Dua guru sekolah menengah dari pedalaman Indonesia penerima Fulbright Distinguished Awards in Teaching Program – yakni beasiswa untuk belajar dan mengajar di AS dari Departemen Luar Negeri AS yang di Indonesia dikelola oleh AMINEF - mengaku bagaimana partisipasi dalam program tersebut telah mengubah persepsi mereka tentang AS dan bagaimana interaksi dengan dosen dan mahasiswa di kampus, serta dengan peserta didik di sekolah-sekolah telah membuat mereka kagum dengan sistem pendidikan Amerika.
Pemerintah Amerika, melalui Departemen Luar Negeri dan di Indonesia dikelola oleh AMINEF (American-Indonesian Exchange Foundation), memberikan beasiswa Fulbright kepada para calon terpilih dari seluruh dunia untuk menempuh studi dan penelitian di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di negeri Paman Sam. Beasiswa mencakup program gelar untuk tingkat S2 dan S3, serta program non-gelar, termasuk untuk mahasiswa jenjang community college (perguruan tinggi dua tahun), pengajar bahasa asing di universitas AS, dan guru bahasa Inggris.
Beasiswa bagi guru bahasa Inggris, Fulbright Distinguished Awards in Teaching Program, memberikan kesempatan bagi para penerimanya untuk belajar dan melakukan penelitian di universitas terpilih serta melakukan observasi dan mengajar bersama guru tetap di sekolah-sekolah lokal di Amerika selama satu semester. Dua partisipan dari Indonesia untuk program enam bulan yang berakhir pada akhir Desember lalu adalah Lia Jauharotul Afifah, guru bahasa Inggris di Madrasah Aliyah Miftahul Jannah Rejang Lebong, Bengkulu, dan Swarles Yusuf Tandi, guru bahasa Inggris di SMK Negeri 7 Halmahera Barat, Maluku Utara.
Walaupun hanya berlangsung selama enam bulan, Lia mengatakan bahwa program itu sangat padat pembelajaran dan pengalaman.
“Wow! Beasiswa ini saya speechless saking bagusnya karena selain kami bisa belajar di Amerika Serikat kami juga bisa belajar bagaimana sistem pendidikan di sana karena saya sempat melihat rank-nya bahwa Amerika Serikat sekarang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Banyak hal yang bisa kami pelajari,” tutur Lia.
Menurut Lia, program itu juga memberinya kesempatan untuk berdiskusi dengan para peserta dari negara-negara lain. Memang, program ini khusus diperuntukkan bagi para guru dari Bangladesh, Botswana, Brazil, Finlandia, Yunani, India, Indonesia, Israel, Meksiko, Maroko, Selandia Baru, Filipina, Senegal, Singapura, Taiwan, Uganda, dan Inggris. “Kami bertukar pikiran bagaimana sistem pendidikan di negara masing-masing. Jadi, ada beberapa hal yang mungkin bisa kami adaptasi," ujar Lia.
Lia berpendapat bahwa program yang diikutinya di Indiana University of Pennsylvania (IUP) sangat membantu guru-guru “daerah” dalam membantu siswa yang seringkali menghadapi gangguan dalam proses pembelajaran.
“Jujur saja, kami ini bukan guru dari sekolah yang besar. Kami anak daerah. Murid-murid kami itu bahkan tidak termotivasi untuk belajar. Bahkan mereka banyak anak petani yang ketika musim panen mereka nggak ada di kelas karena mereka mesti membantu orang tua memanen. Hal itulah yang kami cari tahu solusinya, dan beruntungnya kami mendapatkan pengetahuan dan juga pengalaman dari sana yang akan menjadi panduan kami untuk menghadapi murid-murid kami di daerah," ungkapnya.
Sementara, Swarles Yusuf Tandi yang pernah mengabdi selama 10 tahun mengajar di Papua sebelum diangkat menjadi guru PNS di Halmahera Barat setuju dengan penilaian Lia tentang program yang diikutinya IUP, yang berkampus di kota kecil Indiana, sekitar satu jam perjalanan mobil dari/ke kota Pittsburgh, Pennsylvania.
“Jadi program ini program yang sangat, sangat bagus. Kenapa? Karena ini kesempatan besar bagi guru-guru, terutama kami yang ada di pelosok. Jujur saja saya katakan bahwa beasiswa yang disiapkan ini tidak dipengaruhi atau tidak ada intervensi dari pemerintah daerah. Artinya bahwa benar-benar murni kemampuan dari guru bersangkutan untuk bisa mengakses atau bisa mendapat kesempatan dalam berpartisipasi dalam beasiswa ini,” kata Swarles.
Swarles mengatakan bahwa selama ini memang sudah ada banyak program yang dijalankan oleh Pemda dan pemerintah pusat, “tetapi intervensi daerah sangat kuat.” Menurutnya, Fulbright Distinguished Awards in Teaching Program juga menanggung semua biaya terkait.
“Guru belajar lebih tanpa harus memusingkan biaya-biaya lain terkait karena (program ini) fully-funded (sepenuhnya didanai) dan biayanya sangat, sangat besar. Jadi sangat, sangat membantu guru-guru untuk belajar tanpa harus memikirkan hal-hal lain yang kadang menjadi kendala teknis selama ini,” tambahnya.
Bingung Diminta Presentasi Kurikulum Indonesia
Kedua partisipan mengaku belajar banyak dari kampus tuan rumah (IUP), dan dari observasi dan presentasi di sekolah-sekolah, serta interaksi dengan para guru dan siswanya. Mereka sangat terkesan dengan kurikulum sebagai dasar dan jangkar semua proses pengajaran dan pembelajaran.
“Dari program sekolahnya, kurikulumnya terutama, karena jujur saja kurikulum kita di Indonesia ini kan berubah-ubah. Saya sama Pak Swarles sempat bingung ketika disuruh mempresentasikan, menjelaskan kurikulum di Indonesia, karena sering berubah. Mohon maaf kita ganti menteri ganti kurikulum. Jadi kita (tidak tahu) yang mana (sebab) kurikulum yang lalu belum sampai ke daerah kurikulum sudah ganti lagi. Jadi kami sedikit kewalahan,” ujar Lia.
Dari pengalaman itu, Lia menyatakan ingin “membuat bagaimana kurikulum itu, walaupun sedikit membingungkan di Indonesia, menjadi menyenangkan karena hal pertama yang sangat menunjang pendidikan, salah satunya adalah kurikulum.”
Guru Tidak Pernah Marah
Lia juga mengatakan hal lain yang dipelajarinya adalah “tentang student behavior (perilaku siswa), dan bagaimana menjadi guru.”
“Kami sangat takjub dengan guru-guru di Amerika bahwa mereka tidak pernah marah sama murid, lain sekali dengan kita di Indonesia, setiap lima menit kita teriak. Tapi di sana mereka nggak pernah marah. Mereka hanya menasihati. Mereka maklum bahwa itu adalah teenagers (remaja belasan tahun) yang tidak perlu kita omelin, tapi harus kita rangkul.”
Swarles mengamini kesan yang disampaikan oleh Lia, termasuk untuk kurikulum di sekolah-sekolah Amerika sangat terstruktur dan mapan dengan konsentrasi pembelajaran bahasa Inggris, seni, matematika, sejarah, geografi, dan sains, dan bagaimana guru juga diberi kebebasan untuk lebih kreatif menyesuaikan kurikulum berdasarkan kebutuhan individu siswa. Selain itu, dia merasa bahwa program-program di kampus sangat bermanfaat dan dia bersemangat akan mengaplikasikannya sebagai sumbangsih bagi peserta didik di sekolahnya.
“Kalau di kampus kami belajar banyak sekali aplikasi atau teknologi yang bisa kami implementasikan di sekolah. Salah satu yang saya bawa pulang itu aplikasi untuk bagaimana memeriksa lembar jawaban komputer tanpa harus menyentuhnya. Jadi kita scanning langsung keluar nilai-nilainya. Mereka (teman-teman) sangat surprised (tercengang). Jadi, kami belajar teknologi-teknologi kecil yang mungkin di luar sana itu bukan sesuatu yang wow, tapi di daerah itu sangat wow,” tukasnya.
Guru Sekolah Menengah Bergelar Doktor
Swarles mengatakan hal lain yang dipelajarinya di Amerika adalah kesempatan bagi guru untuk menempuh studi lanjut sangat terbuka. Memang, menurut data dari Pusat Statistik Pendidikan Nasional, sedikitnya 58% guru sekolah negeri di Amerika memiliki gelar pasca sarjana, yaitu gelar master, spesialis pendidikan, atau doktor.
“Jadi, yang membuat saya kaget itu partner teacher saya itu rata-rata S3. Kalau di Indonesia ini bukan lagi guru, sudah jadi guru besar. Jadi kesempatan yang diberikan kepada guru itu tidak ada batasnya.”
Your browser doesn’t support HTML5
Secara pribadi, dari program ini Swarles mengaku beruntung bisa membuka dan menjalin jaringan dengan orang-orang “di luar sana,” dan bahwa dia merasa dituntut untuk lebih terbuka.
“Jadi kita jangan menutup diri dengan mengatakan oh saya sudah puas dengan pencapaian-pencapaian saya. Jadi, kita dituntut lebih inovatif, lebih kreatif dan lebih membuka diri karena di luar sana, ternyata dibanding negara lain, kita jauh (tertinggal). Bahkan saya bilang kepada teman-teman, 100 tahun ke depan kita tidak bisa mengejar jika cara kita seperti ini terus. Jadi kita harus moving forward (bergerak maju), dan harus lebih cepat lagi,” imbuh Swarles.
Siswa Amerika Belajar Life Skills sejak TK
Lia menegaskan bahwa pendidikan di Amerika sangat terstruktur, benar-benar dengan perencanaan mulai TK sampai kelas 12.
“Kami diberitahu juga oleh salah satu psikolog yang mengisi kelas kami, Fulbright seminar, bahwa anak-anak dari TK sampai SD kelas 3 itu diajar life skills (ketrampilan hidup) dulu sebelum akhirnya mereka belajar materi. Jadi dari hal simpel seperti memakai sepatu sampai menge-flush (mengguyur) toilet itu diajarkan semuanya, dan mereka mengajarkan itu bertahap dan terstruktur dan hasilnya sangat luar biasa. Karena itu mungkin simpel maka (di Indonesia) sering kita abaikan. Padahal itu sebenarnya mempengaruhi behavior (perilaku) anak sampai di SMP, SMA, bahkan ke bangku perkuliahan.”
Swarles sependapat dengan Lia bahwa di Amerika para pemangku kepentingan sangat serius dalam menangani pendidikan, tidak main-main.
“Mereka tidak hanya teori tapi benar-benar praktik, seperti bagaimana cara menggunakan toilet itu benar-benar dipraktikkan secara langsung. Jadi teori kita lebih banyak, sementara teori dan praktik mereka itu balanced (seimbang).”
Swarles mengaku kaget ketika di sekolah ada banyak siswa berkebutuhan khusus, dengan diagnosis bermacam-macam.
“Tapi mereka sangat serius untuk menangani mereka, sehingga hasil yang didapatkan juga sangat, sangat luar biasa. Kemudian yang saya perhatikan adalah tidak ada perbedaan antara siswa yang berkebutuhan khusus dan yang biasa, tidak dibedakan, semua disamaratakan baik di dunia pendidikan maupun ketika mereka sudah keluar atau ketika mereka sudah siap untuk bekerja. Jadi semua sama, inklusif dan equal (sejajar).”
Orang Amerika Ternyata Suka Membantu
Mengenai kesan-kesan tentang orang Amerika secara umum, Swarles mengatakan apa yang ada di benaknya sebelum datang di Amerika ternyata sangat berbeda dengan kenyataan.
“Karena kita lebih banyak menonton di film, kita lihat seperti ini bahkan ketika saya pertama kali tiba di sana dan teman-teman menelepon itu pemikiran mereka tetap masih sama, tapi ketika saya lihat secara langsung ternyata sangat berbeda. Yang pertama, ketika saya tiba di Indiana orang-orangnya sangat ramah, ramah, ramah banget. Kemudian ketika kita ada masalah sedikit, misalnya kesulitan, tanpa kita minta mereka malah sigap untuk membantu. Jadi sangat berbeda dengan yang kita lihat di televisi bahwa mereka arogan dan lain sebagainya.”
Lia setuju. Menurutnya, orang Amerika sangat welcome (menyambut baik) dan “sangat, sangat disiplin, dan tepat waktu.”
“Wow! Jadi Amerika Serikat itu menghancurkan perspektif saya tentang dunia barat sejujurnya karena banyak sekali hal-hal negatif yang diceritakan tentang Amerika seperti mereka Islamofobia, kemudian ada Asian hate (kebencian terhadap orang Asia), dan sebagainya. Jujur saja pertama kali saya datang saya takut karena saya berhijab. Jadi, saya takut orang-orang itu akan nge-judge (menghakimi), kayak ‘eh ini berhijab, ini teroris dan lain sebagainya. But, once I got there (tapi begitu saya sampai di sana), mereka sangat ramah.”
Lia mengatakan, mereka akan mengingatkan kita seperti ‘Oh maaf, Anda tidak boleh lewat sini (menyeberang jalan tidak di tempatnya). Dia memberikan contoh tentang seorang teman dari India yang menyeberang jalan tidak pada tempatnya dan diingatkan. “Pak, maaf, jangan menyeberang di situ. Kalau Anda ketabrak, polisi akan menyalahkan Anda bukan menyalahkan yang menabrak. Silakan lewat sana (tempat penyeberangan).”
Lia menceritakan pernah mendapat panggilan telepon dari seorang sahabat di tanah air.
“Bahkan ada satu teman saya nanya lucu banget. Begini katanya. ‘di Amerika itu kayaknya nggak ada aturan ya?’ (Saya jawab) What? (Justru) kita nih yang nggak ada aturan. Di Amerika orang-orangnya disiplin banget. Bahkan mereka itu melakukan hal-hal seperti ngasih jalan (dengan menghentikan kendaraan) buat kita nyeberang. Hal sepele, tapi semua orang itu disiplin.”
Menutup pembicaraan dengan VOA, Lia menegaskan, “Intinya program ini sangat membantu dan men-support keberadaan guru di seluruh dunia. Sementara Swarles menyatakan, “program FDAI ini telah mengubah saya menjadi lebih semangat dan lebih kreatif dalam mengajar,” pungkasnya. [lt/ab]