Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 29 November sebagai Hari Solidaritas Internasional Untuk Rakyat Palestina. Peringatan setiap tahun ini merujuk pada keputusan Sidang Majelis Umum PBB yang mengesahkan Resolusi Nomor 181 Tahun 1947 yang membagi dua wilayah Palestina: 43 persen untuk bangsa Palestina dan 56 persen bagi kaum Yahudi.
Sedangkan sisanya satu persen atau Yerusalem berada di bawah kontrol PBB.
Ketika Resolusi 181 tersebut disahkan, terdapat 1.237.000 orang Palestina (67 persen) dan 608 ribu warga Yahudi (33 persen). Resolusi itu disahkan dengan hasil 33 negara mendukung, 13 menolak, dan sepuluh negara lainnya abstain.
Di Indonesia, dalam rangka memperingati Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina, aktivis Aqsa Working Group melakuan beragai kegiantan, antara lain mengibarkan bendera Indonesia dan Palestina di Gunung Cikurai, Gunung Ciremai, Gunung Dempo, dan Gunung Galunggung.
Dalam diskusi di Jakarta, Minggu (28/11), Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih menegaskan peringatan Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina bertujuan untuk mengingatkan kepada semua negara bahwa masalah Palestina belum selesai.
"Bangsa Palestina masih belum mendapatkan hak-hak asasi kemanusiannya karena mereka masih hidup dalam keadaan terjajah. Masih ada satu bangsa yang belum dmerdekakan sejak KAA (Konferensi Asia Afrika) pada 1955," kata Bagus.
Bagus menambahkan pasukan Israel masih terus melakukan aksi ilegal. Israel terus menangkapi, menggusur dan menyita properti milik warga Palestina sehingga menyebabkan rakyat Palestina menderita termasuk anak-anak dan perempuan. Kemudian pembangunan permukiman Yahudi ilegal terus berlanjut di Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur.
Meski banyak negara mengecam dan menyerukan agar tindakan-tindakan ilegal itu dihentikan, lanjut Bagus, Israel tidak peduli dan terus melanggar hukum internasional. Israel juga makin berani melancarkan provokasi di kompleks Masjid Al-Aqsa dengan menangkapi dan menghalangi warga Palestina ingin salat di Al-Aqsa.
Selain itu, peziarah Yahudi juga makin sering beribadah di dalam kompleks Al-Aqsa meski tindakan tersebut melanggar status quo yang ditetapkan pada 1967, yang melarang non-muslim beribadah di dalam Al-Aqsa.
Karena itu, Bagus menekankan pemerintah Indonesia tetap pada pendiriannya yakni menegaskan rasa keprihatinan dan kecaman terhadap Israel yang terus melanggar hak asasi manusia rakyat Palestina di tengah pandemi COVID-19. Indonesia menyatakan dukungan internasional secara serius dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan Palestina.
Indonesia akan terus mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka dan berdaulat karena sokongan ini sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dukungan ini disampaikan dalam berbagai forum internasional, melalui beragam bantuan dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia Palestina.
Indonesia menegaskan akan terus meningkatkan kerja sama dengan Palestina dalam berbagai bidang. Sejak Januari 2019 lalu misalnya, Indonesia telah menetapkan bebas bea masuk bagi produk-produk unggulan dari Palestina, seperti minyak zaitun dan kurma.
BACA JUGA: RI Minta Gerakan Nonblok Dukung Negosiasi Multilateral bagi PalestinaDalam diskusi tersebut, aktivis kemanusiaan Palestina yang tinggal di Malaysia, yang sekalighus CEO Al-Quds Foundation Dr. Syarif Abu Syammala memuji kepedulian rakyat Indonesia, juga dukungan dan bantuan materi dan non-materi pada Palestina. Ia mengingatkan Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina merupakan momen yang harus terus digaungkan dan diingatkan kepada seluruh masyarakat.
"29 November merupakan hari peringatan tentang kenestapaan bangsa Palestina. Pada 29 November 1947, PBB mengeluarkan keputusan yang menjadikan bangsa Yahudi memiliki negara atau berdirinya negara Israel, di mana negara Israel ini berdiri di atas 56 persen wilayah Palestina," ujar Abu Syammala.
Sejak Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181 pada 29 November 1947 itulah penderitaan dan kesukaran dialami bangsa Palestina dimulai, tambahnya. Resolusi tersebut menjadi dasar berdirinya negara Israel yang dideklarasikan pada 14 Mei 1948.
Palestina, Satu-Satunya Bangsa yang Belum Merdeka
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan Palestina merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang belum mendapatkan kemerdekaan. Oleh karena itu, tambahnya, yang harus menjadi fokus adalah bagaimana menjadikan status wilayah Palestina tidak sebagai wilayah pendudukan tetapi wilayah otoritas yang menjadi bagian dari wilayah Palestina. Apabila yang dilakukan hanya bentuk solidaritas saja maka hal itu hanya mengingat masa lalu tanpa ada kemajuan kedepannya.
Menurut Yon, Indonesia harus melobi negara-negara besar karena penyelesaian persoalan Palestina saat ini melibatkan banyak negara, bukan saja Amerika, tetapi juga Rusia, China dan Uni Eropa.
“Kemudian mencoba membuka kembali dialog perdamaian di kawasan ini yang melibatkan Israel dan Palestina. Jadi menuju kearah two state solution harusnya bisa lebih konkrit apalagi Amerika sudah buka peluang dialog kembali berkaitan dengan Palestina” ujar Yon.
Selama ini lanjut Yon yang dilakukan Indonesia masih bersifat responsif ketika ada masalah atau peperangan yang terjadi antara kedua negara tersebut.
Yon menilai langkah Indonesia selama ini masih kurang intensif untuk terlibat secara langsung atau mencoba melakukan mediasi bagi perdamaian Palestina. [fw/em]