DPR Amerika hari Kamis (11/1) melakukan pemungutan suara untuk memperbarui undang-undang pemantauan yang digunakan Amerika untuk menggagalkan rencana serangan teroris asing terhadap warga Amerika.
Anggota DPR memilih 256 lawan 164 untuk UU keamanan nasional yang penting itu tapi pengesahannya diragukan ketika pagi hari muncul ciutan Presiden AS Donald Trump di Twitter tanpa disertai bukti, bahwa undang-undang tersebut mungkin telah digunakan untuk menyadap kampanye pemilunya tahun 2016. Ini tampaknya menandakan penolakannya terhadap pembaharuan undang-undang tersebut.
Tapi satu setengah jam kemudian, Trump men-tweet dukungannya dengan mengatakan, “Ini adalah mengenai pengawasan di luar negeri terhadap orang-orang asing yang jahat di luar negeri. Kita membutuhkannya! Cerdas! "
Program itu, bagian dari UU Pemantauan Intelijen Asing memungkinkan badan mata-mata Amerika, termasuk Badan Keamanan Nasional mengumpulkan pesan-pesan teks dan email orang asing di luar negeri tanpa otorisasi, walaupun ketika mereka berkomunikasi dengan orang Amerika.
Sebagian anggota DPR menyampaikan keprihatinan mengenai ruang lingkup undang-undang tersebut karena percakapan orang Amerika yang tidak dicurigai merencanakan serangan teroris termasuk dalam penyadapan itu.
RUU yang disetujui DPR itu menyerukan pembaharuan selama enam tahun dan masih harus disetujui Senat sebelum Trump menandatanganinya menjadi undang-undang. RUU ini mewajibkan FBI, badan investigasi kriminal Amerika mendapat surat perintah penggeledahan jika ingin membaca isi percakapan orang Amerika yang tersadap dalam pemantauan itu.
Tapi DPR menolak, dengan perbandingan suara 233-183, pembatasan yang lebih ketat terhadap FBI yang mengharuskannya mendapatkan surat perintah penggeledahan sekalipun ketika FBI mulai memeriksa database pemantauan dan menemukan kemungkinan adanya warga Amerika yang terlibat. [my/ii]