Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah menyeleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi. Seleksi kali ini diikuti sebelas kandidat, termasuk dua hakim konstitusi yang masih aktif.
Namun persoalan muncul karena proses ini berlangsung singkat. Masa pendaftaran hanya lima hari. DPR mulai hari ini ( 6/2) dan lusa menggelar wawancara terhadap sebelas calon hakim Mahkamah Konstitusi.
Menanggapi hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK (Mahkamah Konstitusi) menyampaikan pernyataan sikap dalam jumpa pers yang digelar di kantor Lembaga BantuanHukum (LBH) Jakarta. Koalisi ini terdiri dari LBH Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulanuntuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Legal Roundtable (ILR), Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menjelaskan Koalisi masyarakat Sipil Selamatkan MK menyoroti dua hal dalam proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi oleh DPR, yakni jangka waktu dan panel ahli.
Arif mengungkapkan jangka waktu pendaftaran calon hanya lima hari merupakan persoalan yang serius karena akan mempengaruhui kuantitas dan kualitas hakim Mahkamah Konstitusi yang nantinya akan terpilih.
Dia menambahkan dalam sejarah seleksi hakim Mahkamah Konstitusi yang dilakukan terbuka dari ketiga lembaga negara - baik itu oleh DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, baru kali ini jangka waktu seleksi dilakukan dengan sangat pendek, yaitu lima hari.
“Minimnya waktu yang dibuka oleh DPR membuat akses untuk mendapatkan calon yang bermutuatau berkualitas menjadi kecil atau tertutup bahkan. Karena banyak orang baik dan juga berkompeten tidakdapat menyiapkan berkas atau belum menyiapkan berkasuntuk mendaftarkan diri dengan waktu yang sangat singkat,” ujar Arif.
Sampai saat ini, lanjut Arif, masyarakat belum mendapat informasi dan gambaran tentang siapa saja panel ahli yang diminta oleh DPR. Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK mengapresiasi DPR menggunakan panel ahli sebagai salah satu preseden ketatanegaraan yang positif dalam menyeleksi hakim Mahkamah Konstitusi.
Namun, kata Arif, tanpa mengetahui siapa dan apa kategori anggota panel ahli yang ditunjuk, membuat proses seleksi berpotensi melanggar prinsip transparansi dan partisipasi sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi.
Arif menegaskan DPR juga mempunyai rekam jejak yang buruk dalam mencari hakim Mahkamah Konstitusi. Dia menyebut lolosnya hakim Akil Mochtar menjadi hakim Mahkamah Konstitusi karena buruknya proses seleksi di DPR. Selain itu, ada hakim Mahkamah Konstitusi yang berkali-kali mendapat sanksi karena melanggar kode etik namun masa jabatannya diperpanjang tanpa ada proses seleksi yang memadai.
Peneliti dari Kode Inisiatif Ihsan Maulana menjelaskan dari sebelas calon hakim konstitusi, sembilan orang di antaranya diwajibkan melaporkan harta kekayaannya kepada KomisiPemberantasan Korupsi (KPK). Namun lima orang tidak pernah melaporkan kekayaannya, bahkan dua di antara mereka masih aktif menjadi pejabat di sebuah lembaga tinggi negara.
Namun Ihsan menolak menyebut nama kelima calon hakim Mahkamah Konstitusi yang belum melaporkan hartanya ke KPK. Dia menambahkan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK akan meminta DPR meminta klarifikasi atas hal tersebut kepada KPK serta Pusat pelaporan dan Analisa TransaksiKeuangan (PPATK).
Ihsan mengakui Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK tidak dapat memberikan jaminan sebelas calon hakim Mahkamah Konstitusi itu bebas dari tukar guling kepentingan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Makanya kami minta DPR harusmemperpanjang proses seleksi atau ruang-ruang di mana publik bisa memberikan masukan, sehingga ada masukan-masukan positif yang bisa dipertimbangkan oleh DPR,” ujar Ihsan.
Di samping itu, tambahnya, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK meminta dalam proses seleksi publik bisamelihat secara terbuka. Juga kalau ada voting, masyarakat bisamelihat secara langsung proses pengambilan keputusan di DPR terkait seleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi. Karena itu, dia meminta jangan ada lagi pemungutan suara secara tertutup.
Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi ICW Tama S. Langkun menekankan kelima calon hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak melaporkan hartanya ke KPK berarti sudah melanggar undang-undang. Dia menegaskan artinya kelima orang ini tidak bisa dipegang komitmennya untuk menjadi pejabat negara.
Tama mengakui memang tidak ada sanksi pidana bagi calon atau pejabat negara yang tidak melaporkan kekayaannya, namun itu tetap menjadi catatan atas sebuah kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku.
Karena itu, Tama menegaskan kelima calon hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak melaporkan kekayaannya kepada KPK patut diragukan komitmennya dalam menjaga konstitusi.
Tama mengatakan tidak ada jaminan orang-orang yang terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi adalah orang-orang berkomitmen.
“Kenapa? Waktunya sempit sekali. Bagaimana mungkin kita memverifikasi hakim dalam waktu lima hari? Ini menurut saya nggak serius. Kalau memang DPR mau serius mencari hakim-hakim terbaik, maka dia harus memaksimalkan prosesnya, dari waktu seleksinya, kesempatan publik memberikan masukan,” jelas Tama.
Sebelas calon tersebut akan memperebutkan dua kursi sehubungan dengan berakhirnya masa tugas hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto dan Wahiduddin Adams. Aswanto dan Wahiduddin masih ikut dalam proses seleksi karena mereka masih punya kesempatan memperpanjang satu kali masa jabatan.
Kandidat lain yang mengikuti seleksi adalah mantan anggota Komnas HAM Hestu Armuwulan Socmawardiah, komisioner Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari, Bahrul Ilmi Yakub, M. Galang Asmara, Refly Harun, Ichsan Anwary, Azkari Razak, Umbu Rauta, dan Sugianto.
DPR telah menunjuk tim ahli seleksi hakim Mahkamah Konstitusi untuk membantu dalam proses seleksi hakim MK. Pelibatan panel ahli ini menurut DPR diharapkan dapat menghasikan hakim konstitusi yang kompeten. [fw/as]