Ilmuwan Khawatirkan Pengerukan dan Reklamasi Ancam Keseimbangan Ekosistem Danau Poso

  • Yoanes Litha

Aliran Sungai yang membela kota Tentena, dengan latar gunung dan danau Poso di kejauhan. (Foto: VOA/Yoanes)

Melalui sebuah petisi di change.org, Aliansi penjaga danau Poso mendesak agar rencana pengerukan dan reklamasi sungai danau Poso dihentikan. Petisi yang telah ditandatangani oleh 600 orang itu, ditujukan kepada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Bupati Poso.

Pihak Aliansi Penjaga Danau Poso mengatakan petisi berjudul Bantu Poso Jaga Kebudayaan & Ekosistem Danau Poso dari Pengerukan/Reklamasi PT Poso Energy itu dibuat sebagai upaya mereka untuk mendesak dihentikannya rencana pengerukan dan reklamasi aliran sungai di mulut danau terluas ketiga di Indonesia itu.

Kegiatan itu merupakan bagian dari program CSR oleh PLTA Poso milik PT. Poso Energy bersama pemerintah Kabupaten Poso untuk membangun Taman Konservasi Dongi serta kawasan perlindungan burung, kawasan ruang publik yang terdiri dari area wisata air, area bermain anak serta sarana olahraga dan wisata kuliner. Kegiatan itu akan melakukan pengerukan aliran sungai sepanjang 12,8 kilometer, lebar 40 meter dengan kedalaman 4-6 meter. Aliansi Penjaga Danau Poso terdiri dari nelayan, petani, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, buruh, kelompok perempuan serta pemerhati dan pegiat budaya.

Christian Bontinge ketua dewan adat Kelurahan Pamona, Kabupaten Poso mengatakan bagian wilayah yang terdampak dari kegiatan itu adalah wilayah yang disebut masyarakat setempat sebagai 'Kompo Dongi', yang selama ini menjadi tempat ikan-ikan bertelur. Kawasan itu akan direklamasi dengan material hasil penggerukan untuk kepentingan pembuatan taman konservasi Dingo.

“Ini kompo dongi ini mereka mau tutup dengan pasir yang mereka mau keruk, sementara sebetulnya itu tempat perkembangbiakan ikan, walaupun kami bukan orang ahli ikan tapi dari nenek moyang orangtua kami sudah tahu bahwa itu dongi itu, jalur yang mereka mau keruk itu, itu tempat berkembangbiaknya ikan pak,” ungkap Christian saat dihubungi dari Palu (13/10).

Menurut Christian, kegiatan itu juga mengancam kelestarian tradisi budaya masyarakat yang telah berusia ratusan tahun di wilayah itu. Reklamasi untuk kepentingan pembuatan taman dengan memanfaatkan material hasil pengerukan sesungguhnya akan membuat tradisi menangkap ikan bersama ratusan orang dari berbagai desa dengan menggunakan alat khusus bernama sango, tidak akan dapat lagi dilakukan. Sedangkan pengerukan sungai juga mengancam hilangnya tradisi "wayamasapi", yaitu menangkap ikan sidat melalui pagar yang terbuat dari bambu.

Pagar Sogili, sebuah tradisi turun temurun oleh masyarakat setempat menangkap ikan Sidat di aliran sungai danau Poso. (Foto: VOA/Yoanes)Litha

Humas PT Poso Energy, Aslori, berbicara kepada VOA menepis bila aktivitas pengerukan dan reklamasi oleh pihaknya akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam habitat ikan di danau Poso. Ia mengklaim aktivitas pengerukan telah memiliki dokumen analisis dampak mengenai lingkungan yang memungkinkan pengerukan aliran sungai tersebut dapat dilakukan.

“Kawasan area habitat ikan itu di manakah?, yang kami tahu habitat itu adanya di danau Poso, sedangkan kamikan tidak sampai di sana. Mungkin dari jembatan beton itu kearah danau itu tidak sampai juga dua kilometer. Jadi kalau diklaim akan merusak biota atau habitat ikan itu, terlalu berlebihan rasanya kalau begitu ya,” papar Aslori.

Ia menjelaskan kegiatan itu merupakan bagian dari program CSR PT Poso Energy yang di wujudkan dalam sebuah kerjasama dengan pemerintah Kabupaten Poso dimana pihaknya akan melakukan renovasi terhadap jembatan Yondo Pamona, penataan kawasan Kompo Dongi serta pengerukan aliran sungai danau Poso. Dikatakannya pemerintah Kabupaten Poso berkomitmen untuk tidak akan budaya yang hilang seperti Mosango. Aslori tidak tidak menampik bila melalui kegiatan itu pula akan memberikan dampak positif bagi kebutuhan debit air bagi PLTA Poso.

“Kalau tudingan itu yah kita tidak menampik sedikit banyak ada juga berkaitan dengan PLTA untuk melangsungkan keberadaan PLTA itu sendiri. Karena PLTA inikan kebutuhan sifatnya nasional jadi terkait dengan itu, kita sinkronkan program kita dengan pemda, MoU itu. Kita tidak menampik kalau itu ada kaitannya dengan PLTA, pasti ada, tidak mungkin tidak,” jelas Aslori.

Aslori menjelaskan pihaknya sedang dalam masa persiapan untuk operasional pembangkit listrik PLTA Poso Satu berkapasitas 130 MW, dua turbin kapasitas 60 MW direncanakan sudah beroperasi pada tahun 2019. Pembangkit baru itu akan melengkapi PLTA Poso Dua yang telah operasional sejak 2012 berkapasitas 195 MW. Selain itu di PLTA Poso Dua juga akan dilakukan penambahan empat turbin baru yang menghasilkan 200 MW, sehingga total kapasitas maksimal dari PLTA Poso Satu dan PLTA Dua mencapai 515 MW. Kedua PLTA itu menggunakan pasokan air dari Danau Poso.

Perkumpulan Ilmuwan Ikan kuatirkan dampak Pengerukan dan Reklamasi terhadap biota endemik danau Poso Meria Tirsa Gundo, Peneliti dan Ahli Ikan yang juga ketua Masyarakat Iktiologi Indonesia komisariat wilayah Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Utara menjelaskan danau Poso yang disebutnya sebagai jantung kawasan walaccea memiliki 10 jenis ikan endemik, 4 jenis udang-udangan, 15 jenis gastropoda atau siput. Biota-biota endemik itu rentan dengan perubahan lingkungan. Masyarakat Iktiologi Indonesia merupakan perkumpulan Ilmuwan Ikan di Indonesia.

Perkembangbiakan ikan-ikan endemik di danau Poso itu terjadi pada masa permukaan air danau naik di musim penghujan sehingga menggenangi tempat-tempat kering seperti wilayah Kompo Dongi yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang memberikan perlindungan serta sumber makanan.

Pada masa itu ikan akan kawin lalu bertelur di wilayah itu. Ikan-ikan yang menetas kemudian tinggal selama 2-3 bulan sampai kemudian air danau surut secara perlahan seiring dimulainya musim kemarau dan mereka berenang kembali ke danau Poso. Pada masa itu pula dimanfaatkan masyarakat setempat untuk melakukan tradisi menangkap ikan dengan alat-alat tradisional menggunakan bambu.

“Biota-biota ini memanfaatkan dinamika tadi itu, air-air yang meluap ketika hujan, yang terendam pinggiran-pinggiran yang dulunya kering pada musimhujan terendam, mereka memanfaatkan mengambil keuntungan dengan perendaman itu, mereka bertelur, membesar anak, kemudian setelah kemarau datang mereka masuk lagi ke danau Poso atau ke danau induk,” ujarnya.

Meria menyebutkan reklamasi maupun pengerukan di sungai Poso akan berdampak pada biota-biota endemik Danau Poso yang hanya memiliki dua pilihan untuk merespon perubahan lingkungan mereka itu yaitu beradaptasi untuk bertahan hidup atau tidak sama sekali yang berarti kepunahan bagi mereka dimasa yang akan datang.

“Jadi kalau itu diubah akan berubah dinamika atau pola hidrologi yang ada di ekosistem danau poso secara keseluruhan. Saya percaya pasti akan terjadi perubahan terutama biota yang akan merespon perubahan itu. Nah dua saja kalau dia tidak mampu dia pasti punah, kalau dia mampu dia mungkin akan beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu ya syukur,” tukasnya.

Ia menambahkan salah satu biota endemik danau Poso yang perlu diperhatikan adalah keberadaan Ikan Sogili atau Sidat yang akan berenang menuju muara sungai di laut teluk Tomini untuk bertelur. Setelah memijah, maka anak-anak ikan sidat itu akan berenang sejauh puluhan kilometer menuju Danau Poso. Ia menekankan perlu pendekatan khusus dalam aktifitas itu misalnya dengan membuat jalur ikan agar ikan sidat itu tidak terhalang oleh DAM atau bendungan maupun terjebak masuk ke turbin pembangkit listrik. (yl/jm)