Puluhan relawan difabel dari Gerakan Mandiri (GEMA) Difabel Mamuju, Sulawesi Barat setiap hari mendatangi tenda-tenda pengungsian di Mamuju untuk memberi bantuan langsung kepada para penyandang disabilitas yang menjadi korban gempa bumi beberapa pekan lalu.
Syafar Malolo, 33 tahun, Ketua GEMA Difabel Mamuju mengatakan bahwa para penyandang disabilitas fisik kesulitan mengambil bantuan logistik yang letaknya bisa berada di tempat yang jauh dari tenda mereka. Belum lagi mereka harus berdesak-desakan dengan para pengungsi non-difabel saat mengambil bantuan. Akibatnya, banyak para pengungsi difabel yang memilih berdiam di tenda pengungsian.
“Jadi kami itu dari tenda ke tenda memberikan bantuannya langsung karena untuk mengakses pusat bantuan yang kemarin berada di pendopo rumah wakil bupati itu susah, sedangkan yang non-difabel sampai berdesak-desakan. Apalagi teman-teman yang difabel,” kata Syafar kepada VOA, Rabu (3/2).
Gema Difabel memiliki 20 anggota relawan yang 80 persen di antaranya adalah penyandang disabilitas fisik.
Pada awalnya, GEMA Difabel menyalurkan bantuan bagi sekitar 60 orang sesuai data yang dimiliki organisasi itu. Namun, jumlah itu membengkak menjadi 155 orang karena mereka menemukan lebih banyak penyandang disabilitas di berbagai lokasi pengungsian yang belum terdata.
“Kami juga kaget datanya seperti itu dan ini belum masuk Majene,” ujar Syafar.
Selain menyalurkan bantuan bahan makan, mereka juga memberikan bantuan alat bantu sesuai kebutuhan para penyintas, seperti kursi roda dan penyanggah tubuh. Para penerima manfaat mulai dari anak berusia satu tahun hingga usia lanjut.
Aswin penyandang disabilitas fisik mengatakan kepada VOA bahwa beberapa hari pertama pascagempa dia tidak bisa mengantre saat ada pembagian bantuan, sehingga dia mengandalkan bantuan dari keluarganya.
“Dengan kondisi begini kan susah juga pergi ambil bantuan kayak begitu,” ujar pria berusia 22 tahun, warga Dusun Lengke, Kelurahan Bebanga. Kini Aswin ikut membantu distribusi logistik bagi penyandang disabilitas lainnya yang terdampak bencana.
Toilet Ramah Difabel
Hari Kurniawan dari Tim Relawan Inklusi (TRK) Jawa Timur mengungkapkan sekitar 90 persen lokasi pengungsian di Mamuju belum punya toilet yang ramah bagi para penyandang disabilitas.
“Bahkan banyak wilayah itu tidak punya MCK (Mandi, Cuci, Kakus) di pengungsian itu sehingga seperti di Kelurahan Rangas harus ke sungai dan itu jaraknya dari posko pengungsian jauh harus jalan kaki,” kata Hari Kurniawan, 42 tahun, yang juga seorang penyandang disabilitas.
Persyaratan untuk toilet ramah bagi penyandang disabilitas, antara lain harus berada di tempat yang mudah dijangkau; memiliki ruang yang cukup untuk masuk dan keluar bagi pengguna kursi roda; ketinggian tempat duduk kloset sekitar 40-45 cm; dan penggunaan material yang tidak licin.
Benahi Pelayanan
Juru Bicara Satgas Bencana Gempa Bumi Sulawesi Barat, M Natsir, berjanji akan membenahi pelayanan bagi para kelompok rentan, termasuk untuk penyandang disabilitas.
“Hal-hal yang perlu dibenahi termasuk masalah aspek sosialnya, yaitu tentang keberadaan warga kita di pengungsian terutamanya untuk orang tua jompo, manula, disabilitas, dan anak-anak itu akan lebih diprioritaskan di dalam penanganan di dalam penanganan selama masa transisi ini,” jelas M Natsir, Jumat (5/1/2021) pagi.
BACA JUGA: Gempa Sulbar: Sarana Sanitasi Terbatas, Para Pengungsi Kesulitan AirNatsir mengatakan status keadaan tanggap darurat bencana gempa bumi di Kabupaten Majene dan Mamuju telah berakhir pada 4 Februari dan dilanjutkan dengan masa pemulihan ke transisi yang berlangsung selama 60 hari ke depan.
Data Pusdalops BNPB per 3 Februari 2021 pukul 22.00 WIB menunjukkan total jumlah pengungsi mencapai 70.385 yang tersebar di lokasi-lokasi pengungsian di Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, dan Polewali Mandar. Sekitar hampir 58 persen atau lebih dari 40 ribu pengungsi berada di Kabupaten Mamuju, [yl/ft]