Meski ada larangan penebangan, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela.
JAKARTA —
Indonesia adalah tempat dengan wilayah hutan hujan tropis terbesar di dunia, dan memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi. Saat ini, tanda-tanda kemajuan telah terlihat dalam upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan konservasi hutan hujan alami.
Pada dekade-dekade terakhir, jutaan hektar hutan Indonesia telah hilang lewat penebangan ilegal dan pembukaan perkebunan untuk industri-industri kayu, pulp dan kertas serta minyak kelapa sawit.
Pada 2010, pemerintah Norwegia dan Indonesia menandatangani kontrak 1 miliar dolar untuk memberlakukan moratorium pembukaan lahan gambut dan hutan alami. Perjanjian itu dilihat sebagai cara untuk membantu Indonesia memenuhi tujuan ambisius untuk mengurangi emisi karbon sampai 26 persen pada 2020.
Namun meski ada larangan tersebut, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela.
Selama bertahun-tahun para ilmuwan dan ahli lingkungan telah kesulitan meyakinkan daerah-daerah di Indonesia bahwa perlindungan hutan adalah kepentingan jangka panjang mereka.
Ilmuwan Eric Meijaards mengatakan pesannya sudah mulai menyebar karena orang-orang menyadari ada biaya ekonomi tinggi dalam menghancurkan hutan. Selama bertahun-tahun, Meijaard telah melakukan pemetaan persepsi orang mengenai kehancuran hutan di Kalimantan.
Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di industri kelapa sawit dan pulp dan kertas di Indonesia baru-baru ini telah berkomitmen atas "deforestasi nol," sementara pemerintah juga mulai menghukum perusahaan-perusahan yang secara ilegal menebang dan membakar hutan.
Fadhil Hasan, direktur eksekutif Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan meski keberlanjutan tidak akan terjadi semalam, industri kelapa sawit sedang berjalan ke arah yang benar.
Sebagai awal, Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), akan menjadi wajib pada akhir tahun ini.
Rukka Sombolinggi dari Aliansi Rakyat Nusantara mengatakan pemerintah telah lambat mengimplementasikan keputusan pengadilan.
Seiring berjalannya proses rumit dalam memetakan hutan adat, pemerintah terus memberikan kontrak di wilayah hutan lindung, ujarnya.
"Masalahnya sekarang adalah karena hak kita tidak diakui dan dilindungi secara khusus, sangat mudah bagi pemerintah untuk memberikan izin terhadap sektor swasta, perusahaan swasta, tanpa menyadari bahwa ada suku asli tinggal di sana," ujar Rukka.
Akibat pembabatan hutan secara signifikan, Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat.
Pada dekade-dekade terakhir, jutaan hektar hutan Indonesia telah hilang lewat penebangan ilegal dan pembukaan perkebunan untuk industri-industri kayu, pulp dan kertas serta minyak kelapa sawit.
Pada 2010, pemerintah Norwegia dan Indonesia menandatangani kontrak 1 miliar dolar untuk memberlakukan moratorium pembukaan lahan gambut dan hutan alami. Perjanjian itu dilihat sebagai cara untuk membantu Indonesia memenuhi tujuan ambisius untuk mengurangi emisi karbon sampai 26 persen pada 2020.
Namun meski ada larangan tersebut, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela.
Selama bertahun-tahun para ilmuwan dan ahli lingkungan telah kesulitan meyakinkan daerah-daerah di Indonesia bahwa perlindungan hutan adalah kepentingan jangka panjang mereka.
Ilmuwan Eric Meijaards mengatakan pesannya sudah mulai menyebar karena orang-orang menyadari ada biaya ekonomi tinggi dalam menghancurkan hutan. Selama bertahun-tahun, Meijaard telah melakukan pemetaan persepsi orang mengenai kehancuran hutan di Kalimantan.
Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di industri kelapa sawit dan pulp dan kertas di Indonesia baru-baru ini telah berkomitmen atas "deforestasi nol," sementara pemerintah juga mulai menghukum perusahaan-perusahan yang secara ilegal menebang dan membakar hutan.
Fadhil Hasan, direktur eksekutif Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan meski keberlanjutan tidak akan terjadi semalam, industri kelapa sawit sedang berjalan ke arah yang benar.
Sebagai awal, Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), akan menjadi wajib pada akhir tahun ini.
Rukka Sombolinggi dari Aliansi Rakyat Nusantara mengatakan pemerintah telah lambat mengimplementasikan keputusan pengadilan.
Seiring berjalannya proses rumit dalam memetakan hutan adat, pemerintah terus memberikan kontrak di wilayah hutan lindung, ujarnya.
"Masalahnya sekarang adalah karena hak kita tidak diakui dan dilindungi secara khusus, sangat mudah bagi pemerintah untuk memberikan izin terhadap sektor swasta, perusahaan swasta, tanpa menyadari bahwa ada suku asli tinggal di sana," ujar Rukka.
Akibat pembabatan hutan secara signifikan, Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat.