Para analis mengatakan UU itu merupakan langkah maju positif, tetapi tidak menunjukkan perubahan berarti dalam upaya kontra-terorisme Indonesia.
JAKARTA —
Undang-Undang baru itu antara lain memberi pihak berwajib wewenang untuk membekukan rekening bank dan menyita aset-aset, dan diperkirakan membantu memutuskan arus dana bagi kelompok-kelompok radikal di Indonesia dan di luar negeri.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan pemerintah Indonesia perlu memodernisasi pendekatannya untuk memerangi terorisme.
Sebagai bagian dari rencana itu, Amir Syamsuddin mengatakan pemerintah harus menarget urat nadi aktivitas-aktivitas terorisme.
Tetapi Todd Elliot – analis terorisme dari Concorde Consulting mengatakan undang-undang itu lebih banyak meniru (undang-undang) di negara-negara G-20 dibanding membuat perubahan mendasar dalam upaya kontra-terorisme.
“Saya kira ini lebih merupakan isyarat simbolis untuk membawa Indonesia –sejajar dengan negara lain – khususnya negara-negara G20 yang disyaratkan memiliki undang-undang menutup pintu dana bagi teroris. Aktivitas teroris di Indonesia umumnya cukup murah, berskala kecil dan tergantung uang tunai, jadi saya kira undang-undang ini tidak memiliki dampak besar bagi gerakan teroris, seperti untuk membatasi gerak mereka,” ujar Elliot.
Meskipun mungkin tidak revolusioner, undang-undang ini memperkenalkan hukuman baru yang keras. .
Mereka yang terbukti berkonspirasi dengan pihak lain untuk mendanai aktivitas teroris diancam hukuman seumur hidup penjara. Perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran serupa dapat diancam denda hingga 10 juta dolar.
Meskipun ancaman teror besar di Indonesia umumnya telah ditekan, sisa-sisa kelompok jihad masih menimbulkan ancaman dan mereka kini menemukan cara baru untuk mendanai aktivitas-aktivitas mereka.
Tahun lalu polisi menangkap dan menghukum dua individu yang memperoleh uang lewat meretas dunia maya dan menggunakan uang tersebut untuk membiayai aktivitas-aktivitas jihad di Jawa dan Sulawesi.
Pekan lalu satu diantara dua individu itu dijatuhi hukuman delapan tahun penjara dan denda 51 ribu dollar.
Todd Elliot mengatakan undang-undang pencucian uang dan kontra-terorisme sekarang ini sudah cukup untuk kasus-kasus seperti ini. Jika pemerintah Indonesia lebih serius menumpas aktivitas radikal, bisa juga melakukan amandemen atas Undang-Undang Kontra-Terorisme tahun 2003. Tetapi ia mengatakan tantangannya terlalu banyak.
Elliot menambahkan, “Ini merupakan isu yang sangat sensitif dan ada beberapa partai yang berlandaskan agama yang menentangnya… Badan kontra-terorisme sebenarnya telah mengajukan sebuah rancangan revisi ke DPR dan seharusnya dimasukkan dalam daftar pembahasan mereka tahun ini, tetapi DPR mengatakan tidak punya waktu untuk membahasnya, meskipun mereka membahas begitu banyak RUU lain yang tampaknya kurang penting. Ini seperti suatu hal yang tidak ada orang yang mau menanganinya, sebaliknya semua sadar ini perlu ditangani”.
Sejak ledakan bom di depan hotel JW. Mariott dan Ritz Carlton tahun 2009 lalu, Indonesia belum mengalami serangan teroris berskala besar lain.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan pemerintah Indonesia perlu memodernisasi pendekatannya untuk memerangi terorisme.
Sebagai bagian dari rencana itu, Amir Syamsuddin mengatakan pemerintah harus menarget urat nadi aktivitas-aktivitas terorisme.
Tetapi Todd Elliot – analis terorisme dari Concorde Consulting mengatakan undang-undang itu lebih banyak meniru (undang-undang) di negara-negara G-20 dibanding membuat perubahan mendasar dalam upaya kontra-terorisme.
“Saya kira ini lebih merupakan isyarat simbolis untuk membawa Indonesia –sejajar dengan negara lain – khususnya negara-negara G20 yang disyaratkan memiliki undang-undang menutup pintu dana bagi teroris. Aktivitas teroris di Indonesia umumnya cukup murah, berskala kecil dan tergantung uang tunai, jadi saya kira undang-undang ini tidak memiliki dampak besar bagi gerakan teroris, seperti untuk membatasi gerak mereka,” ujar Elliot.
Meskipun mungkin tidak revolusioner, undang-undang ini memperkenalkan hukuman baru yang keras. .
Mereka yang terbukti berkonspirasi dengan pihak lain untuk mendanai aktivitas teroris diancam hukuman seumur hidup penjara. Perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran serupa dapat diancam denda hingga 10 juta dolar.
Meskipun ancaman teror besar di Indonesia umumnya telah ditekan, sisa-sisa kelompok jihad masih menimbulkan ancaman dan mereka kini menemukan cara baru untuk mendanai aktivitas-aktivitas mereka.
Tahun lalu polisi menangkap dan menghukum dua individu yang memperoleh uang lewat meretas dunia maya dan menggunakan uang tersebut untuk membiayai aktivitas-aktivitas jihad di Jawa dan Sulawesi.
Pekan lalu satu diantara dua individu itu dijatuhi hukuman delapan tahun penjara dan denda 51 ribu dollar.
Todd Elliot mengatakan undang-undang pencucian uang dan kontra-terorisme sekarang ini sudah cukup untuk kasus-kasus seperti ini. Jika pemerintah Indonesia lebih serius menumpas aktivitas radikal, bisa juga melakukan amandemen atas Undang-Undang Kontra-Terorisme tahun 2003. Tetapi ia mengatakan tantangannya terlalu banyak.
Elliot menambahkan, “Ini merupakan isu yang sangat sensitif dan ada beberapa partai yang berlandaskan agama yang menentangnya… Badan kontra-terorisme sebenarnya telah mengajukan sebuah rancangan revisi ke DPR dan seharusnya dimasukkan dalam daftar pembahasan mereka tahun ini, tetapi DPR mengatakan tidak punya waktu untuk membahasnya, meskipun mereka membahas begitu banyak RUU lain yang tampaknya kurang penting. Ini seperti suatu hal yang tidak ada orang yang mau menanganinya, sebaliknya semua sadar ini perlu ditangani”.
Sejak ledakan bom di depan hotel JW. Mariott dan Ritz Carlton tahun 2009 lalu, Indonesia belum mengalami serangan teroris berskala besar lain.