Dugaan Penyiksaan di Balik Tembok Lapas Narkotika Yogya

  • Nurhadi Sucahyo

Mobil pengangkut warga binaan di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta memasuki gerbang Lapas, Selasa (2/11). (Foto: VOA/Nurhadi)

Sepuluh mantan terpidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas II A Yogyakarta, mengadu ke Ombudsman RI. Mereka mengaku menerima penyiksaan, dengan detil yang bahkan tidak pantas dituliskan.

Salah satu dari sepuluh mantan terpidana itu adalah Vincentius Titih Gita Arupadhatu. Berbicara setelah laporan resmi dia sampaikan ke kantor Ombudsman Yogyakarta, Senin (1/11), Vincent mengatakan siksaan sudah dimulai sejak mereka tiba.

“Jadi begitu kita masuk, itu tanpa kesalahan apapun, kita langsung dipukulin pakai selang, diinjak-injak, pakai kabel juga. Ini bekas-bekas saya masih banyak. Ini sudah yang enam bulan yang lalu,” kata Vincent sambil menunjukkan bekas luka di badannya.

Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta, di kawasan Pakem, Sleman. (Foto: VOa/Nurhadi Sucahyo)

Alasan tindakan itu diberikan, masih menurut Vincent, adalah karena mereka residivis. Istilah ini mengacu bagi pelaku yang mengulang tindak kejahatannya. Namun, dari 12 orang yang masuk ke Lapas khusus Narkoba Yogyakarta bersama Vincent ketika itu, tidak semua berstatus residivis. Vincent mengatakan, setiap terpidana atau yang bisa disebut warga binaan, menerima siksaan sejenis.

“Selama tiga hari full itu kita disiksa, dari siang sampai saya sampai hampir subuh. Jadi di sana terus kita kayak disekap, kita nggak bisa menghubungi keluarga, saya selama hampir lima bulan itu saya nggak bisa menghubungi keluarga,” tambah Vincent.

Sepuluh mantan warga binaan Lapas melaporkan kasusnya ke Ombudsman RI Kantor Perwakilan Yogyakarta, Senin (1/11). (Foto: Courtesy/Ombudsman DIY)

Pelaku Diduga Sipir

Pelaku penyiksaan itu, kata Vincent, adalah petugas Lapas. Dia bahkan bisa menyebut satu persatu nama lengkap petugas itu. Oknum ini dia klaim sering mencari-cari kesalahan warga binaan. Sel mereka juga jarang dibuka, sehingga tidak bisa beraktivitas, termasuk untuk kegiatan rohani.

“Kita cuma kayak dibikin pelampiasan buat senang-senang. Terakhir ada teman yang nggak pakai kaos, dia disuruh guling-guling, lalu dia muntah-muntah, dan muntahnya itu disuruh makan. Sampai segitunya,” tambah Vincent.

Sejumlah tindak penyiksaan lain, yang diterima teman-teman Vincent, lebih sadis dari paparan di atas, sehingga tidak dapat dituliskan. Apa yang diceritakan Vincent bisa dinilai melebihi batas kemanusiaan.

Para mantan warga binaan Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta ditemui media usai melaporkan kasus yang dialaminya, Senin (1/11). (Foto: Courtesy/Ombudsman DIY)

Klaim yang disampaikan Vincent, termasuk di dalamnya penelanjangan bersama-sama dan disiram air. Ada warga binaan yang meninggal karena sakit, dan ada pula yang tangannya luka dan membusuk akibat dimasukkan ke kolam lele dan mengalami infeksi.

Para warga binaan tidak dapat mengabarkan tindak penyiksaan itu karena tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Vincent bahkan mengaku, dimasukkan ke sel kering selama lima bulan. Sel kering adalah istilah untuk sel yang tidak dibuka sama sekali. Vincent sendiri masuk Lapas pada April 2021, dan saat ini berstatus cuti bersyarat mulai 19 Oktober 2021-19 Maret 2022.

Lapas Narkotika ini berada di kawasan Pakem, Sleman, Yogyakarta. Berada di ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut, kawasan tersebut berudara sejuk. Di depan kompleks Lapas, terdapat RS Grhasia, yang khusus menangani pasien sakit jiwa dan penyalahgunaan narkotika. Kapasitasnya 436 orang dan saat ini ada 430 warga binaan di sana.

BACA JUGA: Penyelundupan Narkoba ke Indonesia Tetap Tinggi di Masa Pandemi COVID-19

Kisah tentang penyiksaan di balik tembok tinggi Lapas Narkotika ini tentu disanggah mentah-mentah. Kepala Lapas, Cahyo Dewanto pada Selasa (2/11) mengatakan semua kegiatan pembinaan dilakukan sesuai standar prosedur operasi, secara proporsional dan terukur.

“Untuk peningkatan mental, fisik, dan disiplin. Tentunya agar terjadi perubahan sikap dan perilaku narapidana ke arah yang lebih baik,” kata Cahyo

Kemenkumham Janji Bertindak

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIY, Budi Argap Situngkir. (Foto: VOA/Nurhadi)

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIY, Budi Argap Situngkir juga berbicara senada, ketika menjawab pertanyaan media pada Selasa (2/11) di halaman Lapas.

“Kami berjanji, tidak akan pernah tolerir bagi petugas yang melakukan pelanggaran-pelanggaran,” ujarnya.

Budi menyebut, berita yang telah tersebar soal penyiksaan tidak benar. Mereka, kata Budi, bukan manusia yang bisa bertidak sesadis apa yang diceritakan Vincent.

Sepuluh mantan warga binaan di Lapas Narkotika Yogyakarta ini mengaku mengalami penyiksaan selama di dalam tahanan. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Terkait putusnya hubungan warga binaan dengan dunia luar, termasuk keluarga, adalah konsekuensi situasi pandemi. Sejak lebih setahun lalu, memang ada aturan yang melarang kunjungan. Budi beralasan, pada sekitar Mei 2021, ada kasus sekitar 260 warga binaan terinfeksi COVID-19 yang membuat Lapas akhirnya terkunci rapat.

Budi juga menangkis pernyataan bahwa Vincent tidak menerima hak dengan baik. Buktinya, kata dia, saat ini Vincent sedang menjalani cuti bersyarat, yang menjadi salah satu hak warga binaan. Dia bahkan menduga, penerapan aturan yang ketat di Lapas Narkotika Yogyakarta, membuat warga binaan merasa terganggu.

Your browser doesn’t support HTML5

Dugaan Penyiksaan di Balik Tembok Lapas Narkotika Yogya

“Merokok tidak boleh. Di sini tidak ada satupun colokan listik di dalam kamar. Tidak boleh menggunakan uang. Tidak ada pemakaian handphone. Jadi memang, kalau buat narapidana yang nakal, gerah di sini,” kata Budi.

Meski begitu, Budi menjanjikan pihaknya tetap akan melakuan investigasi. Dia berjanji dalam beberapa hari ke depan, hasil investigasi sudah bisa disampaikan.

BACA JUGA: BNN Kembali Musnahkan 579 Kilogram Barang Bukti Narkoba

“Kalau ini memang ada perlakuan tidak benar, kami janji akan tindak dengan tegas. Tidak ada toleransi,”tambahnya.

“Kalau benar memang perlakuan, sampai ada dipukul pakai selang, dipukul pakai ini, kita akan copot kalapasnya. Kalau benar perlakuan itu,” katanya lagi.

Bukan Laporan Pertama

Kepala Kantor Ombudsman RI Yogyakarta, Budhi Masturi, menyebut pihaknya akan melakukan klarifikasi atas laporan ini.

Seorang petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang menyiap paket-paket metamfetamin atau sabu-sabu yang akan dimusnahkan di Jakarta, 4 Mei 2018. BNN Sulawesi Tengah menengarai sebuah kelurahan di Kota Palu sebagai pusat transaksi narkoba beromzet mili

“Dalam poses klarifikasi itu, apabila terjadi perbedaan informasi para pihak, baik pelapor maupun terlapor, dan mereka bertahan pada keyakinannya, tidak menutup kemungkinan akan kita pertemukan, mana informasi yang lebih benar,” kata Budhi Masturi.

Sejauh ini, sudah ada sepuluh pelapor. Namun, kata Budhi, tidak menutup kemungkinan jumlahnya lebih banyak.

“Kita akan gali informasi dari korban lain, jika ada,” ujarnya.

Petugas Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta bertugas mengatur masuknya warga binaan. (Foto: VOA/Nurhadi)

Budhi juga mengatakan, dalam tiga bulan terakhir, Ombudsman RI Kantor Yogyakarta sudah menerima tiga laporan terkait kekerasan di dalam lingkungan Lapas. Satu laporan dari Lapas di kota Yogya yang sedang dalam proses penyusunan kesimpulan akhir. Laporan kedua berasal dari warga binaan di Lapas Perempuan Wonosari, yang disampaikan sekitar dua pekan lalu. Laporan Vincent dan kawan-kawannya mantan warga binaan Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, menjadi yang terakhir.

“Intinya, mereka merasa mengalami perlakuan kekerasan selama di dalam,” kata Budhi ketika ditanya substansi laporan-laporan tersebut. [ns/ab]