Human Rights Watch meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan “zero tolerance” untuk siapa pun yang lakukan kekerasan atas nama agama.
JAKARTA —
Lembaga hak asasi manusia yang berbasis di New York, Human Rights Watch (HRW), Kamis (28/2) di Jakarta, meluncurkan laporannya tentang pelanggaran terhadap minoritas agama di Indonesia.
Laporan setebal 120 halaman itu yang diberi judul “Atas Nama Agama” itu berisi kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi kelompok militan yang melakukan intimidasi dan menyerang rumah–rumah ibadah serta kelompok minoritas agama.
Laporan itu didasarkan pada riset selama dua tahun sejak Februari 2011 di 10 provinsi di Jawa, Sumatera dan Timor Leste, termasuk wawancara dengan lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Hampir setengah dari orang yang diwawancara, atau 71 orang, adalah korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, sementara sisanya adalah ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara dan aktivis masyarakat sipil.
Dalam jumpa pers, Wakil Direktur Human Rights Watch Divisi Asia, Phelim Kyne, mengatakan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh kelompok intoleran tetapi juga oleh pejabat pemerintah dan aparat keamanan dengan melakukan pembiaran.
Selain itu, para pejabat pemerintah juga sering membuat pernyataan diskriminatif dan menolak mengeluarkan izin bangunan untuk rumah ibadah kaum minoritas agama dan mendesak jemaat minoritas untuk relokasi, ujar Kyne.
“Tindakan-tindakan itu didasarkan aturan diskriminatif seperti Undang-undang tentang penodaan agama, yang hanya melindungi enam agama serta keputusan menteri tentang syarat membangun rumah ibadah,” ujarnya.
Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa organisasi militan Islamis termasuk Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam merupakan organisasi yang sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi.
Human Rights Watch juga menilai bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal menggunakan kekuasaannya guna membela kelompok minoritas agama serta tidak pernah secara efektif menindak para pejabat yang tidak menjunjung kebebasan beragama.
Pemerintah Indonesia, menurut Kyne, juga harus menindak tegas mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya, lembaga-lembaga donor untuk Indonesia harus mengambil sikap bahwa kegagalan membela kebebasan beragama sebagai masalah mendesak.
“Inilah saatnya pemerintah Indonesia melakukan kebijakan, bertindak secara tegas dan memberikan aksi nyata terhadap kekerasan dan pelanggaran terhadap minoritas agama. Jika ini tidak dilakukan sekarang, ini akan membiarkan masalah menyebar dan tidak dapat ditangani secara nyata,” ujarnya.
Laporan Human Rights Watch juga mengungkapkan bahwa Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak pelanggaran kebebasan beragamanya.
Ahmad Masihuddin, warga Ahmadiyah yang menjadi korban pada peristiwa Cikeusik, Banten merasa kecewa dengan tindakan yang dilakukan pemerintah maupun aparat penegak hukum selama ini terhadap kelompok intoleran.
Hingga kini, Masihuddin masih merasakan penderitaan fisik seperti sebelah matanya yang tidak dapat lagi melihat secara jelas dan kepalanya yang kerap sakit. Saat ini pun, Masihuddin juga masih terus melakukan pengobatan.
“Sedih dan merasa kecewa sekaligus sakit hati karena pelakunya hanya (mendapat hukuman) enam bulan. Yang aniaya kami, pelakunya sekarang sudah bebas tetapi kami sampai sekarang masih mengalami penderitaan-penderitaan ini. Dan ini tidak fair. Pemerintah selalu memenangkan kaum mayoritas dibanding minoritas. Korban selalu dijadikan kambing hitam,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan optimistis masalah kebebasan beragama di Indonesia akan dapat diatasi dengan baik.
“Sikap presiden adalah positif hanya memang memerlukan pendalaman lebih lanjut,” ujarnya.
Setara Institute, salah satu lembaga yang memantau kebebasan beragama di Indonesia melaporkan naiknya kekerasan pada minoritas agama dari 244 pada 2011 menjadi 264 pada 2012.
Laporan setebal 120 halaman itu yang diberi judul “Atas Nama Agama” itu berisi kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi kelompok militan yang melakukan intimidasi dan menyerang rumah–rumah ibadah serta kelompok minoritas agama.
Laporan itu didasarkan pada riset selama dua tahun sejak Februari 2011 di 10 provinsi di Jawa, Sumatera dan Timor Leste, termasuk wawancara dengan lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Hampir setengah dari orang yang diwawancara, atau 71 orang, adalah korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, sementara sisanya adalah ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara dan aktivis masyarakat sipil.
Dalam jumpa pers, Wakil Direktur Human Rights Watch Divisi Asia, Phelim Kyne, mengatakan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh kelompok intoleran tetapi juga oleh pejabat pemerintah dan aparat keamanan dengan melakukan pembiaran.
Selain itu, para pejabat pemerintah juga sering membuat pernyataan diskriminatif dan menolak mengeluarkan izin bangunan untuk rumah ibadah kaum minoritas agama dan mendesak jemaat minoritas untuk relokasi, ujar Kyne.
“Tindakan-tindakan itu didasarkan aturan diskriminatif seperti Undang-undang tentang penodaan agama, yang hanya melindungi enam agama serta keputusan menteri tentang syarat membangun rumah ibadah,” ujarnya.
Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa organisasi militan Islamis termasuk Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam merupakan organisasi yang sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi.
Human Rights Watch juga menilai bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal menggunakan kekuasaannya guna membela kelompok minoritas agama serta tidak pernah secara efektif menindak para pejabat yang tidak menjunjung kebebasan beragama.
Pemerintah Indonesia, menurut Kyne, juga harus menindak tegas mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya, lembaga-lembaga donor untuk Indonesia harus mengambil sikap bahwa kegagalan membela kebebasan beragama sebagai masalah mendesak.
“Inilah saatnya pemerintah Indonesia melakukan kebijakan, bertindak secara tegas dan memberikan aksi nyata terhadap kekerasan dan pelanggaran terhadap minoritas agama. Jika ini tidak dilakukan sekarang, ini akan membiarkan masalah menyebar dan tidak dapat ditangani secara nyata,” ujarnya.
Laporan Human Rights Watch juga mengungkapkan bahwa Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak pelanggaran kebebasan beragamanya.
Ahmad Masihuddin, warga Ahmadiyah yang menjadi korban pada peristiwa Cikeusik, Banten merasa kecewa dengan tindakan yang dilakukan pemerintah maupun aparat penegak hukum selama ini terhadap kelompok intoleran.
Hingga kini, Masihuddin masih merasakan penderitaan fisik seperti sebelah matanya yang tidak dapat lagi melihat secara jelas dan kepalanya yang kerap sakit. Saat ini pun, Masihuddin juga masih terus melakukan pengobatan.
“Sedih dan merasa kecewa sekaligus sakit hati karena pelakunya hanya (mendapat hukuman) enam bulan. Yang aniaya kami, pelakunya sekarang sudah bebas tetapi kami sampai sekarang masih mengalami penderitaan-penderitaan ini. Dan ini tidak fair. Pemerintah selalu memenangkan kaum mayoritas dibanding minoritas. Korban selalu dijadikan kambing hitam,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan optimistis masalah kebebasan beragama di Indonesia akan dapat diatasi dengan baik.
“Sikap presiden adalah positif hanya memang memerlukan pendalaman lebih lanjut,” ujarnya.
Setara Institute, salah satu lembaga yang memantau kebebasan beragama di Indonesia melaporkan naiknya kekerasan pada minoritas agama dari 244 pada 2011 menjadi 264 pada 2012.