Ada banyak kawasan di Indonesia yang terbentang di atas lahan gambut dan rawa kaya air. Salah satunya, Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan. H. Abdul Wahid HK, Bupati Hulu Sungai Utara menyebut, daerah yang dipimpinnya memiliki kekayaan utama berupa air.
“Dari luas wilayah, 89 persen adalah lahan rawa. Kami memiliki lahan gambut 25 ribu hektar lebih dan lebih kurang 6 ribu hektar adalah restorasi gambut, yang dilakukan pengembangan sebagai area budidaya, dan dimasukkan dalam program Desa Peduli Gambut,” kata Abdul Wahid.
Sebagai kabupaten kecil di Kalimantan Selatan, Hulu Sungai Utara berperan besar dalam kelestarian ekosistem gambut. Menjaga pasokan air melimpah, adalah cara terbaik mencegah lahan terbakar. Begitu pula, menghalangi petani membakar lahan sebagai langkah awal membuka areal pertanian.
Kerja Besar Restorasi Gambut
Selama lima tahun terakhir, pemerintahan Jokowi berupaya memperbaiki ekosistem lahan gambut yang telah rusak sejak puluhan tahun lalu. Langkah ini dikoordinasikan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Prioritas lembaga ini, adalah memperbaiki 2,67 juta hektar lahan gambut rusak. Angka itu setara empat kali lipat luas pulau Bali.
Myrna A Safitri dari BRG merinci, Indonesia memiliki 13 juta hektar lahan gambut secara total. Di dalam luas lahan 2,67 juta hektar yang rusak, terdapat sekurangnya 1.200 desa. Sejak dulu, para petani memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian, dengan cara membakarnya terlebih dahulu. BRG kemudian mendirikan Sekolah Lapang Petani, untuk mencari cara bersama mengatasi persoalan itu.
“Ada 799 petani yang sekarang terlibat di dalam Sekolah Lapang Petani di masing-masing provinsi memiliki kader sendiri. Mereka membuat demplot pertanian alami, pertanian tanpa bakar. Untuk menjawab bagaimana kegiatan pertanian, kegiatan ekonomi di desa bisa berjalan tetapi tanpa terbelenggu larangan untuk membakar,” kata Myrna.
Data itu disampaikan Myrna dalam seminar Ekonomi Kerakyatan dalam Transformasi Desa Gambut. Seminar dilaksanakan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan BRG pada Jumat (19/6) sore.
Myrna juga merinci, kerusakan lahan gambut selain karena terbakar, juga disebabkan keberadaan kanal dan dalam kondisi terbuka. Kanal membuat air mudah pergi di musim kemarau, dan menjadikan gambut rawan terbakar.
Your browser doesn’t support HTML5
Lahan gambut di Indonesia dibagi dalam wilayah yang disebut Kawasan Hidrologi Gambut (KHG), yang pemetaannya didasarkan pada sumber daya air. Ada 178 KHG di lahan gambut yang rusak, dengan 239.803 kilometer kanal atau setara 6 kali keliling bumi. Lokasinya berada di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Papua.
Di kawasan yang rusak itulah, telah dibentuk 525 desa peduli gambut. Jumlah itu dikelompokkan dalam 14 kawasan pedesaan, sesuai KHG yang dimiliki masing-masing wilayah. “Pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana bentuk ekonomi yang bisa dikembangkan dan bisa mensejahterakan petani tanpa merusak ekosistem gambut,” tambah Myrna.
BACA JUGA: Antisipasi Musim Kemarau, Lahan Rawa di Kalteng dan Sumsel Akan DioptimalisasiEkonomi Hijau Masyarakat Adat
Awan Santosa, Kepala LPPM Universitas Mercubuana Yogyakarta mengatakan, ekonomi hijau sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Masyarakat adat di berbagai daerah, sudah mempraktikkan itu selama ratusan tahun. Mereka memanfaatkan sumber daya alam dalam pengawasan penuh seluruh masyarakat adat, agar tidak menjadi praktik yang merusak.
“Apa yang kemudian disebut sebagai keberlanjutan atau ekonomi hijau sebenarnya sudah dipraktikkan oleh masyarakat kita, yang kemudian diformulasikan oleh para pendiri bangsa kita bagaimana mengelola ekonomi itu dasarnya adalah kontrol orang banyak, kontrol masyarakat, kontrol komunal,” kata Awan.
Awan juga mengatakan, pengembangan model inkubator ekonomi kerakyatan di desa-desa sekitar hutan bisa diterapkan seperti model jejaring ekonomi dan koperasi desa. Ada tiga pilar dalam pengembangan inkubator ekonomi ini, yaitu model intelektual, modal material, dan modal institusional.
Model intelektual adalah membangun manusia seperti membuka sekolah atau tempat belajar dengan obyek belajar khusus. Misalnya sekolag pasar, sekolah buruh, sekolah hijau, sekolah koperasi gula klapa, sekolah desa mandiri, sekolah nelayan, serta sekolah tani, sekolah sagu, dan sekolah kopi.
Modal institusional adalah membangun kelembagaan baik manajemen, jejaring, nilai-nilai, budaya, kearifan lokal serta musyawarah. Sedang modal material meliputi kapital finansial, infrastruktur pasar, teknologi produksi-infromasi, dan tanah, lahan, air, serta hutan.
Perlu Pematangan Konsep
Pakar ekonomi kerakyatan dari UGM, Revrisond Baswir mengatakan bahwa konsep ekonomi kerakyatan tidak bermakna ekonomi skala kecil. Konteksnya lebih pada demokrasi ekonomi.
“Secara konsepsional, ini adalah suatu ajaran ekonomi yang menganjurkan keikutsertaan rakyat banyak sebagai pemilik alat produksi dan pengendali jalannya roda perekonomian. Dan itu tertera jelas di dalam UUD padal 33 yang asli,” kata Revrisond.
Program restorasi gambut, kata Revrisond dapat diselaraskan dengan agenda reforma agraria yang dilakukan pemerintah. Lahan gambut dapat diserahkan kepada pemerintah desa untuk dikelola.
Desa kemudian membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mengelola lahan tersebut. Badan usaha ini harus otonom dan tidak berada di bawah lembaga. Juga tidak boleh disebut sebagai binaan BRG, untuk mengantisipasi jika badan nasional itu suatu saat harus dibubarkan.
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM sendiri sudah membuat riset terkait pengelolaan lahan gambur dan penerapan ekonomi kerakyatan. Program ini bernama Sekolah Sagu, yang bermula dari penelitian pada 2016. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Sorong Selatan di Papua.
Laksmi A Savitri dari Pustek UGM memaparkan, masyarakat di Sorong Selatan terlah terkait dalam konsep industri sagu terpadu. “Dalam konsep ini panen sagu di kebun dilakukan masyarakat, parut sagu ada di kebun masyarakat, kemudian dibawa ke pengolahan atau kilang sag. Dari sana diserap oleh industri untuk menghasilkan sagu kering yang akan diekspor,” ujar Laksmi.
Namun, konsep tersebut sampai saat ini belum berjalan karena banyak hal hanya ada di atas kertas. Praktik bisnis sagu di Sorong Selatan tetap hanya menguntungkan industri dan retailer, sementara masyarakat memperoleh bagian yang kecil. Sagu kering dibeli dari masyarakat Rp 6 ribu perkilo, padahal bisa dijual untuk ekspor hingga Rp 85 ribu perkilo. [ns/em]