Desakan untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang disuarakan para pimpinan lintas agama, termasuk oleh organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).
Katib Syuriah Pengurus Besar NU, KH Zulfa Mustofa, mengatakan pihaknya berkomitmen untuk selalu mendukung, dan membantu para mustad'afin (kaum lemah) dalam hal ini seperti PRT. Dukungan itu berupa menyuarakan agar RUU Perlindungan PRT segera disahkan menjadi undang-undang.
"Kami melihat kondisi PRT yang mayoritas perempuan itu umumnya memang kondisinya terdiskriminasi. Padahal kita tahu semua ajaran agama sangat menghormati perempuan," ujarnya dalam diskusi daring bertema seruan sahkan RUU Perlindungan PRT dari para pemimpin agama, Minggu (9/1).
Lanjut Zulfa, RUU Perlindungan PRT bukan hanya sejalan dengan norma agama. Namun, juga norma budaya, dan undang-undang. Atas hal tersebut, memperjuangkan RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang merupakan tanggung jawab bersama.
"NU berkomitmen mengawal hasil keputusan muktamar di Lampung (terkait RUU Perlindungan PRT). Kami akan ikut menyuarakan bersama para aktivis agar RUU ini segera dijadikan undang-undang. Kepada presiden, dan DPR RI akan kami sampaikan. Ini komitmen kami," pungkasnya.
Dukungan agar RUU Perlindungan PRT disahkan menjadi undang-undang juga datang dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt Gomar Gultom. Menurutnya, hampir 77 tahun bangsa Indonesia telah merdeka. Namun, masih banyak PRT yang jauh dari perlindungan negara.
"Perhatian negara untuk perlindungan PRT begitu rendah. Jika PRT mengalami kekerasan sulit bagi mereka untuk membela diri. Sering kali akses mereka untuk ke ruang publik mengadu ke polisi juga ditutup oleh majikannya. Ini kita saksikan di beberapa tempat," ujarnya.
Dalam perspektif Kristen, kata Gomar, seluruh manusia termasuk PRT merupakan gambar Allah. Oleh karena itu, memperlakukan semena-mena umat manusia termasuk PRT itu sama dengan mencederai Allah. Untuk itu gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya upaya perlindungan hukum kepada PRT sebagai bagian penghargaan dari harkat, dan martabatnya sebagai manusia utuh.
"Saya menilai mangkraknya RUU Perlindungan PRT sampai 18 tahun itu merupakan lemahnya komitmen kita untuk menghargai sesama manusia. Lemahnya komitmen negara untuk hadir melindungi warga negaranya yang bekerja PRT," ucapnya.
Sementara, perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Liem Lillyani Lontoh, menyerukan agar para tokoh lintas agama bekerjasama dengan Komnas Perempuan, dan organisasi-organisasi lainnya untuk tetap konsisten dalam pengawalan pengesahan serta kampanye terkait urgensi RUU Perlindungan PRT.
"Ini merupakan hal yang krusial dan perlu dilakukan secara masif. Agama Khonghucu juga semua kepercayaan menekankan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. PRT bukan budak, tak boleh ada perlakuan diskriminasi, eksploitasi, pelecehan atau tidak adanya rasa kemanusiaan," katanya.
Dia pun berharap disahkannya RUU Perlindungan PRT bisa menjadi payung hukum, dan terjaminnya pemenuhan hak serta kewajiban PRT. Bukan hanya itu, disahkannya RUU Perlindungan PRT menjadi undang-undang juga akan menciptakan hubungan kerja yang lebih jelas bagi pemberi kerja.
"RUU Perlindungan PRT merupakan titik terang bagi korban kekerasan terhadap PRT," pungkasnya.
PRT saat ini bekerja dengan menghadapi berbagai bentuk kerentanan. Semua kerentanan dipicu karena pekerjaan PRT belum diakui, dan dilindungi oleh hukum di Indonesia. Sebagian besar PRT adalah perempuan, oleh karena itu tidak adanya perlindungan secara disproporsional merugikan kaum hawa. Melihat data dari Komnas Perempuan, tercatat lebih dari 2.300 kasus kekerasan yang dialami PRT sepanjang tahun 2005 sampai 2020.
Seruan untuk segera mengesahkan RUU PPRT itu juga diwarnai dengan mengetuk panci secara virtual yang melibatkan lebih dari 190 orang yang hadir dalam ruang diskusi itu. Delapan belas kali diketukkan pada panci yang mengisyaratkan 18 tahun sudah RUU PPRT ini digantung oleh pimpinan DPR. Panci menjadi simbol kepentingan semua orang dari berbagai kalangan, tanpa membedakan agama, umur, kelas sosial dan profesi. [aa/em]