DPR Didesak Segera Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

  • Fathiyah Wardah

Seorang PRT asal Indonesia membersihkan rumah majikannya di Kuala Lumpur 26 Juni 2009. (REUTERS/Zainal Abd Halim/ilustrasi)

Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Pekerja rumah tangga menjadi salah satu elemen masyarakat yang kerap dipandang sebelah mata, diperlakukan semena-mena dan diskriminatif. Upaya memberi perlindungan dan meningkatkan jaminan atas pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik ini senantiasa menemui jalan buntu.

Sudah 18 tahun sejak Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tahun 2004 lalu, DPR dan pemerintah tak kunjung meloloskan RUU yang sudah empat kali menjadi program legislasi nasional atau prolegnas ini.

Untuk mendesak kembali DPR dan mengingatkan publik akan pentingnya RUU ini, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja hari Senin (7/2) menggelar konferensi pers yang menghadirkan sejumlah pekerja rumah tangga, yang sebagian bahkan sudah menjadi aktivis yang vokal menyuarakan urgensi RUU ini. Salah seorang diantaranya adalah Jumiyem yang menceritakan kasus-kasus pelecehan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami para pekerja rumah tangga.

BACA JUGA: RUU Perlindungan PRT dan RUU TPKS, Dua PR Utama DPR

Dia mencontohkan Yuli Maheni, pekerja rumah tangga di Yogyakarta yang dipecat majikannya karena harus berkacamata. Juga Yuni, pekerja rumah tangga di Jakarta Selatan, yang dilarang duduk di bangku tunggu meskipun kosong saat menjemput anak bosnya di sekolah. Ada pula Susmiharti, juga di Jakarta Selatan, yang selalu diperintah majikannya dengan kaki. Atau Karsia, pekerja rumah tangga di Makassar, yang anaknya kerap diejek karena ibunya cuma pekerja rumah tangga.

Dari begitu banyak contoh yang disebut itu, yang paling tragis adalah kematian Sunarsih di Surabaya pada 15 Februari 2021. Ketika menghembuskan nyawa gadis malang itu baru berusia 14 tahun. Pengadilan Negeri Surabaya memang menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap majikannya, Ita. Tetapi pelaku kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur dan hingga saat ini tidak pernah dieksekusi sehari pun.

Jumiyem menegaskan pentingnya pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai bentuk kehadiran negara dalam menjamin sekaligus melindungi hak-hak pekerja rumah tangga. Ia mengatakan mayoritas dari lima juta pekerja rumah tangga di Indonesia berada dalam kondisi kerja tidak layak.

Tangan Sri Lestari Wagiyo (19 tahun), TKW Indonesia asal Jawa Timur yang dianiaya majikannya di Malaysia, saat diwawancarai di tempat penampungan sementara di Kuala Lumpur, 5 November 2009. (REUTERS/Bazuki Muhammad)

"Pertama, tidak diakui sebagai pekerja, tidak memiliki hari libur mingguan, kemudian memiliki beban (kerja) sangat besar tapi dengan upah yang sangat kecil, tidak punya jaminan sosial, kesehatan mauun jaminan ketenagakerjaan. Artinya, ketika sakit maupun mengalami kecelakaan kerja, PRT harus menanggung sendiri," kata Jumiyem.

YLBHI : Pekerja Rumah Tangga adalah Kelompok Pekerja Paling Rentan

Menurut Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin, dibanding kelas pekerja lain, pekerja rumah tangga merupakan kelompok paling rentan karena perlindungannya paling minim, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Your browser doesn’t support HTML5

DPR Didesak Segera Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Ironisnya, tambah Zainal, dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja. UU itu hanya menyatakan seseorang berstatus pekerja jika melakukan kegiatan produksi barang dan jasa yang memiliki nilai.

Konsekuensinya, lanjut Zainal, pekerja rumah tangga tidak memperoleh hak-hak dasar yang seharusnya didapatkan seorang pekerja, antara lain jaminan kesehatan, jaminan sosial dan hal yang berkaitan dengan kecelakaan kerja, jam kerja dan sistem pengupahan. Hak-hak ini merupakan bagian dari hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia.

BACA JUGA: JALA PRT: 400-an Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan pada 2012-2021

"Kalau kita berbicara mengenai hak asasi manusia yang kemudian tidak didapatkan oleh pekerja rumah tangga, tentu saja ini berbenturan dengan negara (Indonesia) sebagai negara hukum atau negara yang menjamin hak asasi manusia setiap warganya dalam konstitusi kita atau negara hukum yang terikat prinsip-prinsip hak asasi manusia yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap semua pekerja, termasuk pekerja rumah tangga," ujar Zainal.

Tertundanya pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dinilai sebagai bentuk tidak seriusnya negara menunjukkan komitmen melindungi hak-hak pekerja rumah tangga. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak memiliki kemauan politik untuk memastikan hak-hak itu, tegas Zainal.

Willy Aditya Akui Adanya Fraksi yang Tak Mau Loloskan RUU PPRT

Ditemui secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengakui sulitnya menyelesaikan beragam kasus pekerja migran Indonesia di luar negeri yang jumlahnya menjadi lebih dari lima juta orang, adalah karena tidak adanya aturan hukum yang khusus mengatur soal pekerja rumah tangga.

Seorang PRT tengah membersihkan rumah majikannya di Kuala Lumpur, Malaysia, 26 Juni 2009. (REUTERS/Zainal Abd Halim/Ilustrasi)

"Sehingga para pekerja rumah tangga kita di luar negeri mendapatkan kehormatan, mendapatkan posisi ketika dia berkasus, oh di dalam negeri kita sudah memiliki peraturan perundang-undangan. Walaupun itu tidak langsung memberikan perlindungan kepada mereka, tapi setidaknya posisi tawar kita jauh lebih layak dalam melakukan negosiasi-negosiasi penyelesaian kasus," tutur Willy.

Salah satu elemen paling penting dari RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menurutnya adalah menaikkan level peradaban bangsa Indonesia dari level feodalisme menjadi lebih manusiawi.

Secara terbuka Willy mengatakan adanya fraksi-fraksi di DPR yang memang tidak menyetujui RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini.

Sebagai bagian dari upaya mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membahas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menyelenggarakan peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional yang berlangsung pada 8-15 Februari di tujuh kota yakni Tangerang, Yogyakarta, Tangerang Selatan, Semarang, Makassar, Medan dan Jakarta.[fw/em]