DPR RI sedang mempertimbangkan sebuah RUU toleransi beragama untuk mengurangi ketegangan antara mayoritas Muslim dan agama-agama minoritas menyangkut isu-isu pembangunan rumah ibadah dan anggota yang berpindah agama. Namun, kelompok-kelompok HAM khawatir RUU itu akan benar-benar berdampak sebaliknya.
Di Indonesia, serangan terhadap golongan minoritas semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan telah dihasut sebagian besar oleh militan Islam yang menentang pembangunan gereja Kristen di lingkungan Muslim, perpindahan agama oleh warga Muslim ke agama Kristen atau agama-agama lain, serta tentangan terhadap aliran Ahmadiyah untuk mempraktekkan kepercayaannya.
RUU toleransi beragama itu adalah untuk melawan sentimen tersebut dengan menetapkan batas-batas kegiatan keagamaan yang kontroversial. Tetapi kelompok-kelompok HAM mengatakan RUU itu akan membatasi hak-hak kelompok keagamaan minoritas dan menimbulkan konflik lebih lanjut.
Elaine Pearson dari Human Rights Watch mengatakan, kenyataan bahwa RUU toleransi berasal dari Departemen Agama yang telah melarang Ahmadiyah merupakan sumber keprihatinan. Dia mengatakan RUU itu menggalakkan pemisahan agama-agama dengan membuatnya lebih sulit bagi agama-agama minoritas untuk membangun rumah ibadah tanpa persetujuan mayoritas.
"Keprihatinan kami adalah usul semacam ini mungkin hanya akan menciptakan diskriminasi lebih jauh terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. RUU inipada dasarnya adalah penggabungan berbagai keputusan mengenai larangan pendirian rumah ibadah bagi Ahmadiyah dan ketentuan-ketentuan lain yang telah digunakan untuk benar-benar meminggirkan beberapa kelompok," kata Elaine Pearson.
Meskipun pengikut Ahmadiyah yang berjumlah 200.000 orang di Indonesia menganggap diri mereka sebagai Muslim, mereka tidak diterima oleh golongan Islam karena tidak percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
Ruby Kholifah, dari organisasi dialog antar agama Asian Muslim Action Network (jaringan aksi Muslim Asia) merasa prihatin tentang sebuah pasal dalam RUU itu yang melarang pendidikan sektarian, sebenarnya merupakan pasal untuk melarang Ahmadiyah. Ia mengatakan pemerintah seharusnya melindungi kelompok-kelompok agama dan tidak menghakimi ajaran-ajaran kepercayaan manapun.
"Perlindungan itu seharusnya tercermin dengan jelas dalam RUU toleransi, bukannya membahas apakah Ahmadiyah itu benar atau tidak. Itu bukan bidang kita. Mari kita serahkan hal ini kepada Tuhan untuk menilai apakah Ahmadiyah itu benar atau tidak," ujar Ruby Kholifah.
Sementara, Musdah Mulia, dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) -- sebuah organisasi yang menggalakkan kerukunan dan dialog antar umat beragama di Indonesia -- mengatakan bahwa RUU itu justru bertentangan dengan jaminan konstitusi tentang kebebasan beragama dan azas negara Pancasila tentang persatuan dan demokrasi.