Sekelompok dokter yang menangani pengungsi Rohingya di Bangladesh menyatakan bukti medis dan ilmiah mengindikasikan tingkat kekerasan yang mereka alami di tangan militer dan warga sipil Myanmar.
Dalam laporan berjudul "Please Tell the World What They Have Done to Us" (Tolong Katakan kepada Dunia tentang Apa yang Mereka Lakukan terhadap Kami), Physicians for Human Rights (PHR) merinci temuan evaluasi medis forensik terhadap 22 Rohingya yang selamat dari serangan pada Agustus 2017 terhadap desa Chut Pyin di negara bagian Rakhine, di bagian utara Myanmar.
PHR menyatakan “Chut Pyin merupakan contoh utama kampanye kekerasan yang brutal yang dilakukan pihak berwenang Myanmar terhadap warga Rohingya, dan bahwa apa yang terjadi di Chut Pyin, dan tempat lain di Rakhine, harus diinvestigasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Warga Rohingya yang melarikan diri telah memberi laporan mengerikan mengenai militer yang membakar desa-desa mereka di Rakhine, serta menggunakan perkosaan, pembunuhan, penjarahan dan ranjau darat untuk mencegah mereka kembali ke rumah.
“Kami melihat luka tembak ganda yang konsisten dengan keadaan orang-orang yang ditembak sewaktu melarikan diri dan mendengar banyak laporan mengenai perkosaan dan kekerasan seksual lainnya,” kata Dr. Homer Venters, direktur program PHR. “Kami dengan teliti dan cermat menganalisis mereka yang cedera, kesaksian langsung, dan pernyataan saksi mata serta semua pemeriksaan forensik kami sangat konsisten dengan peristiwa yang digambarkan para penyintas.”
Tujuh belas dari 22 penyintas Chut Pyin yang ditemui PHR memiliki sedikitnya satu luka tembak dan mobilitas sembilan penyintas sangat terganggu.
Para penyintas mengalami berbagai luka, termasuk luka tembak, trauma kekerasan dengan benda tumpul, luka sayat dan sebagainya. Luka-luka itu menjadi bukti medis untuk menguatkan pernyataan penyintas mengenai penembakan, pemukulan, penikaman dan berbagai bentuk kekerasan lain yang terjadi pada hari itu, sebut PHR.
Lebih dari 700 ribu Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine sejak Agustus 2017, setelah serangan militan Rohingya terhadap pasukan keamanan negara bagian mendorong aksi balasan dari militer. PBB menyatakan militer membalas dengan aksi yang terorganisir baik, sistematis dan terpadu, seraya menyebut respons tersebut sebagai contoh dari pembersihan etnis.
PHR, organisasi advokasi berbasis di Amerika Serikat yang menggunakan sains dan kedokteran untuk mendokumentasikan dan menyerukan perhatian pada kekejaman massal dan pelanggaran berat HAM. [uh]