Anugerah yang diberikan oleh The Royal Academy of Engineering di Inggris itu disertai dengan hadiah uang hampir 33 ribu dolar.
Alat uji cepat non-invasif untuk malaria yang dapat digunakan kembali itu dikenal sebagai “Matibabu” – bahasa Swahili yang berarti “pusat medis.” Mereka yang merancangnya mengatakan alat itu dapat mendiagnosis malaria dalam waktu kurang dari dua menit. Anggota tim perancang “Matibabu” Shafik Sekitto mengatakan.
“Jadi kami mencoba menjembatani kesenjangan antara masyarakat dan akses mereka untuk memperoleh diagnosis malaria yang tepat,” ujar Shafik.
“Matibabu” menggunakan sensor cahaya, bukan contoh darah. Anggota-anggota tim itu – Shafik Sekitto dan Brian Gitta – menjelaskan bagaimana piranti itu bekerja.
“Ketika seseorang tertular malaria, parasit dalam darah mengubah sifat kimia dan fisiknya. Parasit itu mengubah bentuk sel dan ada kristal yang dipancarkan di dalam aliran darah itu. Jadi kami menggunakan cahaya dan magnet untuk membedakan darah yang tertular malaria dan yang tidak,” jelas Shafik.
“Pegang selama dua menit, pasien akan meninggalkan sidik jari mereka di lengkungan piranti itu, dan setelah itu hasilnya akan dikirim ke laptop atau ke telpon untuk menunjukkan apakah kita tertular malaria atau tidak,” jelas Brian.
Kepala Otorita Obat-Obatan Uganda Medard Bitekyerezo mengatakan ini perkembangan yang sangat menjanjikan bagi negara itu, sehingga akan semakin banyak pasien – terutama anak-anak – yang menggunakannya.
“Malaria adalah salah satu pembunuh utama di Uganda. Saya kira jika inovasi ini bekerja, tidak bakal menyakiti anak-anak,’’ ujar Medard.
Uji coba baru itu akan menjadi penentu yang membantu mengurangi biaya. Tetapi Joseph Okia, seorang dokter di rumah sakit Nakasero di Kampala, mengingatkan bahwa supaya efektif maka piranti itu harus sangat akurat.
“Ketika kita melihat uji medis, kita memiliki sesuatu yang disebut sebagai sensitivitas dan spesifikasi. Sensitivitas artinya seberapa mungkin tes ini mendeteksi seseorang yang tertular malaria. Biasanya kita membutuhkan hasil yang mencapai di atas 95%. Perancang ‘’Matibabu’’ mengatakan hasil uji alat baru ini sekitar 80%,’’ ujar Joseph.
Delapan puluh persen kasus dan kematian akibat malaria di dunia terjadi di Sub-Sahara Afrika. Para petugas kesehatan dan ilmuwan berharap alat uji baru ini dapat mengurangi angka-angka tersebut. [em/al]