Gerakan Syiah Lebanon Hizbullah, Rabu (9/9), mengutuk beberapa sanksi baru AS terhadap dua mantan menteri dari partai politik sekutunya atas dugaan korupsi dan pemberian bantuan kepada kelompok tersebut.
"Kami memandang keputusan ini tidak adil bagi dua sahabat yang sangat kami hormati itu," kata gerakan yang didukung Iran itu dalam sebuah pernyataan.
Hizbullah sudah lama menjadi target sanksi AS dan masuk daftar hitam sebagai organisasi ‘teroris’, namun kelompok Syiah juga memainkan peran yang kuat dalam politik di parlemen Lebanon.
"Semua yang dikeluarkan oleh pemerintahan ini kami kutuk dan tolak," sebut Hizbullah terkait pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Washington "tidak akan dapat mencapai tujuannya di Lebanon, kata pernyataan itu lebih lanjut.
BACA JUGA: AS Jatuhkan Sanksi Kepada Dua Mantan Menteri LebanonWashington, Selasa (8/9) memberlakukan sanksi terhadap mantan menteri keuangan Ali Hassan Khalil dan mantan menteri transportasi Youssef Fenianos.
Departemen Keuangan menyatakan Khalil, yang juga menjabat sebagai menteri kesehatan, membantu mengarahkan dana ke lembaga Hizbullah untuk menghindari sanksi AS terhadap kelompok tersebut.
Fenianos, katanya, menerima "ratusan ribu dolar" dari Hizbullah sebagai imbalan atas bantuan politik.
Departemen Keuangan itu juga menyatakan dia memberikan dokumen sensitif kepada kelompok Syiah di pengadilan khusus PBB yang bulan
lalu memutuskan seorang anggota gerakan itu bersalah atas pembunuhan mantan perdana menteri Rafic Hariri tahun 2005.
Khalil berasal dari partai Amal Syiah dari ketua parlemen Nabih Berri, sementara Fenianos adalah anggota gerakan Marada dari pemimpin Kristen Sleiman Frangieh.
Hizbullah adalah satu-satunya pihak yang tidak dilucuti setelah perang saudara Lebanon 1975-1990, dan beberapa kali berperang dengan tetangga Lebanon di selatan sekaligus musuh bebuyutannya, Israel. [mg/jm]