negara. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto menyebut, pemerintah menerima prosentase terbesar dari harga jual rokok.
“62 persen harga rokok itu adalah untuk negara, duitnya untuk membiayai negara. Karena setiap tahunnya sangat besar sekali kontribusinya. Rata-rata 10-11 persen, bahkan di tahun 2020 mencapai 13 persen dari penerimaan perpajakan. Ini kontribusi yang sangat besar sekali,” kata Nirwala dalam diskusi yang sama.
Pemerintah sendiri pada tahun 2020 menetapkan pendapatan dari cukai rokok sebesar Rp 180 triliun, dan tahun depan diproyeksikan naik hingga Rp 203,9 triliun.
Nirwala menyebut, data menunjukkan, di masa pandemi, industri rokok adalah industri paling relisien kedua, setelah industri makanan dan minuman. Produksinya juga justru meningkat, jika dibandingkan tahun lalu, sebesar 4,3 persen. Periode Januari-September 2020, produksi rokok Indonesia mencapai 226,15 miliar batang. Periode yang sama tahun ini, jumlahnya menjadi 235 miliar batang.
Jika dilihat jenisnya, Sigaret Kretek Tangan tumbuh 10 persen, karena tahun lalu cukainya tidak dinaikkan sehingga harga dapat ditekan. Sementara Sigaret Kretek Mesin, hanya tumbuh 2,6 persen.
“Data ini berdasarkan pemesanan pita cukai dan laporan produksi,” tambah Nirwala. [ns/ab]