Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta hari Senin (22 Nov) meresmikan dimulainya pembangunan shelter atau hunian sementara bagi korban letusan gunung Merapi yang rumahnya telah hancur diterjang awan panas dan material vulkanik lainnya.
Pembangunan hunian sementara untuk tahap pertama berjumlah 300 unit, semuanya merupakan sumbangan dari Posko Kemanusiaan Jenggala. Karena itu, Sultan mengajak para pengusaha serta masyarakat luas untuk turut membantu pembangunan shelter ini. Total shelter yang akan dibangun mencapai 2.526 unit.
Tiap unit shelter dibangun dengan harga antara enam hingga tujuh juta rupiah, dengan luas bangunan 36 meter persegi, lantai semen, dinding bambu, tiang utama bambu dan atap seng. Tiap unit terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dilengkapi dengan sarana Mandi Cuci Kakus dan enam titik lampu. Menurut Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengbuwono X, shelter ini dibangun secepatnya agar pengungsi bisa segera meninggalkan tempat-tempat pengungsian dan menata kembali kehidupannya.
“Tigaratus tahap pertama ini akan diselesaikan dalam waktu tiga minggu sampai satu bulan. Tapi tidak bisa kita pasang di 12 kilometer karena belum boleh naik, karena batasnya 15 kilometer. Jadi mereka kita tumpuk di workshop ini dulu potongannya, begitu dinyatakan aman, tinggal diangkut pakai truk lalu dipasang,” ungkap Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Ketua Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Syamsul Maarif mengingatkan, pembangunan hunian sementara bagi korban letusan Merapi ini jangan sampai mengurangi kewaspadaan semua pihak terhadap kondisi Merapi yang masih berbahaya. Bahkan hari Senin dinihari, Merapi masih mengeluarkan awan panas meski jarak luncurnya masih dalam zona aman.
“Kepada masyarakat DIY khususnya, dan seluruh masyarakat yang berada di sekitar Merapi bahwa kita masih menghadapi status Merapi yang “awas”. Ini supaya kita tidak terlena bahwa kita seolah-olah melupakan beberapa tingkat kewaspadaan yang itu jelas merupakan prasyarat utama bagi suksesnya tanggap darurat kali ini,” kata Syamsul Maarif.
Sementara itu Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta akan membangun 87 unit rumah hunian sementara untuk para korban letusan Gunung Merapi di daerah Purwomartani, Sleman.
Ikaputra, seorang Arsitek UGM mengatakan, rumah hunian sementara menjadi solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan tempat tinggal selama masa aktivitas Gunung Merapi belum berakhir.
“Kalau kita bicara hunian itu bukan hanya bentuk rumah tetapi kawasan mukim yang harus lengkap dengan komponen-komponen selain hunian dan kebutuhan sosial interaksi ada yang kita sebut lahan budidaya usaha dari ketika ada pada hunian antara ini pengungsi harus mempunyai kegiatan. Misalnya peternakan, kandang sapi perah dan juga perikanan,” jelas Ikaputra.
Bupati Sleman Sri Purnomo mengharapkan, kawasan hunian sementara ini harus tetap memelihara kualitas lingkungan hidup dan sosial penghuninya.
“Kami menghendaki masyarakat yang berada di shelter itu standar kesehatan terpenuhi, standar privasinya terjaga karena masing-masing pendonor punya kriteria yang dianggap paling baik, jangan sampai nanti timbul kesenjangan,” kata Sri Purnomo.
Bupati Sleman juga memerintahkan supaya tanaman-tanaman yang ada di wilayah yang ditempati itu dipertahankan sehingga tingkat penghijauan di wilayah itu tetap terjaga.