Ada istilah yang terus dipopulerkan untuk kejahatan lingkungan hidup, yaitu ekosida atau ecoside. Penamaan secara khusus itu penting, untuk memberi tekanan bahwa perusakan lingkungan adalah sebuah kejahatan. Namun, menurut Kepala Desk Politik, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Khalisah Khalid, itu bukan kampanye yang mudah.
“Memang kita dihadapkan pada kenyataan sulit, untuk membawa kejahatan ekosida masuk menjadi wacana publik atau wacana yang ada di pengambil kebijakan. Kita sudah memproduksi gagasan ini sejak 2004 kemudian 2005 menerbitan bukunya,” kata Khalisah.
Khalisah menyampaikan itu dalam paparan hasil riset Kejahatan Lingkungan Hidup (Ekosida) di Mata Publik. Acara diselenggarakan Walhi Kalimantan Tengah, Rabu (30/12) sore. Dia mengatakan, kejahatan sektor lingkungan, yang menyebabkan kerusakan luar biasa, telah terjadi selama bertahun-tahun di Indonesia. Kalimantan Tengah menjadi daerah yang bisa dijadikan contoh, bagaimana kebakaran hutan dan lahan terjadi sejak 1997 dan terus berulang, dengan dampak luar biasa dan tidak bisa dipulihkan.
Kampanye Lingkungan Dunia
Ekosida adalah prakarsa internasional. Setelah PBB menyepakati Statuta Roma pada 17 Juli 1998, yang memungkinkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengadili kejahatan kemanusiaan dan mencabut kekebalan hukum. Ada empat kejahatan yang ditangani ICC, yaitu kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi. Pada 2011, Polly Higgins, seorang pengacara dari Inggris menginisiasi amandemen Statuta Roma. Dia ingin ekosida menjadi kejahatan yang bisa dibawa ke ICC. Namun, upaya itu belum berhasil hingga saat ini dan Higgins meninggal pada 2019.
Khalisa mengatakan, ICC sebenarnya memberi respon dan mengajak masyarakat global untuk memberikan perhatian serius kepada konfik agraria dan kejahatan lingkungan. Karena itulah, kampanye mengenai ekosida menjadi penting, khususnya di Indonesia, yang selama ini digawangi Walhi.
Walhi, yang mengkampanyekan ekosida sejak 2005, memperjuangkan penerapannya pertama kali dalam kasus Lumpur Lapindo.
“Sayangnya, kasus Lumpur Lapindo diputuskan dalam paripurna Komnas HAM bukan sebagai pelanggaran berat HAM, karena tidak ditemukan terminologi kejahatan ekosida dalam UU 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM. Jadi, kita terbentur hukum yang formalistik,” tambah Khalisa.
Walhi sebenarnya berharap ada terobosan hukum yang diambil ketika itu, yang tujuannya memberikan keadlan bagi korban dan lingkungan. Namun, karena ekosida tidak menjadi perhatian, bahkan sampai saat ini, terobosan hukum semacam itu tidak pernah diambil.
Untuk menekan pemerintah dalam isu ini, Walhi melakukan riset kepada 1.000 responden di tujuh provinsi, seputar pemahaman mereka terkait ekosida. Hasilnya, lebih 85 persen reponden berumur 16-25 tahun sudah mengetahui, bahwa persoalan lingkungan hidup adalah persoalan struktural dan melibatkan korporasi sebagai kekuatan besarnya. Mereka juga tahu, bahwa ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah dan kemudahan izin yang diberikan.
BACA JUGA: Greenpeace: 4,4 Juta Hektar Lahan Terbakar dalam Karhutla 2015-2019Responden juga memahami bahwa hak atas lingkungan hidup adalah hak asasi manusia. Sebagian besar responden juga menilai, kejahatan lingkungan adalah pelanggaran berat HAM.
“Bahkan yang sudah tahu tentang ekosida itu angkanya lumayan besar, di atas 50 persen. Sebagai sebuah diskursus baru, mengenal kata ekosida saja itu sudah cukup sangat, meskipun perlu didalami lebih lanjut, sejauh mana pemahamannya,” lanjut Khalisa.
Libatkan Anak Muda Pedalaman
Aktivis lingkungan Pinarsita Juliana dari Save Our Borneo menyebut, pemahaman mengenai ekosida juga perlu bagi anak muda di kawasan pedalaman. Banyak aktivitas terkait lingkungan yang mulai diakrabi anak muda perkotaan, tetapi di pedesaan atau bahkan pedalaman, seperti Kalimantan Tengah, kampanye perlu lebih difokuskan. Juliana mengusulkan riset-riset terkait kejahatan lingkungan untuk lebih besar melibatkan anak muda pedalaman.
Sebagai aktivis yang terlibat dalam aksi advokasi di Kalimantan, Jualiana mengaku bisa memahami ekosida sebagai sesuatu yang tidak jauh dari genosida. Apalagi, dia dan banyak aktivis lain saat ini sedang melakukan advokasi untuk masyarakat adat Dayak di Kinipan, Kalimantan Tengah.
“Apa yang sedang terjadi di Kinipan saat ini adalah ekosida dalam bentuk deforestasi. Ketika ruang hidup mereka hilang, sumber daya alam mereka juga hampir habis, karena eksploitasi dari perkebunan kelapa sawit, yang mana ekosida ini, deforestasi ini, ujung-ujungnya bisa jadi kepunahan juga terhadap masyarakat adat Dayak Kinipan,” kata Juliana.
Juliana juga mengusulkan, wacana ekosida kini tidak lagi fokus dimasukkan dalam kebijakan pemerintah, tetapi masuk lebih dini melalui kurikulum sekolah.
“Sampai saat ini belum ada kurikulum di Indonesia yang berbasis lingkungan. Padahal masalah yang selalu kita hadapi selalu berkaian dengan lingkungan,” ujarnya.
Indikasi Korporasi Pelau Ekosida
Akademisi hukum Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Mariaty A Niun menilai perlu adanya kejelasan soal korporasi terkait tindak ekosida itu sendiri. Sebuah rumusan diperlukan, untuk menentukan korporasi semacam apa yang telah melakukan ekosida. Riset selanjutnya dalam tema ini, perlu memperhatikan hal itu, terutama jika ingin ekosida masuk dalam ranah hukum.
Your browser doesn’t support HTML5
“Apakah semua korporasi itu kemudian menjadi pelaku kejahatan ekosida? Ketika kita lihat judul penelitiannya, kan pertanyaannya, berarti korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan bisa jadi itu masuk dalam ekosida. Tetapi kemudian, korporasi yang seperti apa?” tanya Mariaty.
Karena itulah, dalam wacana ekosida ini, Mariaty memandang perlu ditetapkannya sebuah indikator.
“Kita mungkin tidak bisa mengkategorikan semua korporasi sebagai pelaku, ketika kita tidak mempunyai indikator,” tegasnya.
Melihat respon anak muda dalam riset Walhi, Mariaty juga memandang penting kampanye ekosida ke depan lebih banyak dilakukan di media sosial. [ns/ab]