Hari Pekerja Rumah Tangga 15 Februari, Ingatkan Urgensi Pengesahan RUU PPRT

  • Yudha Satriawan

Pekerja Rumah Tangga (PRT) menggelar aksi menyuarakan aspirasi mereka di Yogyakarta. (Foto:VOA/ dok)

Tak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga PPRT membuat pekerja rumah tangga (RUU PRT) menjadi satu-satunya kelompok pekerja tanpa perlindungan hukum.

Upah rendah di bawah standar upah minimum gegional (UMR), beban dan jam kerja yang melebihi batas, hingga perlakuan diskriminatif dan tidak manusiawi adalah sepenggal kisah yang kerap dialami pekerja rumah tangga (PRT) di sejumlah daerah. Hal tersebut terkuah saat diskusi daring dan sekaligus kampaye di tujuh kota mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga PPRT membuat pekerja rumah tangga (RUU PRT) pada Jumat (11/2).

Salah seorang PRT di Tangerang Selatan, Dewi Korawati, menyampaikan pengalamannya menjalani pekerjaan ini selama bertahun-tahun.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah profesi yang berada dalam posisi rentan, terutama di Indonesia. (Foto: REUTERS/Zainal Abd Halim)

"Selalu disuruh terus padahal pekerjaan belum selesai. Lagi mencuci, belum selesai sudah disuruh belanja, baru belanja disuruh masak, mengepel, menyapu, menjaga bayi atau anak. Serba salah pokoknya. Pengalaman saya sebagai PRT, gaji kecil, tidak ada libur, tidak ada jamsostek, jaminan kesehatan atau jaminan ketenagakerjaan. Sering juga saya mengalami diskriminasi dan kekerasan,” ungkap Dewi.

Your browser doesn’t support HTML5

Hari Pekerja Rumah Tangga 15 Februari, Ingatkan Urgensi Pengesahan RUU PPRT

Data pemerintah mencatat ada lebih dari lima juta PRT di Indonesia dengan beragam pekerjaan dan jam kerja yang tidak teratur, sebagian ada yang tinggal bersama di rumah pemberi kerja, tidak sedikit pula yang pulang hari atau bekerja dari pagi hingga petang dan pulang ke rumah mereka sendiri.

Bekerja Berdasarkan Kepercayaan, Tanpa Kontrak Kerja

Lain lagi dengan Sumarni, yang belasan tahun bekerja sebagai PRT demi menghidupi keluarga. Ibu dua anak ini tidak pernah punya kontrak kerja, kerap berganti majikan dengan upah seadanya.

"Saya kerja serabutan di sebuah keluarga. Upahnya rendah, hanya cukup buat makan keluarga. Saya juga sering gonta- ganti majikan. Tak ada kontrak kerja. Ya kalau mau bekerja ya seperti ini, upahnya tidak seberapa,” ujar Sumarni.

BACA JUGA: DPR Didesak Segera Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Lebih lanjut Sumarni mengungkapkan jika sakit, dirinya berobat dengan biaya sendiri tanpa ada jaminan sosial kesehatan.

Dalam diskusi serentak di tujuh kota ini, tidak sedikit PRT yang menceritakan tentang stigma dan perlakuan diskriminatif yang mereka alami. Pegiat perlindungan perempuan dari RUMPUN Gema Perempuan, Aida Milasari, mencontohkan adanya perbedaan alat makan dan kelayakan kamar bagi PRT.

"Makannya tidak sama dengan keluarga dia bekerja. Piring, sendok, dan gelas atau alat makan dibedakan. Memang kenapa harus seperti itu, PRT kan juga manusia, human being, tidak boleh dibeda-bedakan perlakuannya. Banyak juga PRT yang dapat kamar tidur tapi ternyata tidak ada tempat tidurnya, beralas tikar dengan atap kamar bocor/ rusak. Kan ini bisa membuat PRT mudah sakit,” ungkap Aida.

Salah seorang warga yang selama lebih dari 20 tahun menggunakan jasa PRT, Maria Widyastuti menyampaikan bagaimana keterbukaan menjadi kunci penting mempekerjakan PRT yang kerap sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.

Aksi demo Pekerja Rumah Tangga di Yogyakarta menuntut disahkannya RUU PRT oleh DPR. (VOA/Nurhadi Sucahyo)

"Selama puluhan tahun di rumah saya ada PRT tidak memperlakukannya seperti itu. Saya memanggilnya dengan sebutan Mpok. Kamar saya sediakan yang layak, makan minum sama seperti anggota keluarga yang lain. Liburnya setiap hari Minggu dan saya daftarkan BPJS Kesehatan yang per bulan iuran Rp 100 ribu, masih terjangkau lah", jelas Maria.

PRT Bentuk Serikat

Dewi Korawati, PRT di Tangerang Selatan memaparkan pentingya membentuk serikat PRT untuk memberi informasi, meningkatkan ketrampilan hingga saling melindungi lewat literasi hukum terkait kekerasan. Dari kelompok kecil beranggotakan 8 PRT di wilayahnya, jelas Dewi, kini anggotanya mencapai sekitar 130 orang. Namun selama pandemi, kegiatan itu banyak dihentikan sementara.

Mewakili sesama PRT lainnya, Dewi kembali mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

"Saya berharap pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT. Lindungi kami para PRT", tegas Dewi.

BACA JUGA: JALA PRT: 400-an Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan pada 2012-2021

Desakan yang sama disampaikan Aida Milasari. "Kami mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT. Tanpa ada perlindungan bagi PRT, hak-haknya akan terus dilanggar dan PRT terus menderita. Kita masih butuh mereka," pungkas Aida.

18 Tahun Jalan di Tempat

Sudah 18 tahun sejak Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pada tahun 2004 lalu, tetapi DPR dan pemerintah tak kunjung meloloskan RUU yang sudah empat kali menjadi program legislasi nasional atau prolegnas ini.

Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional yang berlangsung pada 8-15 Februari di tujuh kota yakni Tangerang, Yogyakarta, Tangerang Selatan, Semarang, Makassar, Medan dan Jakarta. [ys/em]