Hampir 800 ribu anak di Indonesia diperkirakan belum diimunisasi DPT atau bagian dari imunisasi dasar pada tahun 2020 karena kekhawatiran orang tua membawa anak mereka ke posyandu seiring terus meluasnya pandemi virus corona. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat kemunduran imunisasi tertinggi di dunia dan menurut WHO terlalu banyak yang dipertaruhkan jika hal ini dibiarkan berlanjut.
“Livia sekarang sudah delapan bulan, harusnya dia sudah dapat DPT-3 ketika berumur enam bulan, tapi ini sudah terlambat. Cuma gara-gara pandemi ini saya tidak berani bawa dia ke Puskesmas, karena takut, was-was. Alhamdulillah sudah dapat BCG, DPT-1 dan DPT-2. Tapi yang DPT-3 belum soalnya pandemi sedang gencar-gencarnya virus corona ini di Indonesia khan jadi saya takut datang ke Puskesmas.”
Demikian Lea Mayriani, ibu dua anak berusia 35 tahun yang tinggal di Tomang, Jakarta Barat, dan memilih tidak membawa bayinya ke posyandu untuk diimunisasi karena khawatir tertular virus corona.
Lea tidak sendiri. Dian Daniati, penggiat di Pos Perempuan, Mamuju, Sulawesi Barat, mengatakan pada VOA bagaimana sepanjang tahun 2021 ini sangat jarang ibu yang memeriksakan kesehatan dirinya dan anak-anak mereka di puskesmas atau posyandu.
“Ini menjadi kekhawatiran yang sangat dahsyat karena di posyandu sekarang sudah jarang balita dibawa vaksinasi. Yang kami khawatirkan terjadinya polio dan vaksin lain yang dibutuhkan dan terganggu. Ini akan jadi bom waktu yang nantinya akan sulit diatasi,” ujar Dian.
BACA JUGA: 351 Ribu Anak di Indonesia Terpapar COVID-19Laporan terbaru yang dikeluarkan UNICEF pekan lalu menunjukkan pada tahun 2020 saja ada 23 juta anak di seluruh dunia yang tidak mendapat imunisasi dasar yang rutin, suatu kemunduran sangat besar sejak tahun 2009. Dari daftar yang dikeluarkan oleh UNICEF itu, Indonesia berada di urutan ketiga – setelah India dan Pakistan – negara dengan jumlah anak terbesar yang tidak diimunisasi dasar.
Imunisasi dasar bagi balita antara lain : Hepatitis B, BCG, polio, DPT dan campak. Imunisasi dasar ini penting untuk mencegah berbagai penyakit berbahaya seperti TBC, campak, pneumonia, kegagalan fungsi hati dan kanker hati, lumpuh layu, difteri, pertusis, tetanus, Hepatitis B dan meningitis – ini semua penyakit-penyakit berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi dasar.
Laporan UNICEF itu juga menunjukkan bahwa sejak pandemi merebak Maret 2020 lalu, ada sekitar 17 juta anak yang bahkan tidak mendapat imunisasi sama sekali. Sebagian anak-anak ini tinggal di pemukiman yang dilanda perebakan COVID-19 sangat parah, daerah terdampak bencana dan konflik, dan daerah kumuh yang memiliki keterbatasan akses pada layanan kesehatan dasar.
Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, “Ketika negara-negara berebut untuk mendapatkan vaksin COVID-19, kita mengalami kemunduran dalam imunisasi, membuat anak-anak berisiko terpapar penyakit sangat buruk yang sebenarnya dapat dicegah, seperti campak, polio atau meningitis. Sebagian wabah penyakit ini akan menjadi bencana besar bagi masyarakat dan sistem kesehatan yang sekarang ini berjuang keras melawan COVID-19, sehingga jauh lebih mendesak dibanding sebelumnya untuk berinvestasi dalam imunisasi anak-anak dan memastikan kita dapat menjangkau setiap anak.”
Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore dalam pernyataan tertulis 15 Juli lalu mengatakan “bukti-bukti soal banyaknya anak yang tidak mendapatkan imunisasi seharusnya menjadi peringatan jelas bahwa pandemi COVID-19 dan gangguan yang menyertainya telah membuat kita kehilangan banyak hal berharga, dan konsekuensinya akan ditanggung oleh mereka yang kehidupan dan kesejahterannya paling rentan.”
Ditambahkannya, “Bahkan sebelum pandemi ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan bahwa kita mulai kalah dalam upaya imunisasi anak-anak agar terhindar dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, termasuk wabah campak yang sangat luas dua tahun lalu. Pandemi ini membuat situasinya semakin parah.”
Kemenkes: 83,9% Layanan Imunisasi Anak Terhenti Akibat Pandemi
Kementerian Kesehatan Indonesia akhir April lalu melaporkan setidaknya 83,9% pelayanan kesehatan terkait imunisasi anak di Indonesia terhenti akibat perebakan luas pandemi virus corona. Padahal selain puskesmas, Indonesia memiliki posyandu yang dikelola masyarakat bersama aparat pemerintah desa atau kelurahan untuk memudahkan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan, layanan keluarga berencana, layanan gizi dan imunisasi, serta upaya identifikasi masalah kesehatan di tingkat paling lokal. Namun, sebagaimana Lea Mayriani di Jakarta tadi, banyak ibu yang khawatir balita mereka terpapar COVID-19 ketika datang ke posyandu atau puskesmas karena layanan
Dian Daniati di Pos Perempuan Mamuju, Sulawesi Barat, mengatakan banyak penggiat isu kesehatan ibu hamil dan menyusui serta balita berupaya “menjemput bola” dengan mendatangi langsung rumah warga yang diketahui memiliki balita dan belum divaksinasi, tapi hal ini terhambat dengan pembatasan sosial yang diberlakukan, dan juga kekhawatiran para ibu akan potensi penularan virus ketika bayinya didatangi orang asing.
“Kami bisa datangi rumah-rumah tapi khan dibatasi protokol COVID-19, belum jika ada anggota keluarga yang sedang isoman, juga ibu-ibu yang takut anaknya tertular. Jadi memang perlu ada strategi lain karena kita berhadapan dengan ibu-ibu di kampung jarang dapat informasi sehingga seringkali mereka khawatir,” imbuhnya.
Tetapi Lea Mayriani yang tinggal di Jakarta pun merasakan hal yang sama.
“Kayaknya kalau sekarang ini jangan dulu lah. Soalnya kita khan juga gak tahu yang datang itu habis dari mana, apakah dia juga tidak membawa virus. Sebelum COVID-19 berakhir, saya masih ragu," katanya.
BACA JUGA: Pandemi COVID-19 Pengaruhi Capaian Temuan Pneumonia pada Balita[Apakah tidak khawatir jika bayinya tertinggal imunisasi nanti berdampak buruk ke depan?]
"Ya khawatir tapi mau bagaimana lagi. Daripada tertular virus. Lagian gak mungkin juga petugas kesehatan datang ke rumah, orang sekarang rame-rame aja langsung diusirin sama Pak RT. Saya sedih tapi mau bagaimana lagi?,” keluhnya.
WHO mengingatkan agar setiap negara tetap menjalankan dan mengejar cakupan imuniasi penyakit bukan COVID-19 untuk meminimalisir penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin, komplikasi berat atau kematian. [em/jm]