Gerindra Tawarkan Koalisi Bagi Partai Pendukung Jokowi

Para pendukung PDI Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerindra mengibarkan spanduk bendera partai, saat Megawati dan Prabowo Subianto mendaftar sebagai capres/cawapres ke KPU pada pemilu 2009, 16 Mei 2009. (Foto:dok)

Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon menawarkan kepada partai pendukung Joko Widodo yang tidak cocok dengan nama-nama calon wakil presiden Jokowi, agar bergabung dengan partai koalisi pendukung Prabowo Subianto.

Pembahasan seputar calon wakil presiden (cawapres) dari 2 tokoh bakal calon presiden (capres) dalam Pemilihan Presiden 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, terus bergulir dari masing-masing partai politik (parpol) pendukung kedua tokoh itu.

Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon di gedung DPR Jakarta, Senin (23/4), menawarkan kepada parpol pendukung Jokowi, yang sekiranya tidak cocok dengan nama-nama cawapres Jokowi, agar bergabung dengan partai koalisi pendukung Prabowo Subianto. Gerindra, lanjut Fadli, akan menerima dengan tangan terbuka.

“Ya pasti, kan, kalau belajar dari pengalaman 2014 partai-partai itu dinamis. Artinya kalau mereka merasa tidak cocok dengan pak Jokowi, atau pilihan wakilnya tidak cocok dan mereka ingin bergabung dengan kami, tentu (kami) dengan tangan terbuka. Tidak ada masalah,” kata Fadli Zon.

Fadli Zon menilai koalisi pendukung Joko Widodo justru akan menghadapi persoalan jauh lebih berat dalam menentukan nama cawapres.

“Pasti, saya kira mereka akan menghadapi persoalan yang sama bahkan jauh lebih berat. Kalau kami kan jauh lebih simple. Di sana jauh lebih berat. Siapapun yang dipilih (cawapresnya), belum tentu yang lain bisa menerima,” ujarnya.

Baca: Terima Mandat Gerindra, Prabowo Subianto Maju Sebagai Capres 2019

Sementara itu Fadli Zon mengemukakan, konflik internal di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait nama cawapres pendamping Prabowo dari PKS yang akan diusung dalam Pemilu Presiden 2019 merupakan bagian dari dinamika politik.

“Nanti pada waktunya akan mengerucut, duduk bersama ada musyawarah, ada mufakat. Saya kira prosesnya masih panjang. Jadi kalau misalnya proses (yang sedang berjalan) mau (langsung) dinilai, ya itu salah. Itu kan bukan kesimpulan akhir. Kesimpulan akhir itu nanti dalam selembar kertas yang diajukan bersama ke KPU,” kata dia.

Sebelumnya pada Sabtu (21/4) sejumlah orang mengatasnamakan kelompok Anis Matta Pemimpin Muda (AMPM) mendeklarasikan dukungan kepada mantan presiden PKS tersebut pada Pilpres 2019. Anis Matta masuk bursa 9 capres/cawapres PKS yang kini masih digodok Majelis Syuro. Acara tersebut kemudian mendapat tentangan dari DPP PKS yang mengeluarkan perintah kepada kadernya untuk tidak menghadiri acara tersebut.

Menurut Fadli, apa yang terjadi di partai PKS itu merupakan hal biasa, dan bukan merupakan konflik.

“Ya, karena proses internal di masing-masing partai harus kita hargai. Begitu ya. Kayak Gerindra sendiri kan punya proses internal. Tidak bisa ujug-ujug menyatakan pak Prabowo (capres). Ada prosesnya yaitu melalui Rakornas, baru kemudian Rapimnas. Jadi tidak bisa ujug-ujug lah gitu,” kata Fadli Zon.

Terkait dinamika dari masing-masing partai pendukung bakal calon Presiden Pilpres 2019, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago kepada VOA mengatakan, parpol pendukung capres sebenarnya lebih berpikir untuk elektabilitas partai pada tahun 2019 dan 2024.

"Kita memahami logika partai politik hari ini yang memaksakan untuk menjadi cawapres dalam rangka menyelamatkan elektabilitas partai. Jadi, tidak hanya cerita (Jokowi) harus menang, tapi partai (pendukung) harus selamat dulu. Sehingga mereka harus punya figur dan harus ada tokoh sentral. Jadi harus jauh berpikir bagaimana 2024 saat Jokowi sudah tidak ada," kata Pangi Syarwi Chaniago.

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kiri), sebagai capres Partai Gerindra dalam kampanye pilpres 2014, 23 Maret 2014.

Berbeda dengan Fadli Zon, Peneliti Senior Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Rahadi T Wiratama, memastikan kubu Prabowo mengalami kesulitan lebih besar dalam menentukan cawapres pendamping Prabowo Subianto. Hal ini menurutnya akibat elektabilitas Prabowo semakin merosot.

“Nah, bedanya dengan Jokowi, karena problem elektabilitas Prabowo jauh di bawah Jokowi, adalah kesulitan dalam memilih. Saya kira kubu Prabowo agak kesulitan dalam memformulasi siapa yang menjadi wakil Prabowo di 2019,” kata Rahadi.

Jokowi – Prabowo – Poros Tengah

Seperti diketahui lima partai politik sudah mendeklarasikan secara resmi dukungan ke Jokowi, yakni PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura.

Jika ditotal, koalisi Jokowi adalah yang paling gemuk dengan mengantongi 290 kursi atau 51,77 persen. Jumlah itu sudah jauh lebih cukup dari syarat ambang batas dukungan 20 persen kursi DPR yang ditentukan dalam Undang-Undang Pemilu.

Poros kedua yakni Partai Gerindra dan PKS yang resmi mendukung Prabowo Subianto. Saat ini Partai Gerindra memiliki 73 kursi dan PKS memiliki 40 kursi di parlemen. Dengan total 113 kursi, maka Prabowo telah mengantongi 20,17 persen atau memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden.

Poros ketiga kemungkinan terdiri dari Partai Demokrat, PKB, dan PAN. Dua partai yang disebut terakhir sebenarnya saat ini adalah pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. PKB yang mendukung Jokowi-JK sejak Pilpres 2014 memiliki tiga kader di kabinet kerja. Sementara PAN yang bergabung belakangan punya satu kader di kabinet. Namun, kedua parpol ini sama-sama belum mendeklarasikan dukungan ke Jokowi untuk Pilpres 2019. Bahkan, PAN kerap kali mengambil kebijakan yang berseberangan dengan pemerintah.

Sementara itu, Partai Demokrat sejak awal pemerintahan Jokowi-JK menempatkan diri sebagai partai penyeimbang. Belakangan, partai ini gencar menjagokan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai capres 2019. Apabila digabungkan, ketiga partai ini memiliki 27,85 persen kursi di DPR.

Your browser doesn’t support HTML5

Gerindra Tawarkan Koalisi Bagi Partai Pendukung Jokowi