Dalam sebuah diskusi bertajuk "2 Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin: Janji Palsu Pemberantasan Korupsi" yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), pada Selasa (19/10), Lalola Easter dari Divisi Hukum dan Monitoring ICW menilai pemberantasan korupsi dalam dua tahun pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin masih jauh dari harapan.
Lalola mencontohkan skandal cukup mencengangkan pertengahan tahun lalu ketika seorang buronan kasus korupsi yang sudah bertahun-tahun tidak dapat dipanggil pulang untuk menjalani proses hukum, ternyata bisa keluar masuk Indonesia secara bebas.
Buronan bernama Djoko Tjandra tersebut diketahui bisa dengan mudah keluar masuk wilayah Indonesia karena mendapatkan bantuan dari dua perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yaitu Brigadir Jenderal Prasetyo Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, serta Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari Kejaksaan Agung.
BACA JUGA: Survei SMRC: Pemberantasan Korupsi Memburuk dalam 2 Tahun Kinerja Jokowi- Ma'ruf"Dari situ akhirnya mulai terkuak bagaimana kekacauan mekanisme penegakan hukum yang ada di Indonesia dan bagaimana keterlibatan lembaga-lembaga penegak hukum dalam menghalangi proses hukum itu sendiri bahkan. Jadi kita bisa melihat betapa hal tersebut akhirnya jadi wajah buruk presiden juga karena tidak ada mekanisme kontrol, tidak ada mekanisme evaluasi dari kondisi yang terjadi," kata Lalola.
Terkait konflik kepentingan dalam penanganan kasus Jaksa Pinangki itu, lanjut Lalola, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah diminta untuk mengambil alih perkara tapi tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh KPK.
Karena itu, Lalola berpendapat tiga lembaga penegak hukum, Polri, Kejaksaan Agung dan KPK sudah memiliki catatan buruk dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan Djoko Tjandra itu.
Indonesia menempati peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvey dalam Indeks Persepsi Korupsi pada 2020 yang dilakukan oleh organisasi internasional yang bergerak di bidang antikorupsi, Transparency International. Peringkat tersebut menunjukkan kemunduran dari tahun 2019 di mana sebelumnya Indonesia bercokol di posisi ke-96.
Presiden Jokowi sendiri, menurut Lalola, memiliki peran penting untuk menjaga agar semangat yang ada dalam Perarturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak dicederai. Dia mengatakan banyak pihak sudah paham bahwa narapidana kasus korupsi memiliki keleluasaan untuk berkegiatan dan bahkan ketika mereka sudah mendekam dalam penjara. Hal ini semakin membuktikan betapa bobroknya penanganan terhadap narapidana kasus korupsi.
Lalola lalu meminta Presiden Jokowi tidak memperlonggar atau mempermudah syarat-syarat pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi.
Ia mengidentifikasi hanya ada satu kebijakan antikorupsi dalam dua tahun pemerintahan Jokowi yakni “Strategi Nasional Pencegahan Korupsi” yang diatur melalui peraturan presiden. Tapi masalahnya, kata Lalola, tidak ada mekanisme evaluasi dan kontrol kualitas terhadap implementasi strategi nasional pencegahan korupsi tersebut.
BACA JUGA: Pakar: Polemik Pegawai KPK Mengonfirmasi Kontradiksi Kebijakan Presiden Jokowi"Tapi begitu kita sampai ke mekanisme evaluasi, bagaimana kemudian presiden sebagai yang punya hajat karena itu diatur dalam peraturan presiden, tidak terlihat wajahnya di situ, tidak mengomandoi, dan juga tidak memimpin secara langsung Strategi Nasional Pencegahan Korupsi," ujar Lalola.
Padahal, menurut Lalola, strategi itu sangat detail menjelaskan capaian yang mesti diraih, siapa pihak bertanggung jawab, dan program apa yang mesti dilakukan.
Saat ini, terdapat tiga rancangan undang-undang (RUU) yang masih menunjukkan semangat pemberantasan korupsi tapi tidak pernah masuk ke dalam program prioritas legislasi nasional, yakni RUU tentang pembatasan transaksi uang kartal, RUU tentang perampasan aset dan RUU tentang pemberantasan korupsi. RUU Pemberantasan Korupsi sudah masuk ke dalam program legislasi nasional sejak 2014 tapi sampai tahun ini tidak pernah masuk ke dalam program legislasi nasional prioritas.
Lalola menyebut hal itu sekadar formalitas saja karena sebaliknya, revisi Undang-undang KPK yang tidak pernah masuk program legislasi nasional prioritas malah dibahas lebih dulu dan disahkan dalam waktu cepat.
Hal lain yang disoroti ICW adalah soal rangkap jabatan, yang tidak ditanganan secara serius, dan bahkan ada pembiaran. Padahal dengan rangkap jabatan sulit bagi individu tersebut untuk memiliki kinerja yang maksimal. Belum lagi potensi munculnya konflik kepentingan.
Karena itu, Lalola menyimpulkan dari segi politik hukum antikorupsi yang dimiliki pemerintahan Jokowi masih sangat jauh dari memuaskan dan masih ada banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo untuk mereformasi birokrasi di lembaga penegak hukum.
Lalola menegaskan tugas itu sedianya dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi dan tidak bisa didelegasikan kepada anggota kabinet.
KPK Tetap Fokus
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan lembaganya akan tetap fokus pada upaya-upaya kerja pemberantasan korupsi dan berkomitmen terus menjalankan seluruh agenda dan strategi pemberantasan korupsi.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemberantasan korupsi di Indonesia, tambahnya, adalah harga mati bagi KPK. Penanganan korupsi tambahnya sudah menjadi amanat undang-undang bagi KPK.
Hingga berita ini diturunkan, pihak istana belum memberikan tanggapan terkait hal ini. [fw/em]