Pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto baru-baru ini menuai kontroversi. Dalam safari politiknya, Prabowo pernah menyatakan kemungkinan Indonesia bubar pada 2030.
Meski mengacu kepada karangan fiksi ilmiah, menurut Prabowo, potensi itu tetap ada lantaran elit Indonesia saat ini tidak peduli 80 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh satu persen rakyat.
Kontroversi tidak selesai di situ. Saat berpidato di Gedung Serbaguna Isnata Kana, Cikampek, Prabowo juga mengungkapkan ketidaksukaan pada elit politik sekarang karena banyak yang menipu. Para elit juga dinilai menganut paham neoliberalisme.
Pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra itu langsung dibantah oleh sejumlah pihak. Di antaranya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qadari menilai gaya komunikasi politik Prabowo Subianto meniru Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016. Pada saat itu, yang disebarkan oleh Trump adalah pesimisme dan ketakutan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah pernyataan bahwa Prabowo Subianto meniru strategi politik ala Donald Trump untuk meraup suara pada pemilihan presiden 2019.
Menurutnya apa yang dikatakan Prabowo merupakan realitas dan bukan merupakan ancaman. Menurut Fadli, pernyataan tersebut mestinya disikapi secara serius. Tidak ada cara dari Prabowo yang menebar ketakutan dan pesimisme di tengah masyarakat, tambahnya. Prabowo hanya mengingatkan bahwa negara sedang mengalami banyak masalah, lanjut Fadli.
“Pernyataannya dianggap kontroversial, terserah orang mau menanggapi. Pak Prabowo tidak menebarkan ketakutan. Pak Prabowo menebarkan realitas apa adanya, tapi mungkin dengan pilihan kata-kata, kalimat, retorika yang menarik masyarakat,” kata Fadli Zon. Menurut Fadli, apa yang disampaikan Prabowo mewakili perasaan masyarakat saat ini, misalnya soal ketimpangan, soal kemiskinan, yang merupakanrealitas yang dihadapi oleh masyarakat.
“Pak Prabowo menyatakan itu dan mengungkap kesadaran supaya marilah kita bangun dan bangkit dari kenyataan yang sekarang ini karena Indonesia sebenarnya kaya,” ujar Fadli.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qadari, ada kesamaan isu yang diungkapkan Prabowo Subianto dan Trump. Di antaranya adalah mempertentangkan kalangan atas dan bawah dengan membahas soal kesenjangan. Selain itu soal ancaman dari luar negara. Apabila ketakutan dan pesimisme ini terus dikembangkan, maka pemilih akan cenderung memilih Prabowo dibandingkan dengan calon lainnya, kata Qadari menjelaskan.
Apalagi, tambah Qadari, penggunaan media sosial di Indonesia sangat masif. Isu kesenjangan dan pesimisme sangat mudah menyebar di media sosial.
“Jadi yang disebarkan pesimisme, kemudian ketakutan. Kalau kita melihat kasus di Amerika, ternyata pesimisme dan ketakutan itu dibeli oleh rakyat Amerika sehingga mereka memilih Donald Trump. Jadi saya kira kalau ketakutan dan pesimisme ini dikembangkan dan mempengaruhi masyarakat Indonesia maka kencenderungannya akan memilih Prabowo,” kata Qadari.
Politikus dari PDI Perjuangan Adian Napitupulu menilai pidato Prabowo Subianto tidak rasional.
“Dia sedang menyerang dirinya sendiri sebenarnya, sedang mempertontonkan ketidakmampuan dia membedakan fiksi dan kajian ilmiah,” kata Adian.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berencana akan menentukan sikapnya apakah akan maju pada pemilihan presiden 2019 pada 11 Maret. Dalam sejumlah survei, Prabowo dinyatakan lawan terkuat Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan presiden 2019. Presiden Jokowi sudah menyatakan bersedia mencalonkan diri kembali sebagai presiden dan ikut pemilihan presiden pada pemilu mendatang. [ft]