Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama penuh dengan IEA dalam menyusum Peta Jalan Net Zero Energy 2060, Sektor Energi Indonesia. Kedua belah pihak juga menandatangani dokumen tersebut di hadapan peserta sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM), yang berlangsung di Bali, Jumat (2/9).
“Sejumlah aksi mitigasi telah diidentifikasi, yaitu pengembangan energi terbarukan besar-besaran yang sebagian besar berfokus pada tenaga surya, hidro dan panas bumi. Kedua, pengurangan bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara. Ketiga penggunaan teknologi emisi rendah dan juga penangkapan karbon,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, dalam penandatanganan kesepakatan bersama IEA itu.
Langkah keempat adalah penggunaan lebih banyak peralatan listrik dan perpindahan menuju kendaraan listrik. Upaya kelima, pemanfaatan peralatan hemat energi untuk industri transportasi dan sektor bangunan, serta penggunaan sumber energi seperti nuklir dan hidrogen.
“Sebagai bagian dari upaya itu, pembangkit listrik yang dibangun setelah 2030 hanya akan menggunakan energi baru dan terbarukan. Mulai tahun 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh berbagai variabel energi terbarukan, sedangkan pembangkit listrik tenaga nuklir, akan masuk dalam sistem ini, pada awal tahun 2040,” tambah Arifin.
Karena membutuhkan investasi dan dukungan finansial yang sangat besar, Indonesia mendorong kerja sama antarnegara guna memastikan transisi energi berjalan realistis.
“Dalam meningkatkan teknologi dan Inovasi, kita memiliki tantangan yang sama, yaitu membuat teknologi energi bersih dan rendah karbon, lebih mudah diakses, dan terjangkau,” kata Afirin, sambil menekankan bahwa riset dan peran perusahaan teknologi akan sangat penting.
Peluang Indonesia Besar
Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol, meyakini peta jalan Indonesia melihat sumber dayanya peluang transisi energi bersih di Tanah Air sangat besar.
“Saya beri satu contoh saja. Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah produsen nikel nomor satu di dunia. Untuk timah, adalah produsen terbesar kedua dunia. Masih ada tembaga, bauksit, dan banyak critical mineral lain,” kata Fatih.
Karena kekayaan bahan tambang itu, kata Fatih, pada 2030 Indonesia dapat menghasilkan lebih banyak uang dari mengekspor mineral penting, dibanding mengekspor batu bara.
“Dan jangan lupa, bahwa Indonesia adalah eksportir batu bara nomor satu dunia saat ini, dan Indonesia dapat menghasilkan lebih banyak uang dari mengekspor mineral penting, kalau kita bicara tentang pendapatan,” lanjutnya.
Pada gilirannya, IEA yakin bahwa Indonesia akan mampu menekan impor minyak untuk kebutuhan energi. Dana yang dapat dihemat dari pengurangan impor minyak itu, menurut Fatih, akan mampu menutup separuh biaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan peta jalan transisi energi Indonesia.
“Efisiensi, energi terbarukan, dan elektrifikasi adalah tiga pilar lanjutan, dalam periode baru yang harus diambil,” tambah Fatih.
BACA JUGA: Jokowi: Transisi Menuju Energi Baru Terbarukan Butuh Biaya Sangat Tinggi
Dunia Yakini Komitmen Indonesia
Sementara itu, David M Turk, Wakil Menteri Energi Amerika Serikat yang hadir di Bali meyakini bahwa Indonesia selalu konsisten dengan komitmen yang dibuatnya. Pengalaman masa lalu, ketika berkomitmen menurunkan angka kemiskinan, Indonesia benar-benar mampu mewujudkannya saat ini.
Saya sangat yakin Indonesia memiliki komitmen, sebuah komitmen nyata untuk transisi energi yang bersih, untuk kebaikan rakyat Indonesia. Juga komitmen untuk menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas perubahan iklim,” kata Turk.
Turk sendiri mengaku, pernah bekerja dengan IEA, dan meyakini komitmen mereka yang ada di dalamnya dalam mewujudkan misi ini.
Kadri Simson, Komisioner Eropa untuk Energi mengakui, peta jalan yang ditetapkan tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia sendiri, tetapi bagi sektor bisnis, lingkungan, program transisi hijau dan seluruh dunia.
“Ini semua tidak akan bermakna tanpa implementasi, dan implementasi tidak mungkin tanpa sebuah rencana. Inilah mengapa saya melihat, peta jalan ini sangat berharga. Peta jalan ini memberitahu kita, bahwa target ambisius adalah sesuatu yang dapat dicapai, sekaligus bagaimana hal itu dapat dicapai,” papar Simson.
Bali COMPACT Disetujui
Di akhir penutupan pertemuan, Menteri Arifin juga memastkan bahwa menteri energi negara-negara G20 telah menyepakati Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (COMPACT). Dokumen ini merupakan prinsip-prinsip dasar percepatan transisi energi yang menjadi pondasi dan acuan negara anggota G20 melakuan percepatan transisi energi.
"Kami sangat senang karena inisiatif kami, yakni Bali COMPACT disetujui oleh semua negara anggota G20. Itu berarti Bali sekali lagi akan diakui sebagai pulau yang memproduksi hal yang bermanfaat bagi masyarakat dunia,” kata Menteri Arifin Tasrif, Jumat (2/9).
BACA JUGA: Indonesia Gunakan Presidensi G20 untuk Perkuat Komitmen Transisi EnergiBali COMPACT akan disahkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi para Pemimpin Negara G20 di Bali, November 2022 mendatang.
Selain Bali COMPACT, Indonesia juga mengajukan Bali Energy Transitions Roadmap sebagai inisiatif untuk memberikan kontinuitas agenda global memperkuat kerja sama internasional dan arsitektur energi.
"Roadmap Presidensi ini menetapkan aksi multi-years sukarela untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dan meletakkan jalur menuju net zero emission atau karbon netral sesuai kondisi nasional,” paparnya.
Peta jalan ini memberikan kerangka kerja untuk mempercepat transisi energi melalui tiga prioritas utama, yakni pengamanan aksesibilitas energi, peningkatan teknologi energi pintar dan bersih, serta memajukan pembiayaan energi bersih. [ns/ah]