Perwakilan pengurus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bona Sigalingging, menilai Pemerintah Kota Bogor mengabaikan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang mensahkan izin pembangunan rumah ibadah tersebut. Alih-alih melanjutkan pembangunan, Pemkot Bogor malah menawarkan lahan baru untuk GKI Yasmin di lokasi yang tidak jauh dari tempat gedung gereja yang telah didirikan. Penawaran relokasi itu tertuang dalam surat Wali Kota Bogor Bima Arya pada 31 Maret 2021.
“Ini menunjukkan tidak konsistennya Pemkot Bogor di dalam semua janji dan upaya yang hendak dilakukan, untuk memastikan bahwa diskriminasi terhadpa jemaat GKI Yasmin bisa dihapuskan,” ujar Bona Sigalingging.
“Karena ternyata, alih-alih untuk fokus pada pembukaan segel ilegal tersebut, dia malah mengajukan tawaran lahan baru. Ini menimbulkan kekisruhan, kesimpangsiuran, dan yang kedua secara nyata terjadi adalah tindakan Negara, dalam hal ini Bima Arya, Pemkot Bogor, masuk terlau jauh kepada institusi gereja dan jemaat gereja,” tambahnya.
Kasus tersebut bermula dari dicabutnya izin mendirikan bangunan (IMB) GKI Yasmin oleh Pemkot Bogor secara sepihak pada 2011. Namun PK MA menyatakan izin pembangunan tersebut sah.
Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group (HRWG) menyebut penawaran relokasi itu merupakan bagian dari permainan politik penguasa yang tidak ingin masalah terkait hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan di Bogor segera selesai.
“Ini main-main, ada unsur-unsur pejabat politik, baik itu di kalangan eksekutif maupun di kalangan partai politik, yang bermain-main dengan persoalan pemulihan ini. Bahkan berupaya melakukan upaya pecah belah terhadap umat, sehingga seolah-olah bisa mengatakan, lho umatnya sudah setuju kok untuk dipindahkan,” katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Turun Tangan Pemerintah Pusat
Muhamad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengingatkan janji pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, untuk memprioritaskan masalah kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Isnur mendesak pemerintah tidak lepas tangan dengan mengembalikan penyelesaian masalah kepada pemerintah daerah yang terbukti tidak mampu menyelesaikannya.
“Kita kan sebenarnya menagih janji bahwa Presiden dengan segala visi misinya mengutamakan toleransi, bahkan dalam Nawacitanya mengangkat problematika pelanggaran KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan), tetapi sampai sekarang belum juga terpenuhi janjinya,” katanya.
Maka itu, lanjutnya, pihak-pihak terkait, seperti Presiden, Kemendagri, dan Kementerian Agama, diimbau untuk turun tangan. Mereka diharapkan tidak kembali menyerahkan persoalan ini kepada Wali Kota Bogor.
BACA JUGA: Anak-Anak GKI Yasmin 11 Tahun Tumbuh dalam DiskriminasiWakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan upaya penyelesaian kasus GKI Yasmin masih jauh dari harapan. Sebagai negara hukum, Bonar berharap Indonesia mampu menyelesaikan masalah GKI Yasmin yang sudah berlangsung hampir 15 tahun, bukan hanya berhenti pada retorika maupun jargon semata,
“Hampir tidak ada upaya yang serius untuk mencari penyelesaian, tapi retorika terus melalui pidato-pidato bahwa pro-prulalisme, pro-kebebasan beragama, moderasi beragama, terus dicanangkan, tapi dalam realita, dalam implementasi masih jauh dari harapan,” katanya.
Ia berharap kasus ini bisa diselesaikan pada tahun ini berdasarkan konstitusi.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mendesak semua pihak terkait khususnya pemerintah pusat untuk mengambil langkah-langkah mempercepat penyelesaian masalah GKI Yasmin. Beka juga meminta Pemkot Bogor mempertimbangkan semua aspek hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Selain itu, Kepolisian juga diminta terlibat aktif untuk melihat adanya indikasi tindakan melawan hukum terkait kasus ini.
Bona menambahkan agar Presiden selaku kepala negara dan pemerintahan, memastikan kepala daerah tunduk pada keputusan hukum yang ada di Indonesia, dengan mematuhi putusan Mahkamah Agung dalam kasus GKI Yasmin. [pr/ah]