Ilmuwan menemukan bahwa suhu global lebih rentan terhadap karbon dioksida (CO2) dari perkiraan sebelumnya.
Suhu global akan naik paling sedikit 4 derajat Celsius pada 2100 dan kemungkinan lebih dari 8 derajat jika emisi karbon tidak dikurangi, demikian menurut hasil penelitian terakhir yang diterbitkan di jurnal NATURE.
Ilmuwan menemukan bahwa suhu global lebih rentan terhadap karbon dioksida (CO2) dari perkiraan sebelumnya.
Pengumpulan karbon dioksida yang menyerap panas di atmosfer meningkat 40 persen dalam abad terakhir. Dan, menurut penelitian terbaru, akibat pelepasan emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar pembangkit listrik, mobil, dan gedung, bumi akan terus memanas sampai pada tingkat yang berbahaya.
Steven Sherwood, ilmuwan iklim di Center of Excellence for Climate System Science, Australia, dan penulis utama laporan itu, mengatakan ramalan kenaikan suhu 4 derajat Celsius didasarkan pada peran uap air dalam pembentukan awan.
“Apa yang kami lihat dalam penelitian adalah bahwa jika uap air naik ke udara dari permukaan laut, seringkali hanya naik beberapa kilometer sebelum mulai turun kembali ke permukaan bumi. Bisa juga uap itu naik sampai 10 atau 15 kilometer. Dan jalur yang lebih pendek itu ternyata penting terhadap kepekaan iklim,” ujarnya.
Sherwood mengatakan berdasarkan skenario ini, jika awan tidak terbentuk, maka Bumi menyerap lebih banyak sinar matahari.
“Pertanyaan yang timbul selama bertahun-tahun adalah, apa yang akan terjadi pada awan yang rendah di udara? Apakah awan itu akan berkurang pada waktu bumi memanas, atau apakah jumlahnya akan sama atau bertambah? Temuan kami adalah awan itu berkurang karena proses ini, karena uap air tersedot dan lebih sedikit awan di atmosfer yang panas,” ujarnya.
Sherwood mengatakan model iklim yang menunjukkan kenaikan suhu global kecil terhadap karbon dioksida tidak memperhitungkan proses uap air ini. Tetapi, asumsi model ini adalah semua uap air naik sampai 15 kilometer ke udara dan membentuk awan.
Ketika proses dalam model iklim ini diperbaiki sesuai dengan kenyataan sebenarnya, simulasi menghasilkan daur yang mengangkut uap air ke berbagai ketinggian.
Kata Sherwood, penelitian ini merupakan sebuah peringatan lagi agar mengurangi emisi dalam menanggapi dampak dari perubahan iklim.
Ilmuwan menemukan bahwa suhu global lebih rentan terhadap karbon dioksida (CO2) dari perkiraan sebelumnya.
Pengumpulan karbon dioksida yang menyerap panas di atmosfer meningkat 40 persen dalam abad terakhir. Dan, menurut penelitian terbaru, akibat pelepasan emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar pembangkit listrik, mobil, dan gedung, bumi akan terus memanas sampai pada tingkat yang berbahaya.
Steven Sherwood, ilmuwan iklim di Center of Excellence for Climate System Science, Australia, dan penulis utama laporan itu, mengatakan ramalan kenaikan suhu 4 derajat Celsius didasarkan pada peran uap air dalam pembentukan awan.
“Apa yang kami lihat dalam penelitian adalah bahwa jika uap air naik ke udara dari permukaan laut, seringkali hanya naik beberapa kilometer sebelum mulai turun kembali ke permukaan bumi. Bisa juga uap itu naik sampai 10 atau 15 kilometer. Dan jalur yang lebih pendek itu ternyata penting terhadap kepekaan iklim,” ujarnya.
Sherwood mengatakan berdasarkan skenario ini, jika awan tidak terbentuk, maka Bumi menyerap lebih banyak sinar matahari.
“Pertanyaan yang timbul selama bertahun-tahun adalah, apa yang akan terjadi pada awan yang rendah di udara? Apakah awan itu akan berkurang pada waktu bumi memanas, atau apakah jumlahnya akan sama atau bertambah? Temuan kami adalah awan itu berkurang karena proses ini, karena uap air tersedot dan lebih sedikit awan di atmosfer yang panas,” ujarnya.
Sherwood mengatakan model iklim yang menunjukkan kenaikan suhu global kecil terhadap karbon dioksida tidak memperhitungkan proses uap air ini. Tetapi, asumsi model ini adalah semua uap air naik sampai 15 kilometer ke udara dan membentuk awan.
Ketika proses dalam model iklim ini diperbaiki sesuai dengan kenyataan sebenarnya, simulasi menghasilkan daur yang mengangkut uap air ke berbagai ketinggian.
Kata Sherwood, penelitian ini merupakan sebuah peringatan lagi agar mengurangi emisi dalam menanggapi dampak dari perubahan iklim.