Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap hakim konstitusi dalam operasi tangkap tangan (OTT). Patrialis Akbar yang merupakan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi merupakan satu dari 11 orang yang ditangkap KPK Rabu malam (25/1) di tiga lokasi berbeda. Politikus Partai Amanat Nasional PAN ini ditangkap KPK di pusat perbelanjaan di Jakarta. Penangkapan tersebut merupakan hasil laporan masyarakat.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam konferensi pers di kantornya Kamis malam (26/1) menjelaskan ketika ditangkap KPK, Patrialis diduga telah menerima suap untuk ketiga kalinya dari importir daging berinisial BHR. Saat itu, suap yang diberikan kepada pria asal Sumatera Barat itu mencapai dua ratus ribu dollar Singapura.
Sebelumnya, Patrialis juga telah menerima uang sebesar dua puluh ribu dollar Amerika, sehingga secara keseluruhan jumlah uang yang diterima bapak beranak lima ini mencapai 2,15 milliar rupiah.
Suap tersebut terkait dengan uji materil Undang-undang 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sedang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, BHR yang memiliki 20 perusahaan itu sangat menginginkan agar uji materil Undang-undang tersebut dikabulkan oleh MK sehingga bisnis impor dagingnya dapat lebih lancar. Rencananya MK akan membacakan putusannya pada Jumat (27/1).
"PAK (Patrialis Akbar) menyanggupi akan membantu agar permohonan uji materil tersebut dapat dikabulkan oleh MK. PAK diduga menerima hadiran 20.000 US dollar dan 200 ribu dollar Singapura. Dalam kegiatan ini tim telah mengamankan berupa dokumen pembukuan perusahaan, voucher pembelian mata uang tersebut, draft putusan perkara nomor 129," ungkap Basaria.
Setelah mendengar penangkapan Patrialis Akbar oleh KPK, Ketua Mahkamah Konstitusi MK Arief Hidayat langsung mengelar rapat internal. Arief menyesalkan penangkapan tersebut di tengah usaha lembaganya menjaga kehormatan dan martabat MK.
Dalam kasus ini, Arief mengatakan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi akan segera menggelar rapat untuk menyikapi penangkapan salah seorang anggotanya. Rapat juga akan mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Patrialis, yang juga pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu MK juga meminta agar Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara Patrialis.
"Ya Allah, saya mohon ampun, saya tidak menjaga MK ini sebaik-baiknya. Dan saya mohon maaf kepada bangsa ini, Mahkamah telah melakukan kesalahan lagi sehingga lembaga ini kembali tercoreng lagi," ujar Arief.
Sementara, Ketua Dewan Etik MK, Abdul Mukti Fajar mengatakan Patrialis Akbar memang merupakan salah satu anggota hakim MK yang paling sering tersandung persoalan dan mendapat teguran oleh Dewan Etik MK.
Sejumlah persoalan yang ditangani Dewan Etik antara lain mencakup pernyataan yang diucapkan dan melalaikan tugas pokok. Dewan Etik juga kerap mendapatkan laporan dari masyarakat terkait suap yang dilakukan Patrialis dalam menangani sejumlah sengketa pilkada. Namun, hal itu tidak dapat ditindaklanjuti karena para pelapor tidak dapat memberikan bukti.
Penangkapan Hakim MK Patrialis Akbar ini kembali mencoreng nama MK. Sebelumnya Akil Mochtar – yang ketika itu menjabat sebagai Ketua MK – juga ditangkap tangan oleh KPK karena menerima suap terkait pengurusan 10 sengketa pilkada yang ditangani lembaga itu. Akil telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. [fw/em]