Pemerkosaan beramai-ramai terhadap remaja perempuan berusia 15 tahun oleh enam pria muda di Tangerang merupakan yang terbaru dalam serangkaian kasus mengerikan tahun ini, yang mendorong budaya pemerkosaan dan misogini ke dalam agenda nasional.
Kesadaran publik mengenai kekerasan seksual pertama kali terangkat Mei bulan ini menyusul pemerkosaan beramai-ramai dan pembunuhan YY, gadis 14 tahun, oleh 14 laki-laki remaja dan dewasa, termasuk bekas pacarnya, di Bengkulu. Tubuhnya ditemukan telanjang dan terikat di sebuah perkebunan karet dua hari kemudian.
Kasus itu awalnya tidak terperhatikan, sampai para aktivis feminis memulai kampanye media sosial menuntut keadilan.
Korban terbaru yang menjadi berita utama diidentifikasi sebagai S, yang mengendarai angkot yang dibawa oleh dua dari tersangka pelaku pada pukul 1 dini hari Kamis, 24 November, menurut pernyataan polisi yang dilaporkan oleh media lokal. Tapi bukannya mengantarkan S ke tempat tujuannya, ia dibawa ke sebuah rumah kontrakan, di mana empat teman mereka sedang menunggu. Korban kemudian dipaksa masuk kamar mandi dan diperkosa oleh para tersangka.
Setelah diperkosa, para tersangka kemudian membiarkan S pergi. Dia akhirnya melaporkan kejadian tersebut ke polisi pada hari Minggu (4/12). Setelah itu empat tersangka ditangkap. Dua lainnya masih buron.
Para tersangka bisa dikenai tuduhan melanggar undang-undang perlindungan anak dan masing-masing bisa terancam hukuman 15 tahun penjara.
Meningkatnya Serangan Seksual Terhadap Perempuan
Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), rata-rata 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia setiap hari.
"Namun sebagian besar dari kekerasan seksual itu tidak dilaporkan, seringkali karena tekanan stigma, keluarga dan masyarakat. Jadi data ini bisa jadi adalah 'puncak gunung es'," ujar Mia Olivia, juru bicara Komnas Perempuan.
Meningkatnya tingkat kekerasan seksual bersamaan dengan peningkatan kekerasan terhadap perempuan secara umum, menjadi 321.752 kasus yang tercatat tahun 2015, naik dari 293.220 tahun 2014. Pada sekitar 70 persen dari insiden-insiden ini, pelaku adalah pasangan atau bekas pasangan korban.
Sebuah laporan PBB yang dirilis tahun 2013, yang didasarkan pada jajak pendapat di seluruh Asia, menemukan bahwa 31,9 persen responden di Indonesia mengaku pernah memaksa perempuan berhubungan seks. Dan hampir tiga perempat dari mereka yang memperkosa mengatakan mereka melakukannya karena "merasa berhak secara seksual."
Banyak pihak menyalahkan tidak memadainya penegakan hukum dan penghukuman para pelaku atas kekerasan seksual di Indonesia. Menyusul kemarahan publik yang dipicu pemerkosaan dan pembunuhan YY, Presiden Joko Widodo memberlakukan hukuman baru yang lebih keras terhadap pelaku kekerasan seksual, termasuk pengebirian atau bahkan hukuman mati untuk kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Dalam sebuah wawancara, Presiden mengatakan "pengebirian, jika diberlakukan secara konsisten, akan mengurangi kejahatan seksual dan menghapusnya seiring waktu."
Namun para aktivis mengatakan langkah itu tidak manusiawi, reaktif dan tidak mengatasi perilaku meluas yang melegitimasi pemerkosaan.
"Kami tidak mendukungnya karena kami percaya pada hak asasi manusia. Dan ini tidak akan membantu. Bahkan dengan kerangka kerja hukum sebelumnya, sangat sedikit pemerkosa yang menerima hukuman maksimal," ujar Tunggal Pawestri, aktivis hak perempuan di Jakarta.
"[Hukuman reaktif] bukan jawaban, kita harus memikirkan bagaimana menanggulangi isu-isu ini dengan memberi lebih banyak edukasi -- pendidikan seksual dan sosial agar laki-laki belajar menghargai perempuan."
Tradisi Indonesia Merugikan Perempuan
Dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkat, tanggung jawab atas pemerkosaan seringkali dibebankan pada perempuan. Dalam pandangan banyak orang, adalah tanggung jawab perempuan untuk melindungi "kesuciannya", bukannya agar pria mengekang nafsu seksnya. Dan dalam banyak hubungan dan pernikahan, perempuan diharapkan melayani kebutuhan seksual semau pasangannya.
"Sudah terlalu lama perempuan diperlakukan sebagai barang milik," ujar Tunggal.
Meskipun sejumlah orang telah memiliki pandangan yang lebih progresif, sikap-sikap konservatif menembus semua tingkat masyarakat dan sikap misoginis (membenci perempuan) yang sembrono dapat ditemukan dengan mudah pada pejabat senior dan politisi.
Tahun 2013, seorang kandidat hakim Mahkamah Agung mengatakan kepada komisi parlemen bahwa para korban kekerasan seksual menikmati diperkosa. Mengomentari sebuah kasus pemerkosaan tahun 2014, Gubernur Jakarta saat itu, Fauzi Bowo, mengatakan perempuan yang naik angkutan umum harus berpakaian tertutup untuk menghindari "konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan."
Sampai 2004, pemerkosaan dikategorikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai "kejahatan asusila", yang berarti bahwa di banyak kasus, hakim lebih tertarik kepada "moralitas" korban perempuan, bukannya apakah telah terjadi pemerkosaan atau tidak. Aturan tersebut juga tidak memberikan perlindungan terhadap pemerkosaan dalam perkawinan.
Sejak 2004, perempuan telah dilindungi undang-undang anti-kekerasan dalam rumah tangga, namun para aktivis mengatakan banyak yang tidak tahu mengenai hal ini.
Pelecehan Seksual Marak
Saat ini, hampir belum ada perlindungan hukum melawan pelecehan seksual yang dihadapi perempuan setiap hari.
Bagi Aditya, seorang profesional muda yang setiap hari pulang pergi Tangerang-Jakarta untuk bekerja, pelecehan seksual adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Di angkutan umum yang padat, meraba perempuan adalah sesuatu yang biasa, dan memanggil-manggil perempuan dengan konotasi seksual atau 'catcalling' adalah peristiwa sehari-hari.
Untuk membantu menuntut kejahatan seksual, parlemen sedang membuat rancangan undang-undang anti-kekerasan seksual, yang akan mengkodifikasi pelanggaran dari pelecehan seksual sampai pemaksaan aborsi dan penyiksaan seksual.
RUU ini akan menjadi langkah positif, namun para aktivis mengatakan perlu jauh lebih banyak upaya untuk memberdayakan perempuan di akar rumput.
Olin Monteiro, pekerja film feminis dan pendiri Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), telah membentuk banyak grup di seluruh Indonesia untuk memfasilitasi pelatihan mengenai hak-hak perempuan.
Menurut Olin, sebagian besar perempuan di daerah pedesaan tidak paham dengan terminologi feminis, namun banyak dari mereka menghadapi bentuk penindasan yang sama. Ia juga telah bertemu dengan para penyintas pemerkosaan dengan kisah serupa dari seluruh Indonesia.
"Begitu banyak perempuan dewasa yang diperkosa [di Indonesia]," ujarnya. "Sekarang semua orang kaget dengan kasus YY, padahal hal itu terjadi pada banyak perempuan." [hd]