Dokumen pengadilan untuk pertama kalinya mengungkap rangkaian peristiwa yang menyebabkan digunakannya bahan-bahan beracun dalam sirup obat batuk yang merupakan salah satu produk yang disalahkan atas kematian lebih dari 200 anak di tanah air tahun lalu.
Menurut putusan pengadilan setebal 373 halaman yang sebelumnya tidak diberitakan mengenai kasus pidana para petinggi di perusahaan farmasi Afi Farma, benih tragedi ini terjadi pada tahun 2021 ketika terjadi kekurangan global propilen gylcol (PG) kelas farmasi, yang merupakan bahan dasar utama untuk obat-obatan berbentuk sirup.
Pada tahun yang sama, CV Samudera Chemical, pemasok kecil bahan sabun di Indonesia yang mengalami kesulitan selama pandemi COVID mulai menjual etilen glikol (EG) kelas industri yang dikemas ulang menjadi PG, menurut putusan tersebut, mengutip kesaksian dari Chief Executive CV Samudera, Endis.
Perusahaan itu mengunduh logo pemasok utama PG Dow Chemical Thailand dari internet dan menempelkannya pada drum yang berisi EG. Mereka menjualnya ke distributor CV Anugerah Perdana Gemilang selama beberapa bulan hingga Mei 2022.
EG digunakan antara lain dalam pembuatan cairan antibeku dan penghilang lapisan es untuk mobil. Jika tertelan, dapat menyebabkan cedera ginjal akut. Kadang-kadang EG digunakan sebagai pengganti PG oleh produsen obat yang tidak bermoral karena harganya yang jauh lebih murah, kata beberapa ahli obat.
Sirup obat batuk yang terkontaminasi di beberapa negara berkembang telah memicu penyelidikan kriminal, tuntutan hukum dan peningkatan pengawasan peraturan di seluruh dunia.
Endis mengatakan ia tidak mengetahui produk tersebut akan digunakan untuk obat-obatan dan perusahaannya hanya mengemasnya kembali "untuk menurunkan biaya karena membeli propilen glikol akan sangat mahal dan produk tersebut sulit diperoleh karena diimpor," menurut dokumen tersebut.
CV Anugerah Perdana Gemilang kemudian menerbitkan sertifikat analisis bahan untuk beberapa batch produk PG palsu itu sehingga memungkinkan penggunaannya untuk kebutuhan farmasi tanpa pengujian.
Bahan tersebut kemudian dipasok ke pemasok bahan obat Afi Farma, sebelum akhirnya masuk ke dalam 70 batch sirup obat batuk. Pengujian yang dilakukan polisi kemudian menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut mengandung hingga 99 persen EG, menurut dokumen tersebut, padahal batas keamanan Organisasi Kesehatan Dunia adalah 0,1 persen.
Empat petinggi Afi Farma divonis bersalah awal bulan ini. Pengadilan terpisah menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Endis dan rekannya di CV Samudera, serta dua petinggi CV Anugerah Perdana Gemilang bulan lalu karena melanggar undang-undang pembuatan obat.
Reza Wendra Prayogo, pengacara Afi Farma, mengatakan kepada Reuters bahwa perusahaan tersebut menyangkal sengaja memasok obat-obatan dengan bahan yang mematikan dan telah mengajukan banding.
Reuters belum bisa menghubungi CV Samudera dan CV Anugerah Perdana Gemilang secara independen.
Pihak berwenang juga mengklaim bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), “diduga tidak melakukan pemantauan sebagaimana seharusnya,” ungkap dokumen tersebut.
Indonesia mengeluarkan versi terbaru farmakope, atau pedoman standar obat, pada tahun 2020 yang untuk pertama kalinya memasukkan batas maksimum EG yang diperbolehkan.
Namun Afi Farma mengikuti pedoman edisi sebelumnya dan mendaftarkan produknya pada tahun 2021 tanpa hasil tes EG, yang disetujui oleh BPOM “tanpa berpikir panjang,” kata putusan tersebut.
Dokumen tersebut mengutip kesaksian seorang pejabat BPOM yang mengatakan bahwa pihaknya baru mengembangkan metode analisis EG pada bulan Oktober tahun lalu ketika negara tersebut sedang berusaha untuk menentukan penyebab kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak yang menyebabkan 204 kematian. BPOM tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Sebelumnya disebutkan bahwa beberapa pihak dalam rantai pasokan obat telah mengeksploitasi kesenjangan dalam aturan keselamatan, dan produsen obat tidak melakukan pemeriksaan yang memadai terhadap bahan mentah yang digunakan. [ab/uh]