Peneliti senior Human Rights Watch untuk Indonesia, Andreas Harsono mengatakan sejak tahun 2001 pemerintah daerah telah mengeluarkan lebih dari 60 peraturan daerah yang memaksa perempuan mengenakan jilbab. Aturan serupa juga diberlakukan di hampir 300 ribu sekolah negeri di 24 provinsi terutama yang berpenduduk mayoritas muslim.
Your browser doesn’t support HTML5
Andreas menilai aturan tersebut diskriminatif dan merugikan perempuan. Beberapa kasus aturan tersebut telah mendorong sejumlah siswi yang tidak mengikuti aturan itu, untuk mundur atau keluar dari sekolah. Sebagian perempuan juga kehilangan kesempatan promosi atau bahkan pekerjaannya karena tidak memenuhi tuntutan berjilbab.
"Ini bukan mewajibkan tapi memaksa. Kalau mewajibkan itu konsekuensinya spiritual saja. Kalau tidak salat dikeluarkan dari pekerjaan? Kan tidak," jelas Andreas kepada VOA, Kamis (18/3/2021).
Andreas menambahkan Human Rights Watch Indonesia telah memberikan laporan tentang aturan busana bagi anak dan perempuan di Indonesia kepada sejumlah kementerian. Antara lain Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Ia memuji Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang memungkinkan siswi atau guru memilih pakaian di sekolah sebagai angin segar. SKB tersebut dibuat setelah ayah seorang siswi sekolah menengah di Padang, Sumatera Barat mengeluh tentang aturan busana di sekolah.
"Menurut pendamping sekolah di Padang. Anak Kristen sudah tidak dipaksa memakai jilbab, tapi yang Islam masih dipaksa," tambahnya.
BACA JUGA: Tenggat SKB 3 Menteri Soal Seragam, Akankah Pemda atau Sekolah Cabut Aturan?HRW mendorong pemerintah aktif menegakkan SKB 3 Menteri yang diterbitkan pada 3 Februari lalu. Berdasarkan keputusan tersebut, pemerintah daerah dan kepala sekolah diperintahkan mencabut semua aturan wajib jilbab sebelum 5 Maret 2021. Bagi kepala sekolah dan kepala daerah yang tidak mematuhi keputusan tersebut akan mendapat sanksi seperti ditahan dana bantuan operasionalnya.
Alissa Wahid: Perempuan Harus Punya Hak Menentukan Keinginan
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan perempuan muslim memiliki hak untuk memakai jilbab menurut keyakinan masing-masing. Namun, ia tidak sepakat pemakaian jilbab tersebut diwajibkan melalui sebuah kebijakan. Ia beralasan kewajiban tersebut akan mendiskriminasi perempuan yang tidak berjilbab di sekolah dan tempat kerja.
"Isu kuncinya adalah tentang keharusan regulasi tentang jilbab, tapi tidak menghargai hak untuk percaya dengan hal yang sebaliknya," jelas Alissa Wahid dalam diskusi daring, Kamis (18/3/2021).
Alissa menambahkan manajemen desentralisasi yang kurang baik juga mendorong peraturan daerah tidak sejalan dengan konstitusi. Akibatnya muncul peraturan daerah yang berdasarkan interpretasi dari hukum Islam.
Keyakinan terhadap ajaran agama, seperti yang dikemukakan Alissa itu, menjadi alasan seorang siswi di sekolah menengah umum negeri di Jakarta untuk mengenakan jilbab sejak di kelas dua sekolah dasar.
"Sebenarnya nggak ada dorongan khusus pakai jilbab. Aku memang sudah diajarin sama orang tua dari kecil buat terbiasa pakai jilbab. Akhirnya sampai sekarang pun keterusan juga pakai kerudung itu," ujar siswi tersebut yang enggan diungkap identitasnya.
ICRP Ajak Semua Pihak “Speak Up”
Sementara Ketua Indonesian Conference on Religions for Peace (ICRP) Musdah Mulia mengkritik sikap kelompok toleran yang cenderung diam saat ada aturan diskriminatif. Menurutnya, sikap ini membuat aturan dan tindakan diskriminatif di Indonesia tidak berubah.
"Diamnya ini bencana bagi kehidupan kita. Maka saya katakan kalau tidak suka, jangan diam. Marilah kita speak up," jelas Musdah Mulia.
Musdah Mulia juga menyoroti kehidupan sosial yang berlebihan mencampuri kehidupan agama seseorang, termasuk persoalan busana atau jilbab. Bahkan sebagian masyarakat turut memberikan sanksi sosial yang terkadang membuat takut seseorang ketimbang sanksi pidana.
Ia menyarankan ke depan masyarakat membangun kehidupan sosial yang lebih beragam atau inklusi dengan menerima perbedaan dengan orang lain. Salah satunya dengan memberikan pendidikan tentang keberagaman mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. [sm/em]