Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan, 81 persen warga Indonesia mengetahui kebijakan kelaziman baru atau new normal. Dari jumlah itu, 80 persen warga setuju kebijakan itu segera diterapkan meski kasus penularan virus corona masih tinggi. Lebih jauh, 92 persen setuju kebijakan melonggarkan bekerja di luar rumah, 93 persen setuju melonggarkan aturan penggunaan tempat ibadah dan 90 persen setuju kebijakan melonggarkan transportasi umum.
Angka-angka itu dipaparkan Direktur Komunikasi SMRC, Ade Armando, dalam webinar Kondisi Ekonomi Masa Covid-19 dan Respons Kebijakan New Normal: Opini Publik Nasional, Kamis (25/6). Data diperoleh melalui survei wawancara per telepon kepada 1.978 responden di seluruh Indonesia pada 18-20 Juni 2020. Survei ini menetapkan angka margin of error 2,2 persen.
“Dukungan terhadap normal juga lebih banyak disuarakan mereka yang bekerja di sektor informal, berlatar belakang pendidikan lebih rendah dan berpendapatan lebih rendah. Sebagai perbandingan, yang berharap Normal baru diberlakukan saat ini di kalangan warga yang berpendidikan SD mencapai 83 persen, berpendapatan kurang dari 1 juta mencapai 83 persen,” ujar Ade Armando.
Dukungan penerapan kelaziman baru tertinggi ada di Jakarta, mencapai 91 persen responden dan terendah di wilayah Bali dan Nusa Tenggara dengan 67 persen.
Dari sisi ekonomi, SMRC menemukan data bahwa 85 persen responden merasa keadaan ekonomi nasional sekarang lebih buruk dibanding tahun lalu. Angka ini sudah lebih baik, karena sentimen negatif warga terhadap kondisi ekonomi pada Mei lalu sempat mencapai angka 92 persen.
Sementara itu, 71 persen responden menilai kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibanding sebelum pandemi. Angka ini juga turun dari survei bulan Mei, dimana penilaian negatif mencapai 83 persen.
Tidak Bermakna Ekonomi Bangkit
Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan, M. Chatib Basri menanggapi hasil survei SMRC ini dengan menggarisbawahi data, bahwa persetujuan atas kelaziman baru datang dari mereka yang berpendidikan rendah dan ekonominya terpuruk.
Chatib memberi istilah, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bias terhadap kelas menengah atas. Mereka yang masih memiliki dana ketika berada di rumah, akan cenderung bisa menerima kebijakan pengendalian penularan semacam itu.
“Yang menarik memang di Juni ada optimisme sedikit, ini ini dugaan saya karena harapan akibat daripada new normal yang mungkin mau diterapkan. Karena di persepsi orang itu, jika new normal diterapkan maka ekonomi akan pulih,” kata Chatib Basri.
Karena itulah wajar jika dua faktor, yaitu persepsi ekonomi yang buruk dan persetujuan pemberlakuan kelaziman baru bertemu dalam survei SMRC kali ini. Chatib memberi contoh, begitu pelonggaran diberlakukan, maka yang langsung penuh sesak adalah pasar tradisional. Di tempat inilah sebagian besar masyarakat menggerakkan ekonomi mereka. Sementara di sisi lain, kondisi pusat perbelanjaan relatif lebih sepi di hari-hari pertama kebijakan pelonggaran. Hal ini karena kelas menengah punya pilihan untuk tetap di rumah.
Your browser doesn’t support HTML5
Program Bantuan Langsung Tunai berperan dalam hal ini, tetapi tidak terlalu besar karena jumlah penerimanya relatif sedikit. Karena itu, kelompok masyarakat miskin cenderung paling besar setuju pemberlakuan kelaziman baru. PSBB akan gagal jika pemerintah tidak berhasil melakukan perlindungan ekonomi masyarakat.
“Inilah yang terjadi di India. Inilah yang terjadi di Brazil. Inilah yang terjadi di Meksiko. Di semua negara yang penduduknya banyak, di mana social protection tidak mampu disediakan negara, maka orangnya enggak bisa dikontrol,” tambah Chatib Basri.
Padahal, harapan masyarakat bahwa dengan kelaziman baru maka ekonomi akan berjalan masih harus diuji. Saat ini hingga enam bulan ke depan, berbagai program pemerintah masih berlaku untuk membantu dan melindungi sektor usaha. Tetapi pada 2021, kebijakan perlindungan itu tidak berlaku lagi, dan ujian sebenarnya bagi sektor usaha justru baru akan dimulai, ujar Chatib Basri.
Kebangkitan Membutuhkan Waktu
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Rosan Roeslani menyebut, tekanan ke sektor bisnis terus meningkat sejak Maret hingga Juni ini. sekitar 200 asosiasi yang tergabung di dalam Kadin rutin melaporkan kondisi masing-masing. Karena itulah, Kadin mengungkap data PHK sebanyak 6,4 juta orang, beda dengan Kemenakertrans yang hanya 2,8 juta orang.
PHK itu dimulai dari posisi pekerjaan di bawah seperti Satpam, dan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Laporan ke Kadin, dari sektor transportasi PHK mencapai 1,4 juta orang, asosiasi pertekstilan melaporkan angka 2,1 juta orang, perhotelan kurang lebih 430.000 orang dan lebih dari 2.000 hotel yang tutup. Dari sektor alas kaki tercatat 500 ribu, masih ditambah dengan industri elektronik dan sebagainya.
Karena itulah, kata Rosan, data mereka sesuai dengan hasil penelitian SMRC yang menyebut persetujuan kelaziman baru mayoritas datang dari responden berpendapatan dan berpendidikan rendah. Kelompok ini memang paling terdampak oleh pandemi. Namun, Rosan mengatakan, bangkitnya sektor bisnis tidak akan serta merta begitu pelonggaran diberlakukan.
“Kita mengetahui, begitu ini dilonggarkan, dunia usaha untuk kembali ke normal seperti sebelum Covid, itu kita tahu masih sangat jauh. Pertama, produktivitas sudah pasti akan menurun terutama karena faktor physical distancing. Dulu pabrik satu ruangan bisa 100 orang, sekarang 60 orang dan harus ada rotasi. Yang kedua, pasti ini akan sangat costly,” kata Rosan.
Pembiayaan tambahan yang disebut Rosan, adalah karena dunia usaha harus mengikuti protokol kesehatan. Mereka harus menyediakan masker, pembersih tangan, dan sejumlah protokol lain yang membutuhkan biaya. Sementara, pasar belum mampu menyerap produksi seperti sedia kala.
Diterapkan Hati-Hati
Anggota DPR RI Komisi XI, Didi Irawadi Syamsudin mengatakan, pemerintah mengeluarkan dana hingga hampir Rp 500 triliun untuk penanggulangan virus corona. Namun DPR menilai, upaya yang dilakukan pemerintah belum efektif. Padahal, kata Didi, sudah ada wacana dari Menteri Keuangan untuk menaikkan anggaran itu hingga lebih dari Rp 900 triliun.
Kondisi yang mengundang keprihatinan, lanjut Didi, adalah dugaan munculnya broker-broker dalam berbagai program kesehatan. Selain itu, penyaluran bantuan pemerintah juga banyak tidak tepat sasaran, karena belum adanya satu data tunggal sebagai pedoman.
Didi juga meminta kehati-hatian dalam menerapkan kebijakan. Dia memberi contoh, setelah muncul wacana kelaziman baru, jumlah kasus positif yang diumumkan justru cenderung naik. Dulu sebelum wacana bergulir, dalam satu hari kasus ditemukan sekitar 300. Saat ini, tercatat rata-rata ada 1.000 kasus setiap harinya.
“New normal tanpa masyarakat disiplin, akan sulit juga keadaan lebih baik. Karena ternyata setelah dicanangkan new normal sendiri, kalau kita lihat dari juru bicaranya kesehatan, dari hari ke hari jumlah yang terinfeksi malah lebih banyak,” ujar Didi. [ns/ab]