Hendrika Mayora Victoria, atau akrab disapa Bunda Mayora, Maret lalu terpilih menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia disebut-sebut sebagai transpuan pertama yang menjadi pejabat publik di Indonesia.
“Mungkin orang melihatnya ‘wah, keren!’, tapi tidak melihat sulitnya perjuangan yang saya lewati, perjuangan untuk jujur pada diri sendiri, pada keluarga, pada masyarakat, dan pada agama,” ujar Bunda Mayora, sebutan khas bagi Hendrika Mayora, membuka pembicaraan dengan VOA, 20 Juni lalu.
Transpuan berusia 33 tahun ini menceritakan kesulitannya memerdekakan diri sendiri, atau bersikap jujur pada diri sendiri, yang menurutnya “jauh lebih sulit dibanding berjuang keluar dari kemiskinan atau dari pekerjaan yang dinilai orang hina seperti nyebong (pekerja seks transpuan.red).”
Proses “Memerdekakan Diri” Tidak Mudah
Selepas lulus dari Seminari Menengah di Merauke, di mana orang tuanya merantau, Hendrika memilih menjadi bruder atau biarawan Katolik. Pada 2008, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan pastoral di Universitas Sanata Dharma.
Ketika pertama kali membuka jati dirinya sebagai transpuan, Hendrika menghadapi banyak tantangan. Tidak hanya tantangan dari luar, tetapi juga dari diri sendiri.
“Pertama, saya berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa menjadi waria ini bukan pilihan, tapi panggilan hidup dan anugerah dari Tuhan, yang akan saya bawa sampai mati. Jadi untuk apa saya tutupi. Proses coming out ini tidak mudah,” tuturnya.
Dia juga mengaku sempat marah kepada Tuhan dengan kondisinya.
“Saya diberi kelamin laki-laki, tapi perasaan saya kok seperti perempuan. Saya diberi kekuatan fisik laki-laki, tapi saya juga bisa melakukan pekerjaan perempuan,” kenangnya.
BACA JUGA: Mencari Ruang Penerimaan LGBT dalam Agama-AgamaPengakuan Bunda Mayora sebagai transpuan membawanya ke kehidupan jalanan yang penuh kekerasan. Untuk bertahan hidup, Bunda Mayora sempat mengamen. Ditangkap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat mengamen, dirundung, dan dipukuli menjadi bagian kehidupannya.
Pengalaman itu lah yang menyadarkan Bunda Mayora akan stigma dan diskriminasi yang dialami oleh para transpuan. Antara lain, minimnya pilihan pekerjaan bagi para transpuan.
“Kita berdandan sedikit, langsung diberi label macam-macam. Kita bekerja mencari uang pun, diberi stigma macam-macam. Kita hanya bisa bekerja di bidang yang... ya itu mengamen, nyebong, atau kalau mau berubah ya, di LSM-LSM yang mengurusi waria,” katanya.
Namun pengalaman pahit itu makin membulatkan tekadnya untuk kembali ke kampung halaman di Maumere, meski kedua orang tua Bunda Mayora berada di Merauke.
Maumere Jadi Tempat Latihan Mental
Maumere, yang merupakan ibu kota kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur, adalah kota terkecil di dunia yang pernah pernah didatangi Paus Yohanes Paulus II pada 1989. Kota berpenduduk 50.000 jiwa ini mayoritas beragama Katolik.
Latar belakang agama itu lah yang mendorong Bunda Mayora untuk memilih kota itu.
BACA JUGA: YouTube Hentikan Siaran Live Soal Agama dan Keberagaman Gender“Saya memilih Maumere karena ingin menantang diri saya sendiri. Maumere dikenal sebagai Vatikan kedua karena mayoritas warganya Katolik dan secara teologi pastinya bakal keras sama saya,” tuturnya.
Seperti yang sudah diperkirakan, Bunda Mayora menghadapi berbagai penolakan. Apalagi, para kerabat dan teman mengetahui Bunda Mayora pernah mengikuti pendidikan pastoral.
“Mereka mengatakan ‘Kamu aneh. Dulunya laki-laki kok sekarang jadi perempuan. Yang dulunya berjubah, kok kini bergaun’,” katanya.
Namun Bunda Mayora dengan sabar berusaha menjelaskan dan memberi pengertian bahwa soal laki-laki atau perempuan itu hanya konstruksi gender.
Dia juga gigih menunjukkan jati dirinya, misalnya dengan datang ke gereja dengan berdandan layaknya seorang perempuan. Meski berkali-kali ditolak masuk ke gereja, Bunda Mayora bergeming.
“Sama seperti ketika orang menilai waria itu nakal, pekerja seks, bodoh, tidak bisa apa-apa. Itu tidak benar. Saya teguh pada komitmen saya. Saya bantu masyarakat sekitar. Saya tetap tunjukkan identitas transpuan saya,” kata Bunda Mayora.
Tanpa kenal menyerah Bunda Mayora mengerjakan apa saja yang dapat dilakukannya bagi masyarakat. Mulai dari menjadi pembawa acara perkawinan atau hajatan keluarga, mengadakan kegiatan kesenian dan pembinaan keimanan anak di gereja, menjadi ketua kelompok kerja yang membawahi pengajaran Pancasila, pola asuh keluarga, hingga memberi penyuluhan ketika ada wabah penyakit.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Orang-orang yang dulunya terpengaruh stigma tentang transpuan, perlahan mulai mau menjalin pertemanan dengan Bunda Mayora.
“Ada yang datang ke saya dan bilang 'Bunda dulu kami takut sekali lihat waria!' Saya tanya kenapa. Mereka bilang waria itu suka pegang-pegang, bahaya, tapi Bunda tidak seperti itu,” kisahnya.
Dari situ, Bunda Mayora mulai memberi pendidikan tentang seksualitas, gender, orientasi, ekspresi dan identitas. Dia mengibaratkan seksualitas seperti benang-benang yang ditenun menjadi sehelai sarung tenun ikat.
“Untuk menjadi kain ada macam-macam benang. Ada merah, kuning, hitam. Ditenun lama dan kemudian jadi sarung yang bagus. Begitu juga manusia ini ada laki-laki, perempuan, gay, lesbian, waria dan lain-lain. Tuhan kasih kita saling melengkapi. Perbedaan bukan membuat kita bermusuhan, tapi justru saling memperkuat,” tambahnya.
Menang Pemilihan, Dorong Pengambilan Keputusan
Hendrika Mayora Victoria akhirnya sampai di titik bahwa perjuangannya akan lebih baik jika ia berada di dalam sistem kepemimpinan daerah. Didukung teman-teman sesama transpuan dan masyarakat di mana ia tinggal, terutama kaum ibu, Maret lalu ia memberanikan diri ikut bertarung dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Butuh waktu satu minggu bagi Bunda Mayora untuk mempersiapkan diri mengikuti pemilihan.
“Di luar dugaan banyak sekali ibu-ibu, juga tokoh-tokoh di RT dan lainnya yang melihat kemampuan saya, meskipun saya baru 1,5 tahun ada di Maumere, ikut mendukung. Tidak disangka, puji Tuhan, saya menang!” ujar Bunda Mayora.
Meski kalah, enam calon lain yang semuanya laki-laki menyatakan mendukung langkahnya.
Aktivis Aliansi Nasional Untuk Bhinneka Tunggal Ika, Nia Syarifudin, memuji pencapaian itu.
“Memberikan apresiasi pada proses luar biasa yang terjadi ini, baik itu pada Bunda Mayora, maupun masyarakat di mana beliau tinggal yang sudah mampu mengelola perbedaan sampi level politik lokal,” ujar Nia.
Dia menambahkan keberadaan kelompok minoritas yang menduduki jabatan publik membuka harapan dan perspektif berbeda pula.”
Hal senada disampaikan Lini Zurlia di ASEAN SOGIE Caucus, yang kerap memperjuangkan hak asasi bagi kelompok minoritas seksual dan gender.
Lini mengatakan kelompok minoritas yang menduduki jabatan publik cenderung memiliki sensivitas yang lebih tinggi atas kebijakan yang diambil, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok mayoritas.
BACA JUGA: Komunitas LGBT Berjuang Lawan Stigma di Media Massa“Ia akan berpikir berkali lipat untuk mengambil sebuah kebijakan, apakah ada dampak yang diambil atau tidak; meskipun kebijakan ini hanya untuk tingkat desa.Sensitivitas ini menjadi modal utama,” katanya.
Ditambahkannya, transpuan yang menjadi pejabat publik juga menjadi simbol adanya solidaritas yang sangat tinggi antar orang-orang atau masyarakat yang ada di sekitarnya.
Bunda Mayora mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukannya, khususnya bagi kelompok minoritas yang selama ini masih hidup dalam stigma dan diskriminasi. [em/ft]