Pemerintah Indonesia masih menyatakan, belum menemukan satupun kasus virus korona yang menyerang WNI di dalam negeri. Banyak pihak tidak mempercayai klaim itu. Peneliti Universitas Harvard, Amerika Serikat, bahkan menyebut virus korona seharusnya sudah ada di sini. Kedutaan Besar AS di Jakarta juga sudah mengungkapkan kekhawatiran, terhadap penanganan virus korona di Indonesia.
Namun, setidaknya di dalam negeri, kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah Indonesia mencegah masuknya virus korona masih terjaga. Salah satunya disampaikan Heru Indarta, karyawan sebuah perusahaan di Yogyakarta.
“Ya, saya percaya. Cuma kan buktinya belum ada kalau bisa menangani. Kalau nggak percaya, terus kita mau percaya sama siapa? Wong itu pemerintah kita sendiri,” ujar Heru.
Begitu pula dengan Amar Riyadi, warga Sleman, Yogyakarta.
“Ya percaya lah sama pemerintah bisa menangani virus korona karena sudah pengalaman di penanganan flu burung. Tetap waspada saja, terutama mereka yang bepergian ke luar negeri. Khawatir berlebih jangan, nanti kalau yang panik banyak, itu akan menjadi masalah baru,” kata Amar.
Bagi Amar, yang penting kehati-hatian, terutama bagi mereka yang bersinggungan dengan warga negara asing. Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata utama, menjadi alasan Amar dalam hal ini, karena banyak warga bekerja di sektor tersebut.
Pengalaman Indonesia Banyak
I Nyoman Kandun, Direktur Field Epidemiologi Traning Program Indonesia menyebut Indonesia memiliki pengalaman cukup terkait penyakit menular. Dia mencontohkant demam kuning, cacar, kolera, hingga PES. Mantan pejabat di Kementerian Kesehatan ini bahkan terlibat langsung dalam penanganan SARS dan flu burung.
Indonesia juga serius dalam penanganan wabah. Nyoman berbagi pengalaman sebagai pejabat kementerian dalam Diskusi Wabah, Epidemi dan Pandemi di Sekitar Kita, Jumat (28/2). Diskusi diselenggarakan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Sejak tahun 70-an, Indonesia bergelut dengan wabah. SARS dan flu burung atau H5N1 di tahun 2000-an menjadi kasus besar yang ditanggulangi secara global. Pemerintah, kata Nyoman, telah memiliki sistem yang bagus dalam penanganan, termasuk komunikasi resiko dan mekanisme klarifikasi. Kuncinya, tambah Nyoman, adalah informasi. Dua hal yang harus dimiliki adalah transparansi dan kerja sama, karena wabah tidak mengenal tapal batas. Tantangannya saat ini adalah karena Indonesia ada dalam sistem otonomi daerah.
BACA JUGA: Antisipasi Dampak Virus Korona, Jokowi Siapkan Insentif Rp10,3 Triliun“Kita bekerja dalam satu sistem, panduan manual sudah banyak sekali. Bagaimana menerapkan panduan manual tentang sistem kewaspadaan dini, surveilance epidemologi juga ada pegangannya dalam situasi desentrasilisasi dan otonomi,” kata Nyoman.
Di era pemerintah yang sentralistik, upaya semacam itu lebih mudah karena semua perintah dan pendanaan datang dari pusat. Nyoman juga menggarisbawahi perlunya pelatihan terus menerus, misalnya terkait simulasi dalam investigasi dan penanggulangan wabah.
Citra Indriani, ahli epidemi dan pengajar di FKKMK UGM menyebut sejumlah faktor yang harus diperhatikan terkait penyebaran penyakit.
“Penting dalam kita berhadapan dengan pandemi itu, adalah memahami betul budaya, sosial, yang ada di sekeliling kita, sehingga kemudian kita paham resikonya pandemi itu akan muncul kapan,” ujar Citra.
BACA JUGA: Jokowi Optimis Ekonomi Indonesia Kebal Virus KoronaBerbagi informasi, kata Citra, sangat penting untuk pencegahan wabah menyebar. Jika sebuah informasi penting tidak diberikan kepada otoritas yang berhak mengetahuinya, kemungkinan wabah bisa meningkat menjadi epidemi lebih besar. Dalam kasus flu burung, ketika ada sinyal kasus di sektor perunggasan, seharusnya ada lebih banyak kesigapan terkait kemungkinan mengarah ke manusia.
“Seandainya saat itu sharing informasi ancaman seperti ini, maka yang berwenang akan mempunyai kesiapan yang lebih baik,” ujar Citra.
Kuncinya, tambah Citra adalah manajemen komunikasi resiko yang baik dan integritas orang-orang yang melakukan pengendalian wabah.
Epidemi Kepanikan Lebih Menakutkan
Terkait keraguan sejumlah pihak bahwa Indonesia masih bebas virus korona, pengajar FKKMK UGM, Riris Andono Ahmad semua dugaan bisa salah bisa juga benar. Riris merujuk pendapat ini terhadap polemik permodelan yang dikembangkan pakar dari Harvard.
“Model tetaplah model, seperti ramalan cuaca. Bisa saja meleset. Dari Harvard bilang ada korona virus di Indonesia. Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Mungkin asumsi yang dipakai tidak pas, atau sistem kesehatan kita memang tidak mampu mendeteksi kasus tersebut, karena terlalu sedikit,” ujar Riris.
Di luar soal benar dan salah, ada persoalan lain yang justru lebih mengkhawatirkan menurut Riris, yaitu epidemi kepanikan secara cepat. Tidak seperti kasus SARS dan flu burung, kepanikan terkait korona virus kini difasilitasi oleh sosial media.
“Orang kemudian menjadi kehilangan kepercayaan kepada expert (pakar, red), tetapi lebih senang mengutip apa yang ada di sosial media. Dan ini yang menjadi tantangan lagi dalam pengendalian outbreak epidemi, karena apa yang tersebar di sosial media itu bisa menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi turun, dan ini dampaknya bisa luar biasa,” papar Riris.
BACA JUGA: Pemprov Jawa Tengah Masih Berhitung Dampak Wabah Virus KoronaRiris memberi contoh ketika Ebola merebak di kawasan Afrika. Begitu rendahnya kepercayaan kepada pemerintah dan sistem yang diterapkan, sekelompok masyarakat bahkan menyerbu fasilitas karantina pasien Ebola. Mereka menghancurkan fasilitas itu dan membawa pergi pasiennya untuk dikembalikan ke masyarakat. Tindakan ini tentu saja memperparah penyebaran Ebola di sana.
“Itu terjadi karena epidemic of fears. Dan di satu sisi tidak dimbangi dengan komunikasi resiko yang cukup baik,” ujar Riris.
Your browser doesn’t support HTML5
Riris menekankan, terkait virus korona, di satu sisi pemerintah harus memberikan informasi yang memadai bagi masyarakat. Sedang di sisi lain, pemerintah juga harus bisa melihat isu apa yang berkembang di masyarakat agar bisa meresponnya dengan baik. Jika pemerintah atau komunitas kesehatan kita tidak dapat merespon isu tersebut dengan baik, Riris yakin tingkat kepercayaan masyarakat akan turun.
Kepanikan masyarakat pun unik. Riris menambahkan, tidak ada informasi akan menumbuhkan kepanikan. Namun sebaliknya, terlalu banyak informasi juga akan menimbulkan kepanikan. Begitu pula dengan informasi yang datang tidak tepat waktunya. Karena itulah, dibutuhkan kapasitas dalam komunikasi resiko dan strategi komunikasi resiko yang baik.
“Teman-teman yang punya otoritas harus tahu, kapan memberi informasi, tentang apa dan kepada siapa. Ini menjadi kunci penting,” tambah Riris. [ns/ab]